Ekonom: Pengucuran kredit perbankan jadi kunci pemulihan ekonomi 2021
21 Desember 2020 11:51 WIB
Suasana aktivitas pembangunan proyek Light Rapid Transit (LRT) Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi atau Jabodebek di Jakarta, Kamis (17/12/2020). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.
Jakarta (ANTARA) - Ekonom Universitas Padjadjaran Aldrin Herwany menilai pengucuran kredit oleh perbankan kepada pelaku usaha menjadi kunci pemulihan dan akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021.
"Pemulihan ekonomi tidak akan optimal jika hanya mengandalkan dana APBN dan dana Bank Indonesia, sehingga pengucuran dana kredit menjadi sebuah keniscayaan yang harus didorong," ujar Aldrin dalam sebuah seminar daring di Jakarta, Senin.
Baca juga: Kemenko Perekonomian: Belanja pemerintah tetap jadi daya topang utama
Ia menuturkan saat ini suku bunga sudah turun dan permintaan kredit tinggi, namun suplai dari kredit masih sangat rendah.
Menurut Aldrin, suplai kredit rendah bukan karena perbankan tidak punya uang, namun perbankan masih melihat risiko yang tinggi saat memberi kredit ke pelaku usaha.
"Saya survei beberapa bulan yang lalu ketika terjadi pandemi pada April, debitur-debitur bagus dan lancar, mereka itu sekarang kesulitan kredit modal kerja. Ketika mereka ajukan kredit, apa yang terjadi di perbankan kita? Perbankan kita, bankers kita menolak secara halus. Bagaimana caranya? Kasih saja syarat-syarat yang tidak pernah diminta sebelumnya, sehingga kelabakan debiturnya," katanya.
Aldrin mengaku telah melakukan survei terhadap 50-70 debitur kelas menengah ke atas dan merupakan nasabah eksisting bank yang berkategori lancar pembayaran cicilan kreditnya, namun mendapatkan penolakan dari bank atas pengajuan kredit modal kerjanya.
"Alasannya kenapa? Memang perbankan prudential banking-nya jalan, jadi saking jalannya pandemi ini, persepsi risiko tinggi. Bagaimana supaya menolak halus padahal itu debitur bagus. Itu saya survei 50-70 debitur, ternyata benar terbukti sampai saat ini Indonesia hanya nol koma sekian persen yang berhasil untuk pencairan kredit," ujarnya
Menurut Aldrin, pelaku usaha khususnya korporasi, saat ini banyak yang memerlukan kredit modal kerja untuk mempertahankan keberlangsungan operasional dalam menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK).
Bank memberikan persyaratan kredit yang lebih berat dan tidak biasa seperti pada saat kondisi sebelum pandemi COVID-19, sehingga pada akhirnya debitur mundur teratur dan pada akhirnya kredit tidak tumbuh.
Kondisi tersebut, lanjutnya, karena masih berbedanya persepsi terkait risiko dan kondisi ekonomi saat ini antara pemerintah, Bank Indonesia, dengan perbankan.
Menurutnya, semua pemangku kepentingan baik pemerintah, BI, OJK, LPS, dan perbankan harus sering-sering duduk bersama mendiskusikan dan menyamakan persepsi, bisa melalui focus group discussion (FGD) atau pertemuan lainnya.
"Mudah-mudahan di 2021, para regulator dan pelaku khususnya di industri perbankan bisa duduk bareng semoga ekspansi kredit jalan. Kalau ekspansi kredit jalan, apa yang dikatakan pemerintah ekonomi tumbuh 5 persen, saya percaya, bahkan lebih. Tapi kalau itu tidak jalan, kredit tidak jalan, hanya mengandalkan dana APBN, dana dari BI penjualan SBN dan lain-lain, berat kayaknya. Itu pun dengan asumsi bahwa COVID ada vaksin berhenti di Januari, Februari atau Maret sudah berhenti," kata Aldrin.
Baca juga: BI beli SBN pemerintah Rp473,42 triliun
Baca juga: Pemerintah optimistis UU Ciptaker akselerasi bisnis dan investasi
"Pemulihan ekonomi tidak akan optimal jika hanya mengandalkan dana APBN dan dana Bank Indonesia, sehingga pengucuran dana kredit menjadi sebuah keniscayaan yang harus didorong," ujar Aldrin dalam sebuah seminar daring di Jakarta, Senin.
Baca juga: Kemenko Perekonomian: Belanja pemerintah tetap jadi daya topang utama
Ia menuturkan saat ini suku bunga sudah turun dan permintaan kredit tinggi, namun suplai dari kredit masih sangat rendah.
Menurut Aldrin, suplai kredit rendah bukan karena perbankan tidak punya uang, namun perbankan masih melihat risiko yang tinggi saat memberi kredit ke pelaku usaha.
"Saya survei beberapa bulan yang lalu ketika terjadi pandemi pada April, debitur-debitur bagus dan lancar, mereka itu sekarang kesulitan kredit modal kerja. Ketika mereka ajukan kredit, apa yang terjadi di perbankan kita? Perbankan kita, bankers kita menolak secara halus. Bagaimana caranya? Kasih saja syarat-syarat yang tidak pernah diminta sebelumnya, sehingga kelabakan debiturnya," katanya.
Aldrin mengaku telah melakukan survei terhadap 50-70 debitur kelas menengah ke atas dan merupakan nasabah eksisting bank yang berkategori lancar pembayaran cicilan kreditnya, namun mendapatkan penolakan dari bank atas pengajuan kredit modal kerjanya.
"Alasannya kenapa? Memang perbankan prudential banking-nya jalan, jadi saking jalannya pandemi ini, persepsi risiko tinggi. Bagaimana supaya menolak halus padahal itu debitur bagus. Itu saya survei 50-70 debitur, ternyata benar terbukti sampai saat ini Indonesia hanya nol koma sekian persen yang berhasil untuk pencairan kredit," ujarnya
Menurut Aldrin, pelaku usaha khususnya korporasi, saat ini banyak yang memerlukan kredit modal kerja untuk mempertahankan keberlangsungan operasional dalam menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK).
Bank memberikan persyaratan kredit yang lebih berat dan tidak biasa seperti pada saat kondisi sebelum pandemi COVID-19, sehingga pada akhirnya debitur mundur teratur dan pada akhirnya kredit tidak tumbuh.
Kondisi tersebut, lanjutnya, karena masih berbedanya persepsi terkait risiko dan kondisi ekonomi saat ini antara pemerintah, Bank Indonesia, dengan perbankan.
Menurutnya, semua pemangku kepentingan baik pemerintah, BI, OJK, LPS, dan perbankan harus sering-sering duduk bersama mendiskusikan dan menyamakan persepsi, bisa melalui focus group discussion (FGD) atau pertemuan lainnya.
"Mudah-mudahan di 2021, para regulator dan pelaku khususnya di industri perbankan bisa duduk bareng semoga ekspansi kredit jalan. Kalau ekspansi kredit jalan, apa yang dikatakan pemerintah ekonomi tumbuh 5 persen, saya percaya, bahkan lebih. Tapi kalau itu tidak jalan, kredit tidak jalan, hanya mengandalkan dana APBN, dana dari BI penjualan SBN dan lain-lain, berat kayaknya. Itu pun dengan asumsi bahwa COVID ada vaksin berhenti di Januari, Februari atau Maret sudah berhenti," kata Aldrin.
Baca juga: BI beli SBN pemerintah Rp473,42 triliun
Baca juga: Pemerintah optimistis UU Ciptaker akselerasi bisnis dan investasi
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020
Tags: