Artikel
Gending budaya hidup sehat terus dirajut
Oleh M. Hari Atmoko
2 Januari 2021 15:19 WIB
Kenduri dan doa di tengah pandemi COVID-19 oleh Komunitas Lima Gunung untuk pemberian gelar kebudayaan desa kepada budayawan Sutanto Mendut di Padepokan Tjipto Boedoyo Tutup Ngisor kawasan Gunung Merapi Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (27/12/2020). (ANTARA/Hari Atmoko)
Magelang (ANTARA) - Salah satu pemimpin tinggi Komunitas Lima Gunung Sitras Anjilin membeberkan pengertian gelar Ki Ageng Panuntun Gending yang disematkan kepada budayawan Sutanto Mendut di padepokannya di kawasan Gunung Merapi.
Para tokoh komunitas seniman petani di kawasan berlingkup lima gunung di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, lainnya, juga menyematkan macam-macam sebutan untuk gelar kepada Tanto.
Peristiwa itu sekitar seminggu sebelum akhir tahun lalu, dalam acara kebudayaan dengan menerapkan protokol kesehatan di tengah pandemi COVID-19. Lima gunung yang dimaksud, yakni Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Pegunungan Menoreh.
Umumnya, mereka memberikan sebutan "Ki Ageng" kepada Tanto Mendut. Ada satu dua di antara mereka menyematkan "Ki Hajar". Varian mutasi pengomplit sebutan juga macam-macam, baik subjektif maupun objektif, seperti Ki Ageng Panuntun Gending, Ki Ageng Cokro Jiwo, Ki Ageng Empu Roso, Ki Ageng Syaikhuna Mendut, Ki Ageng Nuntun Jiwo, Ki Ageng Pawang Lintang, Ki Ageng Tejo Wukir, Ki Ageng Kalis Waseso, Ki Ageng Betet Sewu, Ki Hajar Matematika Gunung, dan Ki Hajar Mendut Angon Jalma.
Sang budayawan dan perintis lahirnya komunitas seniman sekitar 20 tahun lalu itu, menjadikan berbagai gelar yang diperoleh sebagai "kaca benggala" bagi setiap tokoh tersebut, dalam memandang kedalaman dan pencapaian diri masing-masing.
Kalau ada anggapan pemberian ragam gelar untuk dia sebagai kultus individu, seketika runtuhlah anggapan itu. Tanto justru mengajak para tokoh komunitas mawas diri, menemukan keberadaan diri dalam lingkungan dan semesta.
"Gending itu rasa (perasaan batin). Kalau orang menilai seseorang, itu sebetulnya sudah ada nilai dalam dirinya," ucap Tanto sembari mengelaborasi pidato kebudayaannya dengan analogi dunia pewayangan yang juga cermin atas wadak nilai-nilai kehidupan manusia di jagat semesta.
Sitras yang juga pemimpin generasi kedua Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor (berdiri 1937) dengan berbasis seni-budaya pewayangan, terutama wayang orang yang semakin langka itu, membeberkan sematan gelar untuk Tanto Mendut.
Gelar "Ki Ageng Panuntun Gending" dibeberkan sebagai sosok merdeka yang menjadi penuntun kebaikan hidup orang-orang yang mengenalnya. Gending sebagai tataran tertinggi atas musik gamelan, setelah lancaran, ketawang dan ladrang, sebagai simbol kerumitan, keselarasan, keakraban, dan keagungan.
Sosok Tanto Mendut dipandangnya sebagai menguasai tentang kerumitan dan selaras melakukan kerumitan sehingga banyak orang mengikuti dan berkiblat.
"Karena memang kehidupan manusia itu kalau dirasakan sangat rumit, tapi kalau semua itu dengan laras, dengan pikiran yang laras, rumit pun akan menjadi indah dan enak," ucap Sitras.
Pandemi global COVID-19 yang meruntuhkan berbagai sendi kehidupan, nampak juga sekaligus sebagai lantungan gending kerumitan untuk mewujudkan nilai-nilai keselarasan baru dalam tatanan jagat sesrawungan manusia.
Tentu saja panglima menghadapi pandemi adalah kesehatan. Setiap orang dan komunitas mesti menerapkan protokol kesehatan dalam berelasi dan memenuhi kebutuhan hidup agar terbebas dari sentuhan virus mematikan tersebut.
Lebih jauh lagi, gending kerumitan hidup di tengah pandemi menegakkan pencapaian keselarasan setiap orang untuk menjadikan hidup bersih dan sehat sebagai kebudayaan baru.
Sesungguhnya narasi tentang kampanye hidup bersih dan sehat sudah cukup lama berdengung. Pola hidup demikian, untuk mendukung warga menjalankan aktivitas sehari-hari dengan lancar, aman, prima, dan produktif serta mewujudkan lingkungan nyaman, asri, dan membikin betah tinggal.
Dalam situasi pandemi, sebagaimana dikatakan Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Profesor Wiku Adisasmito, kunci utama menekan kasus COVID-19 dengan disiplin setiap orang dan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan.
Semestinya pandemi virus dengan setiap orang didorong, diingatkan dan disadarkan akan pentingnya menerapkan protokol kesehatan, antara lain selalu bermasker, rajin cuci tangan dan sadar jaga jarak.
Mungkin juga, protokol kesehatan karena pandemi saat ini, sebagai bagian dari tabuhan mewujudkan gending hidup bersih dan sehat yang selaras dalam praktik masyarakat menjalani hidup keseharian.
Kelak, kalau pandemi virus berlalu, bukankah seabrek gangguan kesehatan dan serangan penyakit setiap saat bisa menerkam manusia dengan segala skalanya?
Mungkin protokol kesehatan COVID-19 kurang relevan lagi ketika pandemi virus ini berlalu, sedangkan budaya hidup bersih dan sehat menjadi gending yang selaras bagi manusia dalam menjalani kehidupan pascapandemi.
Berkaca sehat
Selama 10 bulan terakhir pandemi virus merayapi kehidupan global, sudah semestinya kalau persoalan kesehatan menjadi fokus penanganan dan penyadaran. Pandemi seharusnya mengantar setiap orang berkaca tentang sejauh mana hidupnya berkualitas sehat dan merasakan betapa besar arti serta manfaat hidup sehat.
Kecuali dengan perangkat sains dan teknologi medis atau kesehatan, virus tak kasat mata. Orang yang tertular dan menularkan virus pun tak mudah segera diketahui.
Untuk mereka yang menyadari pandemi, mau tak mau sesungguhnya curiga menghinggapi, baik curiga dirinya atau orang lain sudah menjadi pembawa virus maupun curiga dirinya maupun orang lain bisa menularkan virus.
Gending membangun selaras untuk saling percaya dan saling memberikan jaminan satu sama lain tak terjadi penularan, menularkan atau bahkan klaster COVID-19 pun mesti disajikan.
Kalau ada tindakan aparat atau teguran mengingatkan satu dengan lain atas pelanggaran protokol kesehatan, sebenarnya lumrah saja, manusiawi. Tak perlu ada yang merasa tersinggung, apalagi mengamuk. Di situlah "kaca benggala" hidup sehat sedang dipasangkan.
Demikian pula dengan orang-orang yang saat awal pandemi pernah tak percaya adanya penularan virus.
Setelah beroleh bukti dalam 10 bulan terakhir, misalnya dirinya tersentuh virus dan harus karantina, atau melihat keluarga dan orang-orang sekitarnya berjatuhan karena COVID-19, konyol kalau masih berkukuh bahwa pandemi virus sebagai rekayasa atau omong kosong.
Biksu Sri Pannyavaro Mahathera dari Wihara Mendut, Kabupaten Magelang, mengemukakan tidak ada sesuatu yang tidak berubah di dunia ini.
Dalam bukunya "Bersahabat dengan Kehidupan, Memaknai dengan Kearifan", dia katakan bahwa perubahan adalah sifat yang dominan dan mencolok dalam kehidupan sehingga mesti diterima sebagaimana kewajaran.
Baca juga: Pandemi tranformasikan wadak ke batin Komunitas Lima Gunung
Harapannya, mereka yang awalnya tidak percaya pandemi virus, segera meruntuhkan anggapan itu. Mereka yang sebelumnya abai pentingnya hidup bersih dan sehat, mengubah menjadi peduli.
Baca juga: Festival Lima Gunung gelar ritual sakral tanpa tontonan saat pandemi
Pandemi COVID-19 nampaknya bukan saja memaksa orang menerapkan protokol kesehatan, namun juga menempatkan "kaca benggala" untuk memandang penting menabuh gending selaras hidup bersih dan sehat untuk diri serta orang lain.
Baca juga: Komunitas Lima Gunung selenggarakan "Larung Sengkala" di Sungai Progo
Budaya hidup bersih dan sehat, kiranya menjadi ukuran selaras manusia bermartabat tinggi pascapandemi.
Para tokoh komunitas seniman petani di kawasan berlingkup lima gunung di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, lainnya, juga menyematkan macam-macam sebutan untuk gelar kepada Tanto.
Peristiwa itu sekitar seminggu sebelum akhir tahun lalu, dalam acara kebudayaan dengan menerapkan protokol kesehatan di tengah pandemi COVID-19. Lima gunung yang dimaksud, yakni Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Pegunungan Menoreh.
Umumnya, mereka memberikan sebutan "Ki Ageng" kepada Tanto Mendut. Ada satu dua di antara mereka menyematkan "Ki Hajar". Varian mutasi pengomplit sebutan juga macam-macam, baik subjektif maupun objektif, seperti Ki Ageng Panuntun Gending, Ki Ageng Cokro Jiwo, Ki Ageng Empu Roso, Ki Ageng Syaikhuna Mendut, Ki Ageng Nuntun Jiwo, Ki Ageng Pawang Lintang, Ki Ageng Tejo Wukir, Ki Ageng Kalis Waseso, Ki Ageng Betet Sewu, Ki Hajar Matematika Gunung, dan Ki Hajar Mendut Angon Jalma.
Sang budayawan dan perintis lahirnya komunitas seniman sekitar 20 tahun lalu itu, menjadikan berbagai gelar yang diperoleh sebagai "kaca benggala" bagi setiap tokoh tersebut, dalam memandang kedalaman dan pencapaian diri masing-masing.
Kalau ada anggapan pemberian ragam gelar untuk dia sebagai kultus individu, seketika runtuhlah anggapan itu. Tanto justru mengajak para tokoh komunitas mawas diri, menemukan keberadaan diri dalam lingkungan dan semesta.
"Gending itu rasa (perasaan batin). Kalau orang menilai seseorang, itu sebetulnya sudah ada nilai dalam dirinya," ucap Tanto sembari mengelaborasi pidato kebudayaannya dengan analogi dunia pewayangan yang juga cermin atas wadak nilai-nilai kehidupan manusia di jagat semesta.
Sitras yang juga pemimpin generasi kedua Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor (berdiri 1937) dengan berbasis seni-budaya pewayangan, terutama wayang orang yang semakin langka itu, membeberkan sematan gelar untuk Tanto Mendut.
Gelar "Ki Ageng Panuntun Gending" dibeberkan sebagai sosok merdeka yang menjadi penuntun kebaikan hidup orang-orang yang mengenalnya. Gending sebagai tataran tertinggi atas musik gamelan, setelah lancaran, ketawang dan ladrang, sebagai simbol kerumitan, keselarasan, keakraban, dan keagungan.
Sosok Tanto Mendut dipandangnya sebagai menguasai tentang kerumitan dan selaras melakukan kerumitan sehingga banyak orang mengikuti dan berkiblat.
"Karena memang kehidupan manusia itu kalau dirasakan sangat rumit, tapi kalau semua itu dengan laras, dengan pikiran yang laras, rumit pun akan menjadi indah dan enak," ucap Sitras.
Pandemi global COVID-19 yang meruntuhkan berbagai sendi kehidupan, nampak juga sekaligus sebagai lantungan gending kerumitan untuk mewujudkan nilai-nilai keselarasan baru dalam tatanan jagat sesrawungan manusia.
Tentu saja panglima menghadapi pandemi adalah kesehatan. Setiap orang dan komunitas mesti menerapkan protokol kesehatan dalam berelasi dan memenuhi kebutuhan hidup agar terbebas dari sentuhan virus mematikan tersebut.
Lebih jauh lagi, gending kerumitan hidup di tengah pandemi menegakkan pencapaian keselarasan setiap orang untuk menjadikan hidup bersih dan sehat sebagai kebudayaan baru.
Sesungguhnya narasi tentang kampanye hidup bersih dan sehat sudah cukup lama berdengung. Pola hidup demikian, untuk mendukung warga menjalankan aktivitas sehari-hari dengan lancar, aman, prima, dan produktif serta mewujudkan lingkungan nyaman, asri, dan membikin betah tinggal.
Dalam situasi pandemi, sebagaimana dikatakan Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Profesor Wiku Adisasmito, kunci utama menekan kasus COVID-19 dengan disiplin setiap orang dan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan.
Semestinya pandemi virus dengan setiap orang didorong, diingatkan dan disadarkan akan pentingnya menerapkan protokol kesehatan, antara lain selalu bermasker, rajin cuci tangan dan sadar jaga jarak.
Mungkin juga, protokol kesehatan karena pandemi saat ini, sebagai bagian dari tabuhan mewujudkan gending hidup bersih dan sehat yang selaras dalam praktik masyarakat menjalani hidup keseharian.
Kelak, kalau pandemi virus berlalu, bukankah seabrek gangguan kesehatan dan serangan penyakit setiap saat bisa menerkam manusia dengan segala skalanya?
Mungkin protokol kesehatan COVID-19 kurang relevan lagi ketika pandemi virus ini berlalu, sedangkan budaya hidup bersih dan sehat menjadi gending yang selaras bagi manusia dalam menjalani kehidupan pascapandemi.
Berkaca sehat
Selama 10 bulan terakhir pandemi virus merayapi kehidupan global, sudah semestinya kalau persoalan kesehatan menjadi fokus penanganan dan penyadaran. Pandemi seharusnya mengantar setiap orang berkaca tentang sejauh mana hidupnya berkualitas sehat dan merasakan betapa besar arti serta manfaat hidup sehat.
Kecuali dengan perangkat sains dan teknologi medis atau kesehatan, virus tak kasat mata. Orang yang tertular dan menularkan virus pun tak mudah segera diketahui.
Untuk mereka yang menyadari pandemi, mau tak mau sesungguhnya curiga menghinggapi, baik curiga dirinya atau orang lain sudah menjadi pembawa virus maupun curiga dirinya maupun orang lain bisa menularkan virus.
Gending membangun selaras untuk saling percaya dan saling memberikan jaminan satu sama lain tak terjadi penularan, menularkan atau bahkan klaster COVID-19 pun mesti disajikan.
Kalau ada tindakan aparat atau teguran mengingatkan satu dengan lain atas pelanggaran protokol kesehatan, sebenarnya lumrah saja, manusiawi. Tak perlu ada yang merasa tersinggung, apalagi mengamuk. Di situlah "kaca benggala" hidup sehat sedang dipasangkan.
Demikian pula dengan orang-orang yang saat awal pandemi pernah tak percaya adanya penularan virus.
Setelah beroleh bukti dalam 10 bulan terakhir, misalnya dirinya tersentuh virus dan harus karantina, atau melihat keluarga dan orang-orang sekitarnya berjatuhan karena COVID-19, konyol kalau masih berkukuh bahwa pandemi virus sebagai rekayasa atau omong kosong.
Biksu Sri Pannyavaro Mahathera dari Wihara Mendut, Kabupaten Magelang, mengemukakan tidak ada sesuatu yang tidak berubah di dunia ini.
Dalam bukunya "Bersahabat dengan Kehidupan, Memaknai dengan Kearifan", dia katakan bahwa perubahan adalah sifat yang dominan dan mencolok dalam kehidupan sehingga mesti diterima sebagaimana kewajaran.
Baca juga: Pandemi tranformasikan wadak ke batin Komunitas Lima Gunung
Harapannya, mereka yang awalnya tidak percaya pandemi virus, segera meruntuhkan anggapan itu. Mereka yang sebelumnya abai pentingnya hidup bersih dan sehat, mengubah menjadi peduli.
Baca juga: Festival Lima Gunung gelar ritual sakral tanpa tontonan saat pandemi
Pandemi COVID-19 nampaknya bukan saja memaksa orang menerapkan protokol kesehatan, namun juga menempatkan "kaca benggala" untuk memandang penting menabuh gending selaras hidup bersih dan sehat untuk diri serta orang lain.
Baca juga: Komunitas Lima Gunung selenggarakan "Larung Sengkala" di Sungai Progo
Budaya hidup bersih dan sehat, kiranya menjadi ukuran selaras manusia bermartabat tinggi pascapandemi.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021
Tags: