Jajanan kaki lima Singapura ditetapkan sebagai warisan budaya UNESCO
17 Desember 2020 17:41 WIB
Penggemar mengambil gambar chef selebriti asal Inggris Gordon Ramsay saat ia membawa sepiring nasi ayam ke mejanya di sebuah pusat makan di Singapura, Jumat (5/7). Ramsay berada di pusat makan tersebut untuk belajar memasak nasi ayam dari Madam Foo dari restauran Nasi Hainan Tian Tian sebelum pertandingan memasak hari Minggu melawan tiga koki top kaki lima di Singapura. Ramsay akan belajar dan bersaing membuat tiga makanan kaki lima paling direkomendasikan yaitu chili crab, chicken rice dan laksa. (REUTERS/Edgar Su)
Singapura (ANTARA) - Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada Rabu malam (16/12) menetapkan kebiasaan warga Singapura makan di tempat pedagang kaki lima sebagai Warisan Budaya Tak Benda untuk Kemanusiaan.
Keputusan itu diumumkan UNESCO setelah Singapura mengajukan tradisi makan di tempat kaki limanya untuk masuk Daftar Perwakilan Warisan Budaya Tak Benda sejak dua tahun lalu.
Pemerintah Singapura pada 1970-an membentuk pusat jajanan kaki lima untuk menampung dan mengatur penjaja makanan yang mulanya berserakan di pinggir jalan.
Di pusat jajanan itu, penjual menjajakan hidangan yang sederhana dengan harga terjangkau ke warga setempat. Selain itu, pusat jajanan itu juga menjadi tempat berkumpul bagi warga Singapura.
"Pusat-pusat jajanan kaki lima ini jadi tempat makan komunitas yang mempertemukan orang-orang dari berbagai latar belakang dan menjadi tempat berbagi pengalaman saat makan pagi, makan siang, serta makan malam," kata UNESCO.
Beberapa koki terkenal seperti Anthony Bourdain dan Gordon Ramsay pernah terekam kamera mencoba beberapa hidangan favorit di pusat jajanan itu, salah satunya nasi ayam.
Film garapan sutradara Hollywood, Crazy Rich Asians, yang tayang pada 2017 juga menampilkan pusat jajanan itu dalam beberapa adegannya.
Beberapa restoran/penjual makanan ada yang mendapatkan "Michelin star" karena hidangannya yang dijual dengan harga hanya beberapa dolar.
Baca juga: Jajanan pinggir jalan Singapura raih Michelin
Michelin star merupakan sistem peringkat yang diberikan ke restoran atau tempat makan yang kerap menjadi gengsi tersendiri bagi pemilik restoran dan kokinya. Pemberian bintang Michelin itu jadi semacam tiket masuk bagi restoran dan kokinya untuk dikenal oleh komunitas pecinta kuliner dunia.
Namun, para penjual makanan kaki lima di Singapura menghadapi beberapa tantangan, khususnya di tengah situasi pandemi COVID-19.
Rata-rata umur penjual makanan di Singapura adalah 60 tahun dan warga Singapura yang lebih muda lebih memilih berkarir di kantor daripada bekerja di dapur yang panas dan penuh keringat.
Pandemi COVID-19 juga telah menjadi pukulan lain bagi kelangsungan pusat jajanan kaki lima di Singapura. COVID-19 membuat kunjungan wisatawan ke tempat itu jadi berkurang, sementara warga setempat tidak diperkenankan makan di luar rumah selama karantina.
Oleh karena itu, Singapura diwajibkan mengirim laporan tiap enam tahun ke UNESCO untuk menunjukkan upaya pemerintah menjaga dan mempromosikan kebudayaan makan di tempat kaki limanya.
Sumber: Reuters
Baca juga: Membuat dumpling ala "Crazy Rich Asian"
Keputusan itu diumumkan UNESCO setelah Singapura mengajukan tradisi makan di tempat kaki limanya untuk masuk Daftar Perwakilan Warisan Budaya Tak Benda sejak dua tahun lalu.
Pemerintah Singapura pada 1970-an membentuk pusat jajanan kaki lima untuk menampung dan mengatur penjaja makanan yang mulanya berserakan di pinggir jalan.
Di pusat jajanan itu, penjual menjajakan hidangan yang sederhana dengan harga terjangkau ke warga setempat. Selain itu, pusat jajanan itu juga menjadi tempat berkumpul bagi warga Singapura.
"Pusat-pusat jajanan kaki lima ini jadi tempat makan komunitas yang mempertemukan orang-orang dari berbagai latar belakang dan menjadi tempat berbagi pengalaman saat makan pagi, makan siang, serta makan malam," kata UNESCO.
Beberapa koki terkenal seperti Anthony Bourdain dan Gordon Ramsay pernah terekam kamera mencoba beberapa hidangan favorit di pusat jajanan itu, salah satunya nasi ayam.
Film garapan sutradara Hollywood, Crazy Rich Asians, yang tayang pada 2017 juga menampilkan pusat jajanan itu dalam beberapa adegannya.
Beberapa restoran/penjual makanan ada yang mendapatkan "Michelin star" karena hidangannya yang dijual dengan harga hanya beberapa dolar.
Baca juga: Jajanan pinggir jalan Singapura raih Michelin
Michelin star merupakan sistem peringkat yang diberikan ke restoran atau tempat makan yang kerap menjadi gengsi tersendiri bagi pemilik restoran dan kokinya. Pemberian bintang Michelin itu jadi semacam tiket masuk bagi restoran dan kokinya untuk dikenal oleh komunitas pecinta kuliner dunia.
Namun, para penjual makanan kaki lima di Singapura menghadapi beberapa tantangan, khususnya di tengah situasi pandemi COVID-19.
Rata-rata umur penjual makanan di Singapura adalah 60 tahun dan warga Singapura yang lebih muda lebih memilih berkarir di kantor daripada bekerja di dapur yang panas dan penuh keringat.
Pandemi COVID-19 juga telah menjadi pukulan lain bagi kelangsungan pusat jajanan kaki lima di Singapura. COVID-19 membuat kunjungan wisatawan ke tempat itu jadi berkurang, sementara warga setempat tidak diperkenankan makan di luar rumah selama karantina.
Oleh karena itu, Singapura diwajibkan mengirim laporan tiap enam tahun ke UNESCO untuk menunjukkan upaya pemerintah menjaga dan mempromosikan kebudayaan makan di tempat kaki limanya.
Sumber: Reuters
Baca juga: Membuat dumpling ala "Crazy Rich Asian"
Penerjemah: Genta Tenri Mawangi
Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2020
Tags: