Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VI DPR RI meminta Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN segera menyelesaikan persoalan pajak antara PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk dengan Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu.

"Saya selaku anggota Komisi VI meminta Menteri BUMN dan Menteri Keuangan pro aktif, duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan ini," ujar Anggota Komisi VI DPR RI Andre Rosiade dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Rabu.

Menurut Andre, sengketa pajak ini dapat mencoreng iklim usaha di Indonesia, di mana perusahaan pelat merah berseteru dengan lembaga pemerintah.

Baca juga: Kementerian BUMN akan bahas dengan Kemenkeu soal pajak PGN

Komisi VI DPR menginginkan dengan duduk bersama antara dua kementerian dapat menyelesaikan persoalan pajak tahun 2012 tersebut.

Ia juga berharap PGN yang merupakan BUMN tidak dirugikan karena salah tafsir mengenai aturan pajak.

"Terlebih lagi, jangan sampai negara dirugikan. Sebetulnya kan kasus ini kalau merujuk pada surat direktur perpajakan per Januari 2020, sudah menyatakan bahwa objek yang disengketakan bukan objek PPN," tuturnya.

Ia melihat bahwa langkah Peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan oleh PGN untuk kali kedua di MA sudah tepat lantaran berpegang pada Surat Direktur Perpajakan pada tanggal 15 Januari 2020 (S-2/PJ.02/2020 yang menegaskan bahwa objek yang menjadi sengketa bukan objek PPN.

"Langkah PK kedua di MA merupakan langkah yang perlu dilakukan PGN. Kami di Komisi VI mendorong agar pemerintah bisa menyelesaikan ini secara tepat dengan solusi yang terbaik," jelasnya.

Baca juga: PGN dukung persiapan alih kelola Blok Rokan

Sebelumnya Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan pihaknya sudah mengagendakan untuk bertemu dengan Kemenkeu untuk membahas mengenai persoalan pajak PGN. Meski begitu, saat ini baik pihak Menteri BUMN Erick Thohir dan Menkeu Sri Mulyani belum melaksanakan agenda tersebut.

"Masih dalam proses, tapi sudah ada komunikasi bahwa kami akan ketemu mereka," ujar Arya, Selasa (5/1).

Sengketa perusahaan gas pelat merah dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan ini awalnya terjadi atas transaksi pada tahun pajak 2012 dan 2013, dan membuat PGAS berpotensi membayar Rp3,06 triliun.

Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (4/1), menjelaskan sengketa yang terjadi pada tahun 2012 berkaitan dengan perbedaan penafsiran dalam memahami ketentuan perpajakan yaitu PMK-252/PMK.011/2012 terhadap pelaksanaan kewajiban pemungutan PPN atas penyerahan gas bumi. Sengketa ini telah dilaporkan di dalam catatan Laporan Keuangan Perseroan per 31 Desember 2017.

Kemudian, sengketa tahun 2013 berkaitan dengan perbedaan pemahaman atas mekanisme penagihan Perseroan. Rachmat melanjutkan, pada Juni 1998 PGAS menetapkan harga gas dalam dolar AS/MMBTU dan Rp/M3. Hal itu disebabkan oleh melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS.

"Namun, DJP berpendapat porsi harga Rp/M3 tersebut sebagai penggantian jasa distribusi yang dikenai PPN, sedangkan Perseroan berpendapat harga dalam dolar AS/MMBTU dan Rp/M3 merupakan satu kesatuan harga gas yang tidak dikenai PPN," kata Rachmat.