Artikel
Menguji stimulus fiskal untuk selamatkan ekonomi dari pandemi
Oleh Royke Sinaga
4 Januari 2021 20:32 WIB
Sejumlah kendaraan melintas di Jalan RE Martadinata, Jakarta Utara, Minggu (1/11/2020). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan aktivitas perekonomian triwulan III 2020 telah menunjukkan adanya pemulihan setelah pada triwulan II mengalami tekanan hingga 5,32 persen, perbaikan secara berangsur itu didorong oleh percepatan realisasi dari stimulus fiskal atau APBN dan perbaikan dari sisi ekspor. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww.
Jakarta (ANTARA) - Badai pasti berlalu, pandemi COVID-19 pasti akan berakhir. Namun, kapan waktunya, tidak satu pun yang tahu. Yang pasti, semua negara saat ini terus berjibaku menemukan vaksin sebagai senjata terakhir mengatasi pandemi ini.
Meski begitu, badai bisa jadi identik dengan puing-puing berserakan. Berawal dari persoalan kesehatan, pandemi tersebut turut berimbas pada persoalan ekonomi.
Hampir semua negara mengalami kontraksi ekonomi yang sangat dalam. Tak satu pun negara bebas dari resesi, yang tercermin dari turunnya pertumbuhan ekonomi selama dua kuartal berturut-turut.
International Monetary Fund (IMF) dalam laporannya pada September 2020 menyebutkan semua negara menjadikan kebijakan fiskal sebagai instrumen menghadapi dampak pandemi COVID-19. Artinya, separuh kebijakan fiskal berupa tambahan belanja dan relaksasi yang berdampak pada penerimaan negara. Hingga September 2020 nilainya mencapai sekitar 11,7 triliun dolar AS atau lebih dari 12 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Secara global, konsekuensi dari berbagai kebijakan fiskal adalah lonjakan defisit anggaran dengan rata-rata 9 persen dari PDB, demikian juga utang pemerintah diproyeksikan mencapai rekor tertinggi 100 persen dari PDB.
Selanjutnya, dalam proses pemulihan ekonomi dari COVID-19, akan penuh tantangan karena adanya peningkatan tingkat kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan ekonomi. Oleh karena itu lah, strategi fiskal harus dilakukan dengan cermat.
Menurut catatan, krisis ekonomi pasti menyisakan banyak pekerjaan rumah. Seperti halnya krisis keuangan tahun 2008, hampir semua negara secara total menggulirkan berbagai program stimulus untuk menyelamatkan perekonomian.
Sebagian besar negara masuk dalam perangkap utang, bahkan di Eropa memicu krisis lanjutan berupa krisis utang.
Saat itu, Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara yang bisa terhindar dari krisis dan hanya mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Saat ini menghadapi pandemi COVID-19, ekonomi Indonesia pada tahun 2021 seperti diperkirakan akan memasuki fase pemulihan, setelah pada triwulan III 2020 tumbuh -3,49 persen (year on year/YoY) dan triwulan II 2020 sebesar -5,32 persen YoY.
Sementara itu, menurut laporan yang dirilis Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih memiliki prospektif yang menjanjikan dibandingkan negara maju sekalipun, seperti Inggris terkontraksi 20,4 persen, Perancis minus 13,8 persen, Italia minus 12,4 persen dan Kanada terkonraksi 12,0 persen.
Banyak faktor yang menyebabkan menurunnya ekonomi negara-negara tersebut, misalnya penerapan lockdown bekepanjangan, yang berdampak pada hilangnya lapangan pekerjaan, daya beli masyarakat merosot, hingga hilangnya penerimaan pajak.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar -5,3 persen masih memberikan indikasi bahwa Indonesia sudah masuk masa pemulihan di dalam siklus bisnis dan telah melewati masa terberat episode krisis.
Namun demikian, diperlukan strategi fiskal dalam menghadapi pandemi yang berdampak pada resesi seperti yang terjadi saat ini.
Perlu penyesuaian fiskal pada tahun-tahun awal setelah krisis secara halus dan bertahap. Defisit fiskal diproyeksikan berada pada kisaran 6,5 persen PDB di 2020, dan 5,5 persen pada 2021.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, sangat penting untuk berfokus pada peningkatan penerimaan pemerintah, daripada mengurangi belanja.
Kementerian Keuangan juga harus terus mendorong peningkatan penerimaan, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi.
Stimulus ekonomi
Setiap negara tidak bisa benar-benar berjalan sendirian. Setelah dilanda pandemi COVID-19, akan semakin banyak negara yang mengalami beban fiskal sangat besar. Untuk itu, Pemerintah meluncurkan beberapa kebijakan berupa stimulus ekonomi untuk meringankan beban dunia usaha di tengah pandemi.
Sejumlah stimulus fiskal meliputi relaksasi di sektor pajak, relaksasi di sektor bea dan cukai, relaksasi sektor perbankan, sektor perdagangan, sektor kesejahteraan masyarakat dan kesehatan, dan juga untuk kepentingan UMKM.
Pemberian stimulus tertuang di Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Di satu tahun pemerintahan Presiden Jokowi Widodo dan Wapres Ma’ruf Amin, dana stimulus ekonomi diperoleh dari hasil penghematan melalui refocusing dan realokasi dana di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Menurut catatan, dana dialokasikan menjadi tiga stimulus, pertama, stimulus sebesar Rp8,5 triliun yang diluncurkan pada Februari 2020. Anggaran ini ditujukan untuk penguatan ekonomi domestik melalui akselerasi belanja negara dan mendorong kebijakan belanja padat karya. Stimulus fiskal ini diberikan ke sektor industri yang terdampak.
Kedua, stimulus sebesar Rp22,5 triliun pada Maret 2020. Dana ini difokuskan untuk mendukung daya beli masyarakat dan mendorong kemudahan ekspor-impor melalui stimulus fiskal dan non-fiskal, serta kebijakan sektor keuangan.
Ketiga, stimulus sebesar Rp405,1 triliun pada Maret 2020. Stimulus ini fokus untuk kesehatan masyarakat dan perlindungan sosial, serta stabilitas sistem keuangan.
Rinciannya, dana disalurkan ke program kesehatan, jaring pengaman sosial, dukungan pada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), dunia usaha dan pemulihan ekonomi, serta kebijakan sektor keuangan.
Stimulus ketiga kemudian ditambah dengan akumulasi dana menjadi Rp695,2 triliun atau setara 4,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
“Stimulus fiskal penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) masih menghadapi tantangan di level operasional dan proses administrasi. Hal ini mengingat stimulus ini baru tahap awal dan akan terus dilakukan perbaikan untuk percepatan,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Meski begitu, masih terjadi gap antara realisasi keuangan dan fisik sehingga perlu percepatan proses administrasi penagihan.
Ekonomi membaik
Pandemi masih terus merebak. Berbagai kebijakan dilancarkan pemerintah untuk dapat mengurangi tekanan ekonomi. Semua instrumen fiskal dan moneter telah dijalankan.
Bisa jadi langkah tersebut telah membuahkan hasil, meski belum sepenuhnya terlihat jelas dari berbagai indikator ekonomi. Masih butuh waktu dan stamina ekonomi untuk mengatasi pandemi hingga betul-betul bebas.
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter melihat bahwa pertumbuhan ekonomi domestik membaik secara perlahan, terutama didorong oleh stimulus fiskal dan perbaikan ekspor.
“Perkembangan Agustus-September 2020 menunjukkan belanja pemerintah meningkat didorong stimulus fiskal terkait perlindungan sosial dan dukungan UMKM,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo,.
Peningkatan juga terlihat dari investasi bangunan. Ini semua sejalan dengan berlanjutnya berbagai proyek strategis nasional (PSN), dan bisa menyangga pemulihan ekonomi di tengah konsumsi rumah tangga yang masih terbatas.
Untuk selanjutnya, pemulihan ekonomi domestik diperkirakan bisa berlanjut, dipengaruhi oleh membaiknya perekonomian global dan meningkatnya realisasi anggaran pemerintah pusat dan daerah.
Saat ini, banyak faktor yang dapat membangkitkan ekonomi sebuah negara. Salah satunya kehadiran vaksin COVID-19 yang menjadi salah satu tumpuan harapan masyarakat luas.
Kabar akan suntik masal bertahap mulai awal Januari 2021, direspons positif oleh semua kalangan termasuk investor. Respons pasar sangat positif tercermin dari indeks harga saham di pasar modal menguat dan mendorong penguatan nilai tukar rupiah.
Meski begitu, pandemi masih menjadi momok menakutkan pada tahun-tahun berikutnya. Persoalan utama yang harus diselesaikan terlebih dahulu adalah dari penanganan COVID-19 itu sendiri.
Kerjasama seluruh kalangan dalam menerapkan protokol kesehatan menjadi salah satu faktor utama dalam perbaikan ekonomi nasional sebelum proses vaksinasi dilakukan.
Dari sisi kebijakan fiskal, pemerintah perlu konsisten dan berhati-hati dalam merancang kebijakan fiskal pascaresesi untuk menghindari jebakan utang.
Keberlanjutan fiskal harus menjadi prioritas seiring dengan upaya-upaya lainnya yang dijalankan pemerintah dalam pemulihan ekonomi nasional yang sedang berlangsung.
Dengan demikian, anggaran dan insentif seperti perpajakan, KUR, dan stimulus ekonomi dapat dialokasikan untuk pemberantasan virus corona dan kebijakan tersebut dapat diberlakukan saat pemulihan ekonomi.
Baca juga: Menkeu: Belanja pemerintah 2021 fokus pulihkan ekonomi dan masyarakat
Baca juga: Menko Airlangga paparkan peluang yang ungkit pemulihan ekonomi 2021
Baca juga: Ekonom: Pengucuran kredit perbankan jadi kunci pemulihan ekonomi 2021
Meski begitu, badai bisa jadi identik dengan puing-puing berserakan. Berawal dari persoalan kesehatan, pandemi tersebut turut berimbas pada persoalan ekonomi.
Hampir semua negara mengalami kontraksi ekonomi yang sangat dalam. Tak satu pun negara bebas dari resesi, yang tercermin dari turunnya pertumbuhan ekonomi selama dua kuartal berturut-turut.
International Monetary Fund (IMF) dalam laporannya pada September 2020 menyebutkan semua negara menjadikan kebijakan fiskal sebagai instrumen menghadapi dampak pandemi COVID-19. Artinya, separuh kebijakan fiskal berupa tambahan belanja dan relaksasi yang berdampak pada penerimaan negara. Hingga September 2020 nilainya mencapai sekitar 11,7 triliun dolar AS atau lebih dari 12 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Secara global, konsekuensi dari berbagai kebijakan fiskal adalah lonjakan defisit anggaran dengan rata-rata 9 persen dari PDB, demikian juga utang pemerintah diproyeksikan mencapai rekor tertinggi 100 persen dari PDB.
Selanjutnya, dalam proses pemulihan ekonomi dari COVID-19, akan penuh tantangan karena adanya peningkatan tingkat kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan ekonomi. Oleh karena itu lah, strategi fiskal harus dilakukan dengan cermat.
Menurut catatan, krisis ekonomi pasti menyisakan banyak pekerjaan rumah. Seperti halnya krisis keuangan tahun 2008, hampir semua negara secara total menggulirkan berbagai program stimulus untuk menyelamatkan perekonomian.
Sebagian besar negara masuk dalam perangkap utang, bahkan di Eropa memicu krisis lanjutan berupa krisis utang.
Saat itu, Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara yang bisa terhindar dari krisis dan hanya mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Saat ini menghadapi pandemi COVID-19, ekonomi Indonesia pada tahun 2021 seperti diperkirakan akan memasuki fase pemulihan, setelah pada triwulan III 2020 tumbuh -3,49 persen (year on year/YoY) dan triwulan II 2020 sebesar -5,32 persen YoY.
Sementara itu, menurut laporan yang dirilis Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih memiliki prospektif yang menjanjikan dibandingkan negara maju sekalipun, seperti Inggris terkontraksi 20,4 persen, Perancis minus 13,8 persen, Italia minus 12,4 persen dan Kanada terkonraksi 12,0 persen.
Banyak faktor yang menyebabkan menurunnya ekonomi negara-negara tersebut, misalnya penerapan lockdown bekepanjangan, yang berdampak pada hilangnya lapangan pekerjaan, daya beli masyarakat merosot, hingga hilangnya penerimaan pajak.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar -5,3 persen masih memberikan indikasi bahwa Indonesia sudah masuk masa pemulihan di dalam siklus bisnis dan telah melewati masa terberat episode krisis.
Namun demikian, diperlukan strategi fiskal dalam menghadapi pandemi yang berdampak pada resesi seperti yang terjadi saat ini.
Perlu penyesuaian fiskal pada tahun-tahun awal setelah krisis secara halus dan bertahap. Defisit fiskal diproyeksikan berada pada kisaran 6,5 persen PDB di 2020, dan 5,5 persen pada 2021.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, sangat penting untuk berfokus pada peningkatan penerimaan pemerintah, daripada mengurangi belanja.
Kementerian Keuangan juga harus terus mendorong peningkatan penerimaan, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi.
Stimulus ekonomi
Setiap negara tidak bisa benar-benar berjalan sendirian. Setelah dilanda pandemi COVID-19, akan semakin banyak negara yang mengalami beban fiskal sangat besar. Untuk itu, Pemerintah meluncurkan beberapa kebijakan berupa stimulus ekonomi untuk meringankan beban dunia usaha di tengah pandemi.
Sejumlah stimulus fiskal meliputi relaksasi di sektor pajak, relaksasi di sektor bea dan cukai, relaksasi sektor perbankan, sektor perdagangan, sektor kesejahteraan masyarakat dan kesehatan, dan juga untuk kepentingan UMKM.
Pemberian stimulus tertuang di Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Di satu tahun pemerintahan Presiden Jokowi Widodo dan Wapres Ma’ruf Amin, dana stimulus ekonomi diperoleh dari hasil penghematan melalui refocusing dan realokasi dana di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Menurut catatan, dana dialokasikan menjadi tiga stimulus, pertama, stimulus sebesar Rp8,5 triliun yang diluncurkan pada Februari 2020. Anggaran ini ditujukan untuk penguatan ekonomi domestik melalui akselerasi belanja negara dan mendorong kebijakan belanja padat karya. Stimulus fiskal ini diberikan ke sektor industri yang terdampak.
Kedua, stimulus sebesar Rp22,5 triliun pada Maret 2020. Dana ini difokuskan untuk mendukung daya beli masyarakat dan mendorong kemudahan ekspor-impor melalui stimulus fiskal dan non-fiskal, serta kebijakan sektor keuangan.
Ketiga, stimulus sebesar Rp405,1 triliun pada Maret 2020. Stimulus ini fokus untuk kesehatan masyarakat dan perlindungan sosial, serta stabilitas sistem keuangan.
Rinciannya, dana disalurkan ke program kesehatan, jaring pengaman sosial, dukungan pada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), dunia usaha dan pemulihan ekonomi, serta kebijakan sektor keuangan.
Stimulus ketiga kemudian ditambah dengan akumulasi dana menjadi Rp695,2 triliun atau setara 4,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
“Stimulus fiskal penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) masih menghadapi tantangan di level operasional dan proses administrasi. Hal ini mengingat stimulus ini baru tahap awal dan akan terus dilakukan perbaikan untuk percepatan,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Meski begitu, masih terjadi gap antara realisasi keuangan dan fisik sehingga perlu percepatan proses administrasi penagihan.
Ekonomi membaik
Pandemi masih terus merebak. Berbagai kebijakan dilancarkan pemerintah untuk dapat mengurangi tekanan ekonomi. Semua instrumen fiskal dan moneter telah dijalankan.
Bisa jadi langkah tersebut telah membuahkan hasil, meski belum sepenuhnya terlihat jelas dari berbagai indikator ekonomi. Masih butuh waktu dan stamina ekonomi untuk mengatasi pandemi hingga betul-betul bebas.
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter melihat bahwa pertumbuhan ekonomi domestik membaik secara perlahan, terutama didorong oleh stimulus fiskal dan perbaikan ekspor.
“Perkembangan Agustus-September 2020 menunjukkan belanja pemerintah meningkat didorong stimulus fiskal terkait perlindungan sosial dan dukungan UMKM,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo,.
Peningkatan juga terlihat dari investasi bangunan. Ini semua sejalan dengan berlanjutnya berbagai proyek strategis nasional (PSN), dan bisa menyangga pemulihan ekonomi di tengah konsumsi rumah tangga yang masih terbatas.
Untuk selanjutnya, pemulihan ekonomi domestik diperkirakan bisa berlanjut, dipengaruhi oleh membaiknya perekonomian global dan meningkatnya realisasi anggaran pemerintah pusat dan daerah.
Saat ini, banyak faktor yang dapat membangkitkan ekonomi sebuah negara. Salah satunya kehadiran vaksin COVID-19 yang menjadi salah satu tumpuan harapan masyarakat luas.
Kabar akan suntik masal bertahap mulai awal Januari 2021, direspons positif oleh semua kalangan termasuk investor. Respons pasar sangat positif tercermin dari indeks harga saham di pasar modal menguat dan mendorong penguatan nilai tukar rupiah.
Meski begitu, pandemi masih menjadi momok menakutkan pada tahun-tahun berikutnya. Persoalan utama yang harus diselesaikan terlebih dahulu adalah dari penanganan COVID-19 itu sendiri.
Kerjasama seluruh kalangan dalam menerapkan protokol kesehatan menjadi salah satu faktor utama dalam perbaikan ekonomi nasional sebelum proses vaksinasi dilakukan.
Dari sisi kebijakan fiskal, pemerintah perlu konsisten dan berhati-hati dalam merancang kebijakan fiskal pascaresesi untuk menghindari jebakan utang.
Keberlanjutan fiskal harus menjadi prioritas seiring dengan upaya-upaya lainnya yang dijalankan pemerintah dalam pemulihan ekonomi nasional yang sedang berlangsung.
Dengan demikian, anggaran dan insentif seperti perpajakan, KUR, dan stimulus ekonomi dapat dialokasikan untuk pemberantasan virus corona dan kebijakan tersebut dapat diberlakukan saat pemulihan ekonomi.
Baca juga: Menkeu: Belanja pemerintah 2021 fokus pulihkan ekonomi dan masyarakat
Baca juga: Menko Airlangga paparkan peluang yang ungkit pemulihan ekonomi 2021
Baca juga: Ekonom: Pengucuran kredit perbankan jadi kunci pemulihan ekonomi 2021
Copyright © ANTARA 2021
Tags: