Magelang (ANTARA News) - Komisi Perlindungan Anak Indonesia menilai pemerintah telah membiarkan iklan rokok secara permisif sehingga jumlah perokok aktif bukan turun tetapi malah bertambah dengan usia prevalensi semakin muda.

"Pemerintah membiarkan iklan rokok secara permisif sehingga setiap saat yang terjadi bukan penurunan perokok aktif tetapi malah terus bertambah dan makin lama usia prevalensi perokok semakin muda," kata Ketua KPAI, Hadi Supeno, di Magelang, Senin.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan tanggal 31 Mei sebagai "Hari Tanpa Tembakau".

Ia mengatakan, sejumlah kasus balita kecanduan rokok seperti di Malang, Sukabumi, dan Palembang adalah menyangkut anak-anak korban iklan rokok.

Pemerintah, katanya, harus segera mengeluarkan peraturan pemerintah tentang larangan total segala bentuk rokok dan sponsor rokok untuk semua kegiatan masyarakat.

"Di dalamnya juga tercantum sanksi berat bagi yang melanggar ketentuan. Tanpa larangan iklan rokok, upaya dan kampanye masyarakat tanpa tembakau hanya utopia," katanya.

Hingga saat ini, katanya, pemerintah belum menandatangani peraturan pemerintah tentang perlindungan masyarakat dari ancaman tembakau sebagaimana diamanatkan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

Pihaknya juga menyerukan kepada masyarakat agar meninggalkan rokok dan semua bentuk adiktif nikotin lainnya sebagai bagian dari upaya membentuk generasi muda yang berkualitas.

Ia mengatakan, pemerintah harus menurunkan kuantitas industri rokok hingga jumlah paling rendah. Pada saat yang sama pemerintah menaikkan cukai rokok sehingga penurunan industri itu tidak mengurangi pendapatan negara dari rokok.

"Hingga tahun 2010 pemerintah terus mengizinkan produksi tembakau setahun 260 miliar batang dan pemerintah mempertahankan cukai murah, hanya 30 persen dari harga rokok. Padahal di Thailand sampai 60 persen, di Singapura dan Malaysia sampai sekitar 55 persen," katanya.

Ia menilai, pemerintah tidak konsisten dalam melindungi kesehatan masyarakat khususnya anak-anak dari zat adiktif tembakau.

Pemerintah, katanya, mengintrodusir Pasal 113 UU Nomor 36 tahun 2009 tentang berbagai upaya mencegah ketergantungan terhadap zat nikotin.

Tetapi, katanya, pemerintah juga terkesan membiarkan atau melindungi industri rokok.

Hingga saat ini, katanya, pemerintah belum meratifikasi konvensi internasional pengendalian tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control.

"Padahal Indonesia merupakan anggota Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan negara penandatangan konvensi tersebut," katanya. (ANT/A038)