Kaleidoskop 2020
Undang-undang yang berubah akibat putusan MK
Oleh Dyah Dwi Astuti
20 Desember 2020 16:03 WIB
Ilustrasi - Sejumlah anggota kepolisian berjaga di depan gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (11/1). Polda Metro Jaya mengerahkan 852 anggota untuk mengamankan berlangsungnya sidang sengketa Pilkada di MK. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga (nytimes)
Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi sepanjang 2020 menangani sebanyak 139 permohonan pengujian undang-undang, terdiri atas 30 perkara dalam proses tahun lalu dan 109 diregistrasi pada 2020.
Dari seluruh perkara yang mempersoalkan undang-undang tersebut, sebanyak 89 perkara sudah diputus dan 50 perkara masih dalam proses pemeriksaan.
Sebagian besar perkara tidak diterima oleh Mahkamah Konstitusi, yakni sebanyak 45 perkara di antaranya karena pemohon tidak memiliki kedudukan hukum serta kesalahan pencantuman pasal mau pun nomor undang-undang.
Sedangkan perkara yang ditolak sebanyak 27 perkara dan yang ditarik kembali oleh pemohon atau kuasa hukum sejumlah 14 perkara.
Permohonan yang dapat meyakinkan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi bahwa terjadi kerugian konstitusional dari norma yang diujikan pada 2020 hanya sebanyak tiga permohonan. Jumlah putusan kabul itu merupakan yang paling sedikit setelah 2003.
Berikut ini adalah permohonan pengujian undang-undang yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi sepanjang 2020.
Baca juga: Kolektor minta MK ubah pendirian soal jaminan fidusia
1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
Putusan atas permohonan pengujian yang diajukan wiraswasta bernama Aprilliani Dewi dan Suri Agung Prabowo itu diucapkan pada awal Januari 2020.
Para pemohon dalam permohonannya mengaku melakukan perjanjian pembiayaan multiguna atas penyediaan dana pembelian satu unit mobil mewah dengan perusahaan pembiayaan mobil dan alat berat.
Sesuai perjanjian yang telah disepakati, pemohon berkewajiban membayar utang kepada perusahaan itu selama 35 bulan sejak November 2016. Dalam kurun November 2016 hingga Juli 2017, pemohon membayarkan angsuran secara taat, tetapi pada November 2017, perusahaan tersebut mengambil kendaraan pemohon dengan dalil wanprestasi.
Para pemohon mengajukan perkara ke Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan pada April 2018 dengan gugatan perbuatan melawan hukum dan dikabulkan oleh majelis hakim. Namun, pada Januari 2018, penarikan paksa kendaraan dilakukan lagi dengan disaksikan kepolisian.
Menurut para pemohon, perusahaan pembiayaan itu berlindung di balik pasal Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia yang diujikan.
Atas permohonan itu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pemohon dan menyatakan eksekusi jaminan fidusia tidak boleh dilakukan sendiri oleh penerima fidusia atau kreditur, melainkan harus dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi memandang pelaksanaan eksekusi dan waktu pemberi fidusia atau debitur dinyatakan cedera janji sering menimbulkan perbuatan paksaan dan kekerasan dari orang yang mendapat kuasa untuk menagih pinjaman utang debitur.
Baca juga: MK nilai waktu penanganan pelanggaran pilkada sudah sesuai beban kerja
2. Undang-Undang Pilkada
Masih di bulan Januari, Mahkamah Konstitusi mengabulkan satu lagi permohonan pengujian undang-undang.
Kali ini permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) yang dikabulkan seluruhnya.
Pemohon adalah Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Sumatera Barat Surya Efitrimen, Ketua Bawaslu Kota Makassar Nursari dan Anggota Bawaslu Kabupaten Ponorogo Sulung Muna Rimbawan.
Ketiganya menilai Pasal 1 angka 17 frasa panwas kabupaten/kota, Pasal 1 angka 17, Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) frasa masing-masing beranggotakan 3(tiga) orang, Pasal 24 ayat (1) UU serta seluruh pasal UU Pilkada bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Akibat pasal-pasal tersebut, para pemohon secara faktual potensial merasa tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan pelaksanaan pilkada karena desain kelembagaan yang dipersyaratkan dalam Undang-Undang Pilkada adalah Bawaslu RI ataupun provinsi untuk membentuk suatu lembaga yang dinamakan Panitia Pengawas Pemilihan yang bersifat baru dan berbeda, serta kelembagaan dengan Bawaslu kabupaten/kota yang kedudukannya saat ini telah permanen.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan itu dan mengubah Panwaslu menjadi Bawaslu. Hal itu menyesuaikan dengan perubahan norma sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Majelis hakim berpendapat kelembagaan Panwaslu kabupaten/kota menjadi Bawaslu kabupaten/kota yang proses pengisiannya dilakukan melalui sebuah tim seleksi yang dibentuk oleh Bawaslu berdampak definisi Panwas kabupaten/kota dalam Pasal 1 angka 17 UU Pilkada, yang masih mencantumkan frasa "dibentuk oleh Bawaslu Provinsi" juga harus disesuaikan.
Semua pengaturan yang menentukan batas waktu pembentukan Bawaslu kabupaten/kota sebagai bagian dari tahapan persiapan pilkada serta Panwas kabupaten/kota dibentuk dan ditetapkan oleh Bawaslu provinsi pun dinyatakan inkonstitusional.
Baca juga: Pengadilan Pajak di bawah Kemenkeu digugat di MK
3. Undang-Undang Pengadilan Pajak
Pada Februari 2020, sebanyak tiga orang hakim Pengadilan Pajak mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.
Ketiganya mempersoalkan aturan mekanisme pengangkatan serta periode masa jabatan ketua dan wakil ketua Pengadilan Pajak dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (2) UU Pengadilan Pajak.
Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak berbunyi "Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan." Sedangkan Pasal 8 ayat (2) UU Pengadilan Pajak berbunyi "Ketua dan Wakil Ketua diangkat oleh Presiden dari para hakim yang diusulkan Menteri setelah mendapatkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung."
Setelah dilakukan empat kali sidang dengan agenda pendahuluan, perbaikan permohonan, mendengarkan keterangan DPR dan Presiden serta keterangan tambahan, pada 28 September 2020, Mahkamah Konstitusi mengabulkan untuk sebagian permohonan itu. Pasal 8 ayat (2) UU Pengadilan Pajak dinyatakan inkonstitusional.
Ketua dan wakil ketua Pengadilan Pajak tidak lagi diusulkan oleh Menteri Keuangan untuk diangkat oleh Presiden setelah disetujui Mahkamah Agung.
Agar Pengadilan Pajak tetap independen dalam melaksanakan kewenangannya, ketua dan wakil ketua Pengadilan Pajak dipilih oleh hakim Pengadilan Pajak untuk selanjutnya ditindaklanjuti Menteri Keuangan untuk diteruskan kepada Presiden setelah mendapat persetujuan dari Mahkamah Agung untuk satu kali masa jabatan lima tahun.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi memandang hakim Pengadilan Pajak harus bebas dalam menentukan pimpinan karena dibutuhkan koordinasi dalam menjalankan tugas dan kewenangan dari badan peradilan itu sendiri.
Sementara pihak eksternal atau dalam hal ini Menteri Keuangan, belum tentu mengetahui kualitas atau karakter dari masing-masing hakim yang akan dipilih.
Sedangkan untuk Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak, Mahkamah Konstitusi menilai pasal tersebut konstitusional karena frasa "pembinaan organisasi" dalam pasal itu yang dipersoalkan para pemohon belum tentu diartikan termasuk pemilihan ketua dan wakil ketua Pengadilan Pajak.
Dari seluruh perkara yang mempersoalkan undang-undang tersebut, sebanyak 89 perkara sudah diputus dan 50 perkara masih dalam proses pemeriksaan.
Sebagian besar perkara tidak diterima oleh Mahkamah Konstitusi, yakni sebanyak 45 perkara di antaranya karena pemohon tidak memiliki kedudukan hukum serta kesalahan pencantuman pasal mau pun nomor undang-undang.
Sedangkan perkara yang ditolak sebanyak 27 perkara dan yang ditarik kembali oleh pemohon atau kuasa hukum sejumlah 14 perkara.
Permohonan yang dapat meyakinkan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi bahwa terjadi kerugian konstitusional dari norma yang diujikan pada 2020 hanya sebanyak tiga permohonan. Jumlah putusan kabul itu merupakan yang paling sedikit setelah 2003.
Berikut ini adalah permohonan pengujian undang-undang yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi sepanjang 2020.
Baca juga: Kolektor minta MK ubah pendirian soal jaminan fidusia
1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
Putusan atas permohonan pengujian yang diajukan wiraswasta bernama Aprilliani Dewi dan Suri Agung Prabowo itu diucapkan pada awal Januari 2020.
Para pemohon dalam permohonannya mengaku melakukan perjanjian pembiayaan multiguna atas penyediaan dana pembelian satu unit mobil mewah dengan perusahaan pembiayaan mobil dan alat berat.
Sesuai perjanjian yang telah disepakati, pemohon berkewajiban membayar utang kepada perusahaan itu selama 35 bulan sejak November 2016. Dalam kurun November 2016 hingga Juli 2017, pemohon membayarkan angsuran secara taat, tetapi pada November 2017, perusahaan tersebut mengambil kendaraan pemohon dengan dalil wanprestasi.
Para pemohon mengajukan perkara ke Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan pada April 2018 dengan gugatan perbuatan melawan hukum dan dikabulkan oleh majelis hakim. Namun, pada Januari 2018, penarikan paksa kendaraan dilakukan lagi dengan disaksikan kepolisian.
Menurut para pemohon, perusahaan pembiayaan itu berlindung di balik pasal Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia yang diujikan.
Atas permohonan itu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pemohon dan menyatakan eksekusi jaminan fidusia tidak boleh dilakukan sendiri oleh penerima fidusia atau kreditur, melainkan harus dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi memandang pelaksanaan eksekusi dan waktu pemberi fidusia atau debitur dinyatakan cedera janji sering menimbulkan perbuatan paksaan dan kekerasan dari orang yang mendapat kuasa untuk menagih pinjaman utang debitur.
Baca juga: MK nilai waktu penanganan pelanggaran pilkada sudah sesuai beban kerja
2. Undang-Undang Pilkada
Masih di bulan Januari, Mahkamah Konstitusi mengabulkan satu lagi permohonan pengujian undang-undang.
Kali ini permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) yang dikabulkan seluruhnya.
Pemohon adalah Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Sumatera Barat Surya Efitrimen, Ketua Bawaslu Kota Makassar Nursari dan Anggota Bawaslu Kabupaten Ponorogo Sulung Muna Rimbawan.
Ketiganya menilai Pasal 1 angka 17 frasa panwas kabupaten/kota, Pasal 1 angka 17, Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) frasa masing-masing beranggotakan 3(tiga) orang, Pasal 24 ayat (1) UU serta seluruh pasal UU Pilkada bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Akibat pasal-pasal tersebut, para pemohon secara faktual potensial merasa tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan pelaksanaan pilkada karena desain kelembagaan yang dipersyaratkan dalam Undang-Undang Pilkada adalah Bawaslu RI ataupun provinsi untuk membentuk suatu lembaga yang dinamakan Panitia Pengawas Pemilihan yang bersifat baru dan berbeda, serta kelembagaan dengan Bawaslu kabupaten/kota yang kedudukannya saat ini telah permanen.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan itu dan mengubah Panwaslu menjadi Bawaslu. Hal itu menyesuaikan dengan perubahan norma sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Majelis hakim berpendapat kelembagaan Panwaslu kabupaten/kota menjadi Bawaslu kabupaten/kota yang proses pengisiannya dilakukan melalui sebuah tim seleksi yang dibentuk oleh Bawaslu berdampak definisi Panwas kabupaten/kota dalam Pasal 1 angka 17 UU Pilkada, yang masih mencantumkan frasa "dibentuk oleh Bawaslu Provinsi" juga harus disesuaikan.
Semua pengaturan yang menentukan batas waktu pembentukan Bawaslu kabupaten/kota sebagai bagian dari tahapan persiapan pilkada serta Panwas kabupaten/kota dibentuk dan ditetapkan oleh Bawaslu provinsi pun dinyatakan inkonstitusional.
Baca juga: Pengadilan Pajak di bawah Kemenkeu digugat di MK
3. Undang-Undang Pengadilan Pajak
Pada Februari 2020, sebanyak tiga orang hakim Pengadilan Pajak mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.
Ketiganya mempersoalkan aturan mekanisme pengangkatan serta periode masa jabatan ketua dan wakil ketua Pengadilan Pajak dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (2) UU Pengadilan Pajak.
Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak berbunyi "Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan." Sedangkan Pasal 8 ayat (2) UU Pengadilan Pajak berbunyi "Ketua dan Wakil Ketua diangkat oleh Presiden dari para hakim yang diusulkan Menteri setelah mendapatkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung."
Setelah dilakukan empat kali sidang dengan agenda pendahuluan, perbaikan permohonan, mendengarkan keterangan DPR dan Presiden serta keterangan tambahan, pada 28 September 2020, Mahkamah Konstitusi mengabulkan untuk sebagian permohonan itu. Pasal 8 ayat (2) UU Pengadilan Pajak dinyatakan inkonstitusional.
Ketua dan wakil ketua Pengadilan Pajak tidak lagi diusulkan oleh Menteri Keuangan untuk diangkat oleh Presiden setelah disetujui Mahkamah Agung.
Agar Pengadilan Pajak tetap independen dalam melaksanakan kewenangannya, ketua dan wakil ketua Pengadilan Pajak dipilih oleh hakim Pengadilan Pajak untuk selanjutnya ditindaklanjuti Menteri Keuangan untuk diteruskan kepada Presiden setelah mendapat persetujuan dari Mahkamah Agung untuk satu kali masa jabatan lima tahun.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi memandang hakim Pengadilan Pajak harus bebas dalam menentukan pimpinan karena dibutuhkan koordinasi dalam menjalankan tugas dan kewenangan dari badan peradilan itu sendiri.
Sementara pihak eksternal atau dalam hal ini Menteri Keuangan, belum tentu mengetahui kualitas atau karakter dari masing-masing hakim yang akan dipilih.
Sedangkan untuk Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak, Mahkamah Konstitusi menilai pasal tersebut konstitusional karena frasa "pembinaan organisasi" dalam pasal itu yang dipersoalkan para pemohon belum tentu diartikan termasuk pemilihan ketua dan wakil ketua Pengadilan Pajak.
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020
Tags: