Jakarta (ANTARA) - Pemerintah dinilai perlu untuk fokus kepada sumber energi baru dan terbarukan alternatif selain tenaga nuklir, untuk menggantikan sumber energi fosil yang dinilai selama ini tidak ramah lingkungan.

Rektor Universitas Haluoeo Kendari, Prof Dr Muhammad Zamrun dalam rilis yang diterima di Jakarta, Minggu, mengusulkan agar pemerintah dapat membuat kebijakan yang mendukung pemanfaatan energi alternatif seperti arus gelombang dan tenaga angin.

"Jadi, sebelum kita beralih memanfaatkan energi nuklir, saya rasa bisa memanfaatkan dulu energi potensial yang ada seperti arus laut, angin, dan sebagainya," kata Muhammad Zamrun.

Apalagi, Zamrun mengingatkan bahwa Republik Indonesia memiliki garis pantai yang panjang dan memiliki banyak energi alternatif yang potensial.

Sebagaimana diketahui, Indonesia merupakan negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.

Sebelumnya, Anggota Komisi VI DPR RI Amin Ak mengharapkan Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) bisa menjawab investor yang menginginkan kepastian hukum terkait sektor tersebut.

"RUU EBT yang saat ini masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021 harus mampu menjawab kebutuhan investor agar mereka nyaman berinvestasi di sektor energi terbarukan," kata Amin.

Baca juga: Tekan pengangguran, Pemerintah diminta garap serius energi terbarukan

Menurut dia, akan banyak terdapat pilihan skema pendanaan pengembangan EBT jika aturan main, baik UU maupun produk hukum turunannya, mampu memberikan kepastian hukum dan iklim usaha yang dibutuhkan investor.

Ia juga menyatakan bahwa harus ada keberpihakan yang jelas melalui berbagai kebijakan pemerintah jika ingin target pengembangan EBT lebih cepat terealisasikan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Peraturan Presiden No 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pada 2025, peran EBT dalam bauran energi nasional ditargetkan mencapai 23 persen dan diharapkan terus meningkat menjadi 31 persen pada 2050.

Amin berpendapat bahwa jangka waktu 30 tahun atau hingga 2050 bukanlah waktu yang terbilang sebentar guna merealisasikan target tersebut.

Ia mengungkapkan Uni Eropa saat ini memiliki dana sebesar 350 juta euro untuk pengembangan EBT di Indonesia, namun mereka membutuhkan komitmen dan konsistensi kebijakan pemerintah untuk merealisasikan pengembangan EBT.

Baca juga: Hilmi Panigoro fokuskan Medco Power kembangkan listrik berbasis EBT

Selain itu, menurut dia, pemerintah juga bisa memanfaatkan dana perdagangan karbon yang dimiliki lembaga donor internasional maupun perusahaan nasional dan multinasional.