Survei CISDI catat sejumlah kendala dalam layanan penanganan COVID-19
18 Desember 2020 15:16 WIB
Direktur Kebijakan CISDI Olivia Herlinda (gambar keenam dari kiri atas) berbicara dalam Diskusi Pakar: Health Outlook 2021, secara virtual, Jakarta, Jumat (18/12/2020). (ANTARA/Katriana)
Jakarta (ANTARA) - Badan strategi independen Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) mencatat sejumlah kendala dalam layanan penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia.
"Melalui survei yang dilakukan CISDI bersama Kawal COVID-19 dan juga Cekdiri pada Agustus sampai September, 45 persen puskesmas masih melaporkan belum mendapatkan pelatihan, pengendalian dan pencegahan infeksi," kata Direktur Kebijakan CISDI Olivia Herlinda dalam Diskusi Pakar: Health Outlook 2021, secara virtual dipantau di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan bahwa berdasarkan survei yang dilakukan CISDI, Kawal COVID-19 dan Cekdiri tersebut, sejumlah kendala telah menghambat pelayanan dalam upaya penanggulangan wabah COVID-19.
Baca juga: CISDI: Iklan dan harga murah strategi industri rokok sasar anak-anak
Salah satu di antara kendala itu adalah bahwa 45 persen puskesmas dilaporkan belum mendapatkan pelatihan, pengendalian dan pencegahan infeksi. Kemudian, 40 persen puskesmas juga masih kekurangan masker bedah untuk melakukan pelayanan pada pasien dengan gejala mirip COVID-19.
Sementara 18,5 persen puskesmas lainnya juga belum memiliki fasilitas cuci tangan dan sabun penyanitasi tangan yang cukup.
Untuk intervensi tes, pelacakan dan isolasi yang dinilai belum mencapai proporsi ideal, CISDI mencatat bahwa peningkatan kapasitas tes berjalan perlahan dan fluktuatif.
Baca juga: GMBC dorong anak muda dilibatkan dalam pengendalian COVID-19
Dengan jumlah penduduk mencapai 270 juta jiwa, Indonesia membutuhkan tes paling tidak 40 ribu orang per hari agar memenuhi standar minimum tes 1 per seribu penduduk per pekan.
Lebih lanjut, Olivia mengatakan bahwa dari hasil survei tersebut CISDI juga menemukan masih adanya ketimpangan antarprovinsi dan hanya 17 provinsi yang telah memenuhi standar minimum pemeriksaan, dengan Jakarta sendiri menyumbang 20-30 persen kapasitas tes dari jumlah total setiap hari. Namun, positivity rate lebih dari lima persen.
Baca juga: CISDI luncurkan platform pemetaan aktor SDGs non-pemerintah
Sementara untuk rasio lacak-isolasi (RLI) Indonesia per 9 Desember 2020 adalah sebesar 1,62. Dengan tingkat rasio lacak tersebut, Indonesia dinilai masih belum dapat mengidentifikasi dan segera mengisolasi orang-orang yang terpapar COVID-19.
Adapun kendala dalam sistem informasi dan data, survei CISDI menemukan pendataan yang tumpang tindih dan tidak terintegrasi.
Baca juga: Pasien COVID-19 dirawat inap di Wisma Atlet bertambah 131 orang
Hal itu dapat dilihat dari adanya perbedaan data yang dilaporkan oleh pusat dan daerah, keterlambatan waktu hasil pemeriksaan dan pelaporan dan tidak adanya kurva epidemi yang dianggap andal.
Pemantauan ambang kapasitas layanan juga tercatat bergerak kalah cepat dari laju transmisi wabah, dengan pengambilan kebijakan berbasis sistem zonasi yang cenderung menyesatkan.
Baca juga: Pasien sembuh COVID-19 di Indonesia tambah 4.001, positif 5.533 orang
"Melalui survei yang dilakukan CISDI bersama Kawal COVID-19 dan juga Cekdiri pada Agustus sampai September, 45 persen puskesmas masih melaporkan belum mendapatkan pelatihan, pengendalian dan pencegahan infeksi," kata Direktur Kebijakan CISDI Olivia Herlinda dalam Diskusi Pakar: Health Outlook 2021, secara virtual dipantau di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan bahwa berdasarkan survei yang dilakukan CISDI, Kawal COVID-19 dan Cekdiri tersebut, sejumlah kendala telah menghambat pelayanan dalam upaya penanggulangan wabah COVID-19.
Baca juga: CISDI: Iklan dan harga murah strategi industri rokok sasar anak-anak
Salah satu di antara kendala itu adalah bahwa 45 persen puskesmas dilaporkan belum mendapatkan pelatihan, pengendalian dan pencegahan infeksi. Kemudian, 40 persen puskesmas juga masih kekurangan masker bedah untuk melakukan pelayanan pada pasien dengan gejala mirip COVID-19.
Sementara 18,5 persen puskesmas lainnya juga belum memiliki fasilitas cuci tangan dan sabun penyanitasi tangan yang cukup.
Untuk intervensi tes, pelacakan dan isolasi yang dinilai belum mencapai proporsi ideal, CISDI mencatat bahwa peningkatan kapasitas tes berjalan perlahan dan fluktuatif.
Baca juga: GMBC dorong anak muda dilibatkan dalam pengendalian COVID-19
Dengan jumlah penduduk mencapai 270 juta jiwa, Indonesia membutuhkan tes paling tidak 40 ribu orang per hari agar memenuhi standar minimum tes 1 per seribu penduduk per pekan.
Lebih lanjut, Olivia mengatakan bahwa dari hasil survei tersebut CISDI juga menemukan masih adanya ketimpangan antarprovinsi dan hanya 17 provinsi yang telah memenuhi standar minimum pemeriksaan, dengan Jakarta sendiri menyumbang 20-30 persen kapasitas tes dari jumlah total setiap hari. Namun, positivity rate lebih dari lima persen.
Baca juga: CISDI luncurkan platform pemetaan aktor SDGs non-pemerintah
Sementara untuk rasio lacak-isolasi (RLI) Indonesia per 9 Desember 2020 adalah sebesar 1,62. Dengan tingkat rasio lacak tersebut, Indonesia dinilai masih belum dapat mengidentifikasi dan segera mengisolasi orang-orang yang terpapar COVID-19.
Adapun kendala dalam sistem informasi dan data, survei CISDI menemukan pendataan yang tumpang tindih dan tidak terintegrasi.
Baca juga: Pasien COVID-19 dirawat inap di Wisma Atlet bertambah 131 orang
Hal itu dapat dilihat dari adanya perbedaan data yang dilaporkan oleh pusat dan daerah, keterlambatan waktu hasil pemeriksaan dan pelaporan dan tidak adanya kurva epidemi yang dianggap andal.
Pemantauan ambang kapasitas layanan juga tercatat bergerak kalah cepat dari laju transmisi wabah, dengan pengambilan kebijakan berbasis sistem zonasi yang cenderung menyesatkan.
Baca juga: Pasien sembuh COVID-19 di Indonesia tambah 4.001, positif 5.533 orang
Pewarta: Katriana
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2020
Tags: