Jakarta (ANTARA) - Akademisi UIN Walisongo Semarang, Briliyan Erna Wati menilai UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Ciptaker muncul atas pertimbangan untuk memenuhi hak masyarakat atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan.

“UU Cipta Kerja muncul atas pertimbangan untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan," ujar Briliyan dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, perlu penyesuaian berbagai aspek regulasi yang berkaitan dangan kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), percepatan Proyek Strategis Nasional (PSN), termasuk peningkatan perlindungan pekerja.

"Di tengah-tengah persaingan kerja yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi, Cipta Kerja diharapkan mampu menyerap seluas-luasnya tenaga kerja,” katanya.

Akademisi itu juga menambahkan bahwa UU Cipta Kerja meningkatkan nominal pidana denda bagi subyek hukum yang melanggar ketentuan pemanfaatan tata ruang.

“UU Cipta Kerja lebih bagaimana meningkatkan atau memberikan denda yang lebih tinggi daripada pengaturan di UU yang lama (UU no. 26/2007 tentang Penataan Ruang), karena secara redaksional atau substansi sama,” ujar Briliyan.

Dia lebih lanjut menjelaskan mengenai perbandingan pasal-pasal hukuman pidana yang diatur UU Cipta Kerja dengan UU yang diubah dalam Omnibus Law tersebut yakni UU Penataan Ruang.

Misalnya, perubahan dalam pasal 69 ayat (1). Jika dalam UU Penataan Ruang berbunyi, setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf a yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp500 ratus juta rupiah.

UU Cipta Kerja, terkait pelanggaran tersebut, mengubahnya menjadi, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp1 satu miliar rupiah.

Kemudian, pada pasal 69 ayat (2) dalam UU Cipta Kerja juga meningkatkan nominal pidana denda dari Rp1,5 miliar menjadi Rp2,5 miliyar bagi pemanfaat ruang yang mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang. Sedangkan pada ayat (3) menjadi Rp8 miliar, yang dalam UU sebelumnya Rp5 miliar, bagi yang mengakibatkan kematian orang, selain dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.