Jakarta (ANTARA) - KPK membuat tim bersama dengan aparat penegak hukum serta Kementerian Kesehatan, Kementerian BUMN, dan lembaga lain untuk mengawasi pengadaan dan distribusi vaksin COVID-19.

"Disepakati ada tim bersama antara Kementerian BUMN, Kementerian Kesehatan, BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan), LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa), KPK, Kejaksaan Agung, dan kepolisian yang selama ini sudah berjalan akan diteruskan dan diperkuat dengan mengundang stakeholders lain," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat.

Pahala menyampaikan hal tersebut seusai pertemuan antara Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dan dua pimpinan KPK Alexander Marwata dan Lili Pintauli Siregar, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan serta sejumlah pejabat terkait lain seperti Irjen Kemenkes Murti Utami dan Dirut Bio Farma Honesti Basyir.

"Jadi, semua produk peraturan Menkes terkait vaksinasi adalah hasil tim bersama, KPK adalah bagian tim dan kami akan undang stakeholders lain, misalnya Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), untuk distribusi dan penggunaan nomor induk kependudukan (NIK)," kata Pahala.

NIK itu, menurut Pahala, digunakan sebagai basis para penerima vaksin.

Baca juga: Belum tetapkan fatwa, MUI: Sinovac suci dan halal

"KPK juga ikut dalam tim kecil satu data pada intinya kami ingin pemberian vaksin ini dijaga jadi setiap vaksin digunakan dengan basis NIK," ungkap Pahala.

Menkes Budi Gunadi Sadikin menyatakan bahwa pihaknya meminta bantuan KPK untuk mengawasi risiko-risiko apa saja dalam pengadaan dan distribusi vaksin COVID-19.

"Sejak awal beberapa risiko yang kami diskusikan dengan KPK adalah pertama, vaksin ini pembeliannya sifatnya khusus, perusahan penyedianya tidak banyak di dunia, akibatnya tender, bidding, open document susah dilakukan, negosiasi harga juga susah dilakukan karena sifatnya terbatas di seluruh dunia," kata Budi Gunadi.

Akibatnya, terjadi perebutan negara-negara untuk membeli vaksin dari para produsen vaksin.

"Butuh 9 miliar dosis vaksin, padahal kapasitas produksi hanya 6 miliar, jadi betul-betul perebutan sehingga pengadaan yang berbeda dan harga yang juga beda dengan kondisi biasa," kata Budi menjelaskan.

Masalah kedua, pengadaan vaksin COVID-19 dilakukan dengan dua mekanisme, yaitu pembelian langsung ke produsen, antara lain ke Sinovac, AstraZenica, Pfizer, dan Novavax, serta secara multilateral WHO dan Aliansi Vaksin Dunia (Covax-GAVI).

Baca juga: BPOM awasi kualitas vaksin COVID-19 Sinovac hingga ke daerah

"Yang mekanisme bilateral biasa kami beli melalui biofarma, sedangkan multilateral itu gratis karena kerja sama internasional padahal barangnya sama. Di daftar GAVI ada vaksin Novavax dan AstraZenica, jadi kenapa kita juga beli multilateral? Karena barangnya tidak cukup untuk memvaksin 182 juta orang Indonesia," ungkap Budi.

Kondisi tersebut disampaikan ke KPK sejak awal, menurut Budi, untuk memberikan konteks penyediaan barang dengan harga yang berbeda.

"Ada juga proses siapa yang diberi karena vaksin ini gratis bisa saja dijual secara gelap jadi tadi sudah dibicarakan supaya tidak ada risiko bocornya vaksin gratis dan diperjualbelikan di pasaran," kata Budi.

Budi pun berjanji akan membuka seluruh pengadaan vaksin dan distribusinya secara transparan.

"Kami setuju dengan KPK, Kementerian BUMN, dan Bio Farma untuk pengadaan vaksin ini. Insyaallah, ke depannya lancar, kami akan transparan membuka seluruh proses," katanya menegaskan.

Pemerintah diketahui sudah mengonfirmasi pemesanan 329,5 juta dosis vaksin COVID-19 dari berbagai produsen.

Pertama dari perusahaan farmasi Tiongkok Sinovac sebanyak 125,5 juta dosis; kedua dari pabrikan vaksin Amerika Serikat-Kanada Novavax sebesar 50 juta dosis; ketiga dari kerja sama multilateral WHO dan Aliansi Vaksin Dunia (Covax-GAVI) sebesar 50 juta dosis; keempat dari pabrikan Inggris AstraZeneca sebanyak 50 juta dosis; dan kelima perusahaan farmasi gabungan Jerman dan Amerika Serikat Pfizer BioNTech sebesar 50 juta.