Surabaya (ANTARA News) - Hari Sabtu (29/5) genap sudah empat tahun usia semburan lumpur panas di areal ladang eksplorasi gas PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

Memperingati usia empat tahun itu, ratusan korban lumpur mengusung ogoh-ogoh dan gambar Aburizal Bakrie (Ical) di tanggul kolam penampungan lumpur.

Dengan menaiki tanggul lumpur, warga juga membawa berbagai macam spanduk berisi tuntutan kepada pihak Lapindo untuk segera menyelesaikan ganti rugi terhadap korban.

Sebelumnya mereka juga menggelar aksi teatrikal yang menggambarkan kesengsaraan mereka setelah dilanda musibah yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.

Rumah, sekolah, tempat ibadah, hingga ladang mata pencaharian mereka terkubur oleh kubangan lumpur panas jutaan meter kubik itu.

Bahkan, mereka juga harus rela kehilangan hubungan tali persaudaraan karena semburan lumpur tersebut telah membuat mereka tercerai-berai dalam sistem sosial yang mereka bangun secara turun-temurun.

Sayangnya, hingga semburan itu telah berulang tahun yang keempat kalinya, tak pernah ada penanganan yang serius, baik yang dilakukan oleh Lapindo maupun pemerintah.

Ironisnya, lumpur Lapindo telah menjadi komoditas politik. Hal itu terlihat sejak Pemilihan Gubernur Jatim pada 2008, Pemilu legislatif 2009, dan berlanjut pada Pemilu Presiden di tahun yang sama.

Menjadikan bencana sebagai ajang kampanye politik itu pun hingga kini masih terus berlangsung. Setidaknya ada dua nama calon bupati yang bersaing dalam Pilkada Kabupaten Sidoarjo pada 25 Juli 2010 merupakan "orang Lapindo"

Yuniwati Teryana, Wakil Presiden PT Lapindo Brantas Bidang Hubungan Sosial, mencalonkan diri sebagai Bupati Sidoarjo berpasangan dengan calon wakil bupati, Sarto, melalui Partai Demokrat.

Selain itu, masih ada lagi calon bupati Bambang Prasetyo Widodo, Direktur Operasional PT Minarak Lapindo Jaya (anak perusahaan Lapindo), yang berpasangan dengan calon wakil bupati Khoirul Huda setelah mengantongi surat rekomendasi dari Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), dan Partai Hanura.

Manajemen Lapindo bertarung "habis-habisan" di ajang pemilihan bupati dan wakil bupati itu untuk bisa mencengkeramkan kukunya di Kabupaten Sidoarjo, setidaknya dalam kurun lima tahun ke depan.

Tidak salah, jika selama ini mereka sengaja mengaburkan persoalan yang terjadi selama ini dengan mengubah istilah "Lumpur Lapindo" menjadi "Lumpur Sidoarjo" sebagaimana banyak menghiasi media massa, baik berskala nasional maupun lokal.

Dengan semakin tersosialisasinya istilah "Lumpur Sidoarjo", maka semakin tegas pula bahwa semburan lumpur panas itu bukan murni disebabkan oleh kesalahan pihak manajemen Lapindo Brantas dalam melakukan pengeboran gas di sumur Banjar Panji 1.

Apalagi lokasi pengeboran berada di atas sesar (patahan bumi) Porong-Purwodadi sehingga semburan lumpur panas itu akibat faktor alam di bumi Sidoarjo.


Tak Konsisten

Dalam seminar memperingati empat tahun semburan lumpur Lapindo di kampus Universitas Surabaya (Ubaya) 25-26 Mei 2010, para pembicara dari sejumlah perguruan tinggi terkemuka menyoroti pemberitaan media massa terhadap peristiwa itu.

Pengamat media massa dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Yayan Sakti Suryandaru menilai media massa tidak konsisten dalam pemberitaan mengenai semburan lumpur panas PT Lapindo Brantas di Sidoarjo.

"Hasil riset yang kami lakukan pada Januari-Desember 2008, ada ketidakkonsistenan media dalam memberitakan Lapindo, terutama dalam pemilihan kata," katanya.

Ia menyebutkan, sebagian besar media cetak lokal dan nasional lebih memilih menggunakan istilah "Lumpur Sidoarjo" daripada "Lumpur Lapindo".

"Ketidakkonsistenan itu sangat terlihat pada media-media cetak lokal, seperti Surya dan Jawa Pos. Kadang-kadang mereka menggunakan istilah `Lumpur Lapindo`, tapi tidak jarang juga menggunakan istilah `Lumpur Sidoarjo`," katanya di sela-sela seminar bertajuk "Menggugat Hak Warga Negara: Kasus Lumpur Lapindo".

Menurut Yayan, media cetak yang konsisten menggunakan istilah "Lumpur Lapindo" hanya Kompas. "Sampai sekarang pun Kompas masih tetap menggunakan istilah Lumpur Lapindo," kata Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Unair itu.

Sementara pada periode riset tersebut, dia menyatakan, harian Media Indonesia dan Surabaya Post konsisten menggunakan istilah "Lumpur Sidoarjo".

"Hal itu tidak terlepas dari faktor kepemilikan media cetak tersebut," katanya mengutip hasil riset berjudul "Analisis Framing dalam Pemberitaan Lumpur Lapindo" yang dilakukannya dua tahun lalu itu.

Ia menambahkan, pemilihan istilah dalam pemberitaan bencana semburan lumpur panas oleh media massa itu tidak terlepas dari pengaruh PT Lapindo Brantas dan pemerintah.

"Seharusnya dalam situasi seperti itu peran DPR perlu ditingkatkan. Mengapa DPR tidak memanggil pakar yang betul-betul terjaga independesinya untuk mendapatkan suatu kesimpulan, apakah semburan Lapindo itu bencana atau kelalaian manusia?" katanya.

Dalam kesempatan itu, Ketua Pusat HAM Ubaya, Yoan Nursari Simanjuntak, mengingatkan peran media massa dalam kasus semburan lumpur Lapindo.

"Dalam kasus Lapindo, seharusnya media menjalankan kode etik jurnalistik secara tepat," kata perempuan yang bertindak selaku ketua panitia seminar itu.

"Seharusnya media melakukan liputan terhadap analisis risiko secara menyeluruh," katanya menambahkan.

Ia juga meminta media massa, baik cetak dan elektronik, melakukan proses pendidikan, penyadaran bencana, dan lingkungan dalam menjalankan fungsi-fungsi jurnalisme.

"Jangan lupa, media juga harus memperbanyak tulisan tentang lingkungan, korban, potensial korban, dan dampak dari semburan itu secara menyeluruh dan seimbang," katanya.

Sementara itu, Anton Novenanto, sosiolog dari Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang, mengemukakan, kasus Lapindo tidak disajikan dengan menggunakan "imajinasi novel" yang secara jelas penokohan aktor-aktor yang bermain, kronologis kejadian dari awal peristiwa hingga sekarang.

"Kasus Lapindo disajikan dengan menggunakan model `imajinasi koran," katanya dalam seminar yang diselenggarakan Komnas HAM, Pusat HAM Ubaya, FISIP Unair, dan LPPM Unair itu.

"Imajinasi koran" yang dimaksud Anton adalah kasus Lapindo dihadirkan berbarengan dengan imaji-imaji lain, seperti kasus korupsi Bank Century, pergantian Menteri Keuangan, penangkapan Susno Duadji, sekretariat bersama koalisi partai politik, dan persiapan menjelang Piala Dunia yang juga tidak kalah menariknya bagi khalayak.

"Konsekuensinya, publik memahami kasus Lapindo secara parsial. Kondisi ini sangat dipahami betul oleh para elite yang sedang `bermain` sehingga digunakan sebagai salah satu strategi melupakan imaji tentang kasus Lapindo," katanya.(M038/K004)