Bogor (ANTARA) - Pengembalian aset dari hasil tindak pidana kejahatan ekonomi kepada negara itu bisa maksimal, asalkan dalam penanganan hukumnya menggunakan pula pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

"Kalau TPPU ini diterapkan atau dilekatkan dalam setiap tindak kejahatan ekonomi semisal korupsi, narkoba, penipuan (fraud} dan lainnya, maka dipastikan recovery aset kepada negara lebih tinggi. atau kerugian negara yang bisa diselamatkan lebih tinggi nilainya," kata Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae di Bogor, Kamis.

Ia mengatakan PPATK mendukung dan terus mendorong agar recovery aset hasil tindak kejahatan ekonomi nilainya lebih tinggi sesuai dengan harapan Presiden Jokowi. Karena itu, kata dia, dalam beberapa bulan ini PPATK sangat intensif agar tindak pidana ekonomi harus disertai dengan TPPU.

"Kalau penjahat ekonomi ini hanya dihukum badan dan disertai penyitaan sebagian asetnya, maka ini tidak cukup. Sebaiknya ada faktor yang bisa membuat mereka jera, misalnya ada yang korupsi Rp10 triliun, maka penyitaan asetnya paling tidak mendekati nilai yang dikorupsi, jangan sampai malah mendapat hasil yang minimal," kata Dian yang pernah menjabat Kepala Perwakilan Bank Indonesia di London.

Dia menambahkan di beberapa negara termasuk negara maju seperti AS, nyaris sulit mengatasi tindak pidana ekonomi tanpa disertai TPPU.

"Tidak bisa hanya mengejar-ngejar koruptor, bandar narkoba, dan para penipu tanpa memiskinkan mereka dengan menyita aset hasil kejahatannya," kata dia.

Sementara itu, PPATK selain mendorong diterapkannya pasal pencucian uang (TPPU) dalam setiap tindak pidana ekonomi, lembaga ini juga melakukan upaya pencegahan (deterrence). Ini dimaksudkan agar pihak atau orang yang akan berniat melakukan tindak pidana ekonomi bisa berkurang.

Menanggapi apakah ada batasan seberapa besar nilai nominal dari hasil kejahatan ekonomi itu yang harus diterapkan pasal pencucian uang, Dian mengatakan tidak ada batasan untuk menentukan apakah kejahatan ekonomi itu bisa dilekatkan dengan TPPU atau tidaknya.

"Kalau pun jumlahnya (korupsi) kecil namun dilakukan pejabat negara, maka ini sensitif dan tetap penting harus kami ungkap," tegasnya.

Dian mengatakan jika PPATK sudah mengeluarkan hasil analisis dan pemeriksaan, maka itu sudah pasti ada kejahatan pencucian uang.

"Apa yang kami lakukan (analisis dan pemeriksaan) itu sudah mendekati kebenaran," kata dia.

Dia mengakui jika sampai saat ini masih terjadi gap yang cukup lebar antara hasil analisis dan pemeriksaan PPATK dengan penindakan hukum dari aparat penegak hukum.

Menurut dia, ada beberapa alasan yang mungkin masih terjadinya gap tersebut lantaran kendala anggaran yang tidak cukup dan tidak ditemukannya barang bukti yang cukup kuat.

Sepanjang 2020, PPATK menghasilkan 442 hasil analisis, 336 informasi dan 20 hasil pemeriksaan. Keseluruhan produk PPATK tersebut telah disampaikan kepada penegak hukum terkait untuk ditindaklanjuti. Mayoritas terkait dengan tindak pidana korupsi, pajak, pendanaan teroris, penipuan, narkotika, dan penggelapan.

Kontribusi data PPATK terhadap penerimaan negara dalam rangka pengampunan pajak sebesar Rp2,205 triliun. Sedangkan kontribusi hasil analisis dan pemeriksaan PPATK dalam peningkatan penerimaan pajak negara sebesar Rp180,9 miliar.

Baca juga: Kemendagri, OJK, KPK, dan PPATK sepakati penguatan peran BPD
Baca juga: Bank Dunia beri penghargaan kepada PPATK
Baca juga: KPK libatkan PPATK telusuri aliran dana kasus Edhi Prabowo