PDIP bahas penguatan politik identitas dan biaya tinggi berdemokrasi
29 Desember 2020 22:55 WIB
Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto saat menjadi pembicara kunci dalam Webinar Nasional yang dilaksanakan Balitpus PDIP bertema 'Evaluasi Demokrasi Indonesia Pasca Reformasi: Menguatnya Politik Identitas dan Politik Biaya Tinggi Yang Menurunkan Kualitas Demokrasi' secara daring, di Jakarta, Selasa (29-12/2020). ANTARA/HO-PDIP.
Jakarta (ANTARA) - PDI Perjuangan kini membahas dan mengajak seluruh rakyat Indonesia merefleksikan kembali bagaimana sistem politik Indonesia di tengah menguatnya politik identitas dan politik berbiaya tinggi.
Pada Webinar Nasional yang dilaksanakan Balitpus PDIP bertema "Evaluasi Demokrasi Indonesia Pasca Reformasi: Menguatnya Politik Identitas dan Politik Biaya Tinggi yang Menurunkan Kualitas Demokrasi" secara daring, di Jakarta, Selasa malam, Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto saat menjadi pembicara kunci mengaku pihaknya gundah dengan Indonesia yang menghadapi permasalahan biaya politik tinggi yang akut.
Menurut dia, kasus pilkada di Samosir, Sumatera Utara, membuktikan bahwa politik uang secara masif mampu mengalahkan bupati petahana yang mendapatkan penghargaan program pemberantasan korupsi terbaik di Sumut, serta hasil audit BPK dengan kualifikasi Wajar Tanpa Pengecualian.
Politik berbiaya tinggi ini, kata Hasto, merupakan dampak dari liberalisasi politik pascakrisis ekonomi 1997/1998, dimana terjadi global reproduction of American Politic lewat Letter of Intent IMF.
"Struktur dan sistem politik Indonesia diubah secara fundamental mengikuti mekanisme elektoral atas campur tangan kapital. Demokrasi liberal justru menggeser demokrasi berdasar Pancasila seperti diamanatkan oleh para pendiri bangsa," ujar Hasto dalam siaran persnya.
Dampak negatifnya, kata dia, terjadi kapitalisasi kekuasaan politik, penguatan primordialisme, hingga konflik Pancasila melawan ideologi trans-nasional.
Oleh karena itu, pada kongres terakhir di awal 2020, PDIP merekomendasikan kembalinya sistem proporsional tertutup, peningkatan ambang batas parlemen, perubahan district magnitude, moderasi sistem, sehingga mewujudkan presidensialisme dan pemerintahan efektif dan berbagai solusi lainnya.
PDIP juga mendorong kesadaran ideologi, organisasi, politik, lingkungan dan kesadaran untuk menyelesaikan persoalan rakyat secara gotong royong. Pendidikan kader dilaksanakan untuk mempersiapkan kader berkarakter, memiliki budi pekerti luhur dan telah menjalankan revolusi mental.
"Bung Karno menegaskan cita-cita kebangsaan bagaimana Indonesia harus dibangun sebagai satu kesatuan jiwa kebangsaan. All for one, and one for all. Setiap warga negara adalah sama yang akarnya prinsip kebangsaan," kata Hasto.
Direktur Institut Sarinah Eva Kusuma Sundari mengatakan perlunya membenahi sistem politik nasional sehingga demokrasi bisa menyejahterakan rakyat.
Dia mencontohkan soal kesetaraan kesempatan berpolitik bagi perempuan yang masih belum terwujud.
Baginya, jika kesetaraan gender diwujudkan, maka politik akan berubah wajah sekaligus arah ke pro-kesejahteraan. Bukan sekadar politik yang prosedural semata.
"Inilah saatnya kita mesti berubah. Bahwa substansi demokrasi harus diwujudkan, yakni kesejahteraan yang terukur. Apa contohnya? Salah satunya adalah sustainable development goals," kata Eva.
Sementara itu, pakar politik dari Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi, meminta agar partai politik di Indonesia kembali ke jalan ideologis.
Sehingga, dengan demikian, kata dia, mampu menjadi saluran atau artikulasi politik representatif bagi rakyat Indonesia atau yang disebutnya sebagai Kaum Marhaen.
"Ada problem struktural yang dihadapi oleh partai politik di Indonesia. Perlu reideologisasi dan refocusing partai sehingga bisa menyelesaikan permasalahan neoliberalisme yang sudah masuk ke politik," ujar Airlangga.
Pada Webinar Nasional yang dilaksanakan Balitpus PDIP bertema "Evaluasi Demokrasi Indonesia Pasca Reformasi: Menguatnya Politik Identitas dan Politik Biaya Tinggi yang Menurunkan Kualitas Demokrasi" secara daring, di Jakarta, Selasa malam, Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto saat menjadi pembicara kunci mengaku pihaknya gundah dengan Indonesia yang menghadapi permasalahan biaya politik tinggi yang akut.
Menurut dia, kasus pilkada di Samosir, Sumatera Utara, membuktikan bahwa politik uang secara masif mampu mengalahkan bupati petahana yang mendapatkan penghargaan program pemberantasan korupsi terbaik di Sumut, serta hasil audit BPK dengan kualifikasi Wajar Tanpa Pengecualian.
Politik berbiaya tinggi ini, kata Hasto, merupakan dampak dari liberalisasi politik pascakrisis ekonomi 1997/1998, dimana terjadi global reproduction of American Politic lewat Letter of Intent IMF.
"Struktur dan sistem politik Indonesia diubah secara fundamental mengikuti mekanisme elektoral atas campur tangan kapital. Demokrasi liberal justru menggeser demokrasi berdasar Pancasila seperti diamanatkan oleh para pendiri bangsa," ujar Hasto dalam siaran persnya.
Dampak negatifnya, kata dia, terjadi kapitalisasi kekuasaan politik, penguatan primordialisme, hingga konflik Pancasila melawan ideologi trans-nasional.
Oleh karena itu, pada kongres terakhir di awal 2020, PDIP merekomendasikan kembalinya sistem proporsional tertutup, peningkatan ambang batas parlemen, perubahan district magnitude, moderasi sistem, sehingga mewujudkan presidensialisme dan pemerintahan efektif dan berbagai solusi lainnya.
PDIP juga mendorong kesadaran ideologi, organisasi, politik, lingkungan dan kesadaran untuk menyelesaikan persoalan rakyat secara gotong royong. Pendidikan kader dilaksanakan untuk mempersiapkan kader berkarakter, memiliki budi pekerti luhur dan telah menjalankan revolusi mental.
"Bung Karno menegaskan cita-cita kebangsaan bagaimana Indonesia harus dibangun sebagai satu kesatuan jiwa kebangsaan. All for one, and one for all. Setiap warga negara adalah sama yang akarnya prinsip kebangsaan," kata Hasto.
Direktur Institut Sarinah Eva Kusuma Sundari mengatakan perlunya membenahi sistem politik nasional sehingga demokrasi bisa menyejahterakan rakyat.
Dia mencontohkan soal kesetaraan kesempatan berpolitik bagi perempuan yang masih belum terwujud.
Baginya, jika kesetaraan gender diwujudkan, maka politik akan berubah wajah sekaligus arah ke pro-kesejahteraan. Bukan sekadar politik yang prosedural semata.
"Inilah saatnya kita mesti berubah. Bahwa substansi demokrasi harus diwujudkan, yakni kesejahteraan yang terukur. Apa contohnya? Salah satunya adalah sustainable development goals," kata Eva.
Sementara itu, pakar politik dari Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi, meminta agar partai politik di Indonesia kembali ke jalan ideologis.
Sehingga, dengan demikian, kata dia, mampu menjadi saluran atau artikulasi politik representatif bagi rakyat Indonesia atau yang disebutnya sebagai Kaum Marhaen.
"Ada problem struktural yang dihadapi oleh partai politik di Indonesia. Perlu reideologisasi dan refocusing partai sehingga bisa menyelesaikan permasalahan neoliberalisme yang sudah masuk ke politik," ujar Airlangga.
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020
Tags: