Artikel
Menyiasati singkong menjadi komoditas bernilai jual tinggi
Oleh Sutarmi
1 Januari 2021 20:36 WIB
Kelompok Wanita Putri 21 di Kabupaten Gunung Kidul memproduksi beras singkong dan mocaf untuk meningkatkan nilai jual singkong. Harga singkong saat panen hanya dihargai Rp1.000 per kilogram. ANTARA/Sutarmi.
Gunung Kidul (ANTARA) - Kelompok Wanita Putri 21 Desa Sumberejo, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengolah singkong menjadi beras singkong hingga tepung mocaf yang memiliki nilai jual tinggi.
Seperti diketahui, Kabupaten Gunung Kidul menjadi daerah penghasil singkong terbesar di DIY, sehingga saat musim panen singkong, harganya sangat rendah. Saat panen, harga singkong hanya dihargai Rp1.000 per kilogram.
Kondisi seperti ini membuat para petani yang didukung berbagai pemangku kepentingan pemerintah setempat harus memutar otak bagaimana caranya agar komoditas pertanian tersebut bernilai tinggi, sehingga petani tetap bergairah menanam singkong. Hal ini perlu dilakukan mengingat singkong selama ini merupakan komoditas andalan kabupaten tersebut yang tidak saja dijual ke masyarakat setempat tapi juga luar Gunung Kidul.
Untuk meningkatkan nilai jual singkong dan pendapatan petani, Pemkab Gunung Kidul melalui Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Pertanian dan Pangan, dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan bersinergi melakukan pendampingan terhadap petani menghasilkan singkong berkualitas hingga mengolah singkong menjadi produk berkualitas dan nilai jual tinggi.
"Kami berkomitmen meningkatkan kesejahteraan petani dengan mengembangkan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) pengolahan bahan baku lokal menjadi produk berkualitas dan memiliki nilai jual tinggi, seperti produk mocaf dan beras singkong," kata Bupati Gunung Kidul Badingah di Gunung Kidul, Jumat.
Pemkab Gunung Kidul berusaha mendongkrak nilai jual petani supaya kesejahteraan mereka meningkat. Untuk mewujudkan hal tersebut, menjadi tanggung jawab Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang membidangi, tidak hanya menjadi tanggung jawab Dinas Koperasi dan UKM saja.
Percepatan penumbuhan ekonomi berbasis kerakyatan tidak hanya menjadi tanggung jawab satu OPD, tapi sinergitas lintas OPD. Pemkab Gunung Kidul menyebar program pemberdayaan UKM, khususnya UMKM pengolahan produk lokal seperti singkong mulai dari pendampingan, bantuan alat hingga mencarikan pangsa pasar.
"Setelah berhasil, UMKM tersebut dilepas, sehingga bantuan tersebut benar-benar tepat sasaran dan menggerakkan ekonomi masyarakat," katanya.
Seperti halnya yang dilakukan oleh kelompok wanita Putri 21, dimana kelompok ini mengolah singkong menjadi mocaf yang kemudian diproses lagi menjadi butiran-butiran beras. Gunung Kidul sebagai daerah penghasil singkong terbesar mendorong masyarakat Gunung Kidul untuk berkreativitas dalam pengolahannya. Mengingat singkong terkadang nilai jualnya sangat rendah, sehingga harus berputar otak untuk bisa menciptakan olahan makanan berbahan singkong dengan nilai jual yang tinggi.
Baca juga: Dukung diversifikasi pangan, Bulog luncurkan beras berbahan singkong
Panen melimpah
Ketua Kelompok Wanita Putri 21 Desa Sumberejo, Kecamatan Playen Suti Rahayu mengatakan beberapa tahun silam panen singkong di daerahnya sangat melimpah dengan harga jual dari petani yang sangat rendah. Dari situ ia kemudian mencari ide-ide yang sekiranya bisa digunakan untuk menaikkan harga dan memanfaatkan hasil pertanian sekitar.
Pada awal usaha, Kelompok Wanita Putri 21 mendapat bantuan peralatan mesin pembuatan beras singkong dan mocaf dari Dinas Koperasi dan UKM. Selain itu, mendapat pelatihan pembuatannya.
"Singkong diproses dulu menjadi mocaf baru kemudian diproses lagi untuk menjadi beras analog, Alhamdulillah saat percobaan itu jadi. Kemudian peminatnya juga lumanyan sehingga kita produksi terus," kata Suti Rahayu.
Proses pembuatan tergolong singkat. Jika bahan sudah siap proses hanya membutuhkan waktu dua hari dalam pembuatan beras singkong. Sekitar 15 kilogram beras diprosuksi setiap dua hari sekali, maklum saja karena alat yang ada tergolong kecil sehingga bahan yang dimasukkan tidak bisa banyak.
Kelompok ini juga telah mendapatkan pendampingan dari pihak ketiga untuk lebih memajukan usaha kreatif tersebut. Adapun dalam satu bulan bisa melakukan produksi hingga 500 kilogram beras singkong. Harga jual sendiri lebih tinggi hingga berkali lipat jika dibandingkan dengan singkong pada umumnya.
"Per kilogram kita jual seharga Rp26 ribu. Untuk pasarannya di lokal dan sudah merambah ke beberapa daerah besar seperti Jakarta dan lainnya," kata dia.
Beras singkong sangat cocok dikonsumsi sehari sekali untuk yang sedang program diet ataupun mereka yang memiliki penyakit tertentu. Hal itu karena kandungan gizinya, mulai dari lemak 2,18 persen, protein 7,95. Kemudian karbohidrat 81,4 persen, energi 377,18 kkal, dan serat pangan 7,05 persen.
"Bentuknya butiran seperti beras. Sangat cocok dikonsumsi untuk pengganti nasi," katanya.
Selain beras singkong, kelompok ini juga mengolah beragam tanaman pangan yang diubah bentuk untuk menghasilkan nilai jual tinggi. Seperti misalnya ubi ungu, jagung dan lainnya yang juga diolah menjadi beras untuk menarik minat konsumsi masyarakat.
Dalam pembuatannya, ia memberdayakan ibu-ibu di lingkungan sekitarnya untuk terlibat mulai dari penyediaan bahan hingga proses pengolahan dan penjualannya. Dengan demikian diharapkan ada efek domino yang dirasakan dan dapat mengangkat ekonomi, utamanya adalah ibu-ibu rumah tangga.
"Saat ini, singkong di desa kami bisa ditampung Kelompok Wanita Putri 21, sehingga tidak ada harga singkong murah. Usaha kami pun dapat memberdayakan kelompok wanita tani, dan kami dapat memproduksi produk lokal," katanya.
Hal ini menjadikan petani akan tetap bergairah menanam singkong karena setelah diolah sedemikian rupa menjadi bernilai tinggi yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan ekonomi dan mensejahterakan masyarakat setempat.
Baca juga: Mentan tegaskan tanam singkong bukan program Kementan di "food estate"
Baca juga: Gunung Kidul panen raya singkong, harga 1.000 batang capai Rp6,5 juta
Seperti diketahui, Kabupaten Gunung Kidul menjadi daerah penghasil singkong terbesar di DIY, sehingga saat musim panen singkong, harganya sangat rendah. Saat panen, harga singkong hanya dihargai Rp1.000 per kilogram.
Kondisi seperti ini membuat para petani yang didukung berbagai pemangku kepentingan pemerintah setempat harus memutar otak bagaimana caranya agar komoditas pertanian tersebut bernilai tinggi, sehingga petani tetap bergairah menanam singkong. Hal ini perlu dilakukan mengingat singkong selama ini merupakan komoditas andalan kabupaten tersebut yang tidak saja dijual ke masyarakat setempat tapi juga luar Gunung Kidul.
Untuk meningkatkan nilai jual singkong dan pendapatan petani, Pemkab Gunung Kidul melalui Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Pertanian dan Pangan, dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan bersinergi melakukan pendampingan terhadap petani menghasilkan singkong berkualitas hingga mengolah singkong menjadi produk berkualitas dan nilai jual tinggi.
"Kami berkomitmen meningkatkan kesejahteraan petani dengan mengembangkan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) pengolahan bahan baku lokal menjadi produk berkualitas dan memiliki nilai jual tinggi, seperti produk mocaf dan beras singkong," kata Bupati Gunung Kidul Badingah di Gunung Kidul, Jumat.
Pemkab Gunung Kidul berusaha mendongkrak nilai jual petani supaya kesejahteraan mereka meningkat. Untuk mewujudkan hal tersebut, menjadi tanggung jawab Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang membidangi, tidak hanya menjadi tanggung jawab Dinas Koperasi dan UKM saja.
Percepatan penumbuhan ekonomi berbasis kerakyatan tidak hanya menjadi tanggung jawab satu OPD, tapi sinergitas lintas OPD. Pemkab Gunung Kidul menyebar program pemberdayaan UKM, khususnya UMKM pengolahan produk lokal seperti singkong mulai dari pendampingan, bantuan alat hingga mencarikan pangsa pasar.
"Setelah berhasil, UMKM tersebut dilepas, sehingga bantuan tersebut benar-benar tepat sasaran dan menggerakkan ekonomi masyarakat," katanya.
Seperti halnya yang dilakukan oleh kelompok wanita Putri 21, dimana kelompok ini mengolah singkong menjadi mocaf yang kemudian diproses lagi menjadi butiran-butiran beras. Gunung Kidul sebagai daerah penghasil singkong terbesar mendorong masyarakat Gunung Kidul untuk berkreativitas dalam pengolahannya. Mengingat singkong terkadang nilai jualnya sangat rendah, sehingga harus berputar otak untuk bisa menciptakan olahan makanan berbahan singkong dengan nilai jual yang tinggi.
Baca juga: Dukung diversifikasi pangan, Bulog luncurkan beras berbahan singkong
Panen melimpah
Ketua Kelompok Wanita Putri 21 Desa Sumberejo, Kecamatan Playen Suti Rahayu mengatakan beberapa tahun silam panen singkong di daerahnya sangat melimpah dengan harga jual dari petani yang sangat rendah. Dari situ ia kemudian mencari ide-ide yang sekiranya bisa digunakan untuk menaikkan harga dan memanfaatkan hasil pertanian sekitar.
Pada awal usaha, Kelompok Wanita Putri 21 mendapat bantuan peralatan mesin pembuatan beras singkong dan mocaf dari Dinas Koperasi dan UKM. Selain itu, mendapat pelatihan pembuatannya.
"Singkong diproses dulu menjadi mocaf baru kemudian diproses lagi untuk menjadi beras analog, Alhamdulillah saat percobaan itu jadi. Kemudian peminatnya juga lumanyan sehingga kita produksi terus," kata Suti Rahayu.
Proses pembuatan tergolong singkat. Jika bahan sudah siap proses hanya membutuhkan waktu dua hari dalam pembuatan beras singkong. Sekitar 15 kilogram beras diprosuksi setiap dua hari sekali, maklum saja karena alat yang ada tergolong kecil sehingga bahan yang dimasukkan tidak bisa banyak.
Kelompok ini juga telah mendapatkan pendampingan dari pihak ketiga untuk lebih memajukan usaha kreatif tersebut. Adapun dalam satu bulan bisa melakukan produksi hingga 500 kilogram beras singkong. Harga jual sendiri lebih tinggi hingga berkali lipat jika dibandingkan dengan singkong pada umumnya.
"Per kilogram kita jual seharga Rp26 ribu. Untuk pasarannya di lokal dan sudah merambah ke beberapa daerah besar seperti Jakarta dan lainnya," kata dia.
Beras singkong sangat cocok dikonsumsi sehari sekali untuk yang sedang program diet ataupun mereka yang memiliki penyakit tertentu. Hal itu karena kandungan gizinya, mulai dari lemak 2,18 persen, protein 7,95. Kemudian karbohidrat 81,4 persen, energi 377,18 kkal, dan serat pangan 7,05 persen.
"Bentuknya butiran seperti beras. Sangat cocok dikonsumsi untuk pengganti nasi," katanya.
Selain beras singkong, kelompok ini juga mengolah beragam tanaman pangan yang diubah bentuk untuk menghasilkan nilai jual tinggi. Seperti misalnya ubi ungu, jagung dan lainnya yang juga diolah menjadi beras untuk menarik minat konsumsi masyarakat.
Dalam pembuatannya, ia memberdayakan ibu-ibu di lingkungan sekitarnya untuk terlibat mulai dari penyediaan bahan hingga proses pengolahan dan penjualannya. Dengan demikian diharapkan ada efek domino yang dirasakan dan dapat mengangkat ekonomi, utamanya adalah ibu-ibu rumah tangga.
"Saat ini, singkong di desa kami bisa ditampung Kelompok Wanita Putri 21, sehingga tidak ada harga singkong murah. Usaha kami pun dapat memberdayakan kelompok wanita tani, dan kami dapat memproduksi produk lokal," katanya.
Hal ini menjadikan petani akan tetap bergairah menanam singkong karena setelah diolah sedemikian rupa menjadi bernilai tinggi yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan ekonomi dan mensejahterakan masyarakat setempat.
Baca juga: Mentan tegaskan tanam singkong bukan program Kementan di "food estate"
Baca juga: Gunung Kidul panen raya singkong, harga 1.000 batang capai Rp6,5 juta
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2021
Tags: