Jakarta (ANTARA News) - Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) Jakarta, Firmanzah, mengemukakan bahwa pemerintah harus tetap berhati-hati dalam mengantisipasi kemungkinan krisis keuangan di Yunani berdampak terhadap perekonomian, dengan menyeimbangkan kebijakan fiskal dan moneter.

"Keseimbangan fiskal dan moneter menjadi kunci utama mengatasi dampak negatif krisis Yunani," katanya di sela-sela seminar "Mapping Anatomi BUMN Menuju World Class Company", di Jakarta, Rabu.

Menurut Firmanzah, krisis di Yunani tidak secara langsung berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia, karena neraca perdagangan kedua negara tidak terlalu besar dan investasi Yunani di Indonesia juga relatif kecil.

Namun bila krisis Yunani berpengaruh besar terhadap pasar di Eropa, maka kemungkinan efeknya akan sampai di pasar dalam negeri.

"Pasar Eropa menjadi salah satu pasar ekspor barang-barang Indonesia. Ini yang perlu diantisipasi karena akan menurunkan porsi ekspor nasional," katanya.

Ia menjelaskan, jika pasar Eropa terpuruk akan berpengaruh terhadap perusahaan beorientasi ekspor.

Secara global diutarakan Firmanzah, aliran krisis akan mempengaruhi tiga hal yakni perdagangan, makro ekonomi, dan pasar uang.

Net ekspor Indonesia terhadap GDP memang relatif kecil atau mencapai 11 persen, berbeda dengan Singapura yang mencapai 30-35 persen GDP negara itu.

Dari sisi makro ekonomi, krisis keuangan regional akan membuat likuiditas perekonomian suatu negara kering, karena investasi dari luar negeri merosot.

Demikian halnya, di pasar uang akan terjadi gejolak nilai tukar, sekaligus jatuhnya harga saham di pasar saham.

"Jika harga saham merosot di pasar regional, sangat rentan mengimbas pada pasar saham dalam negeri. Sentimen pasar anjlok karena investor keluar dari pasar modal," tegas Firmanzah.

Untuk itu perlu koordinasi yang tegas antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan dalam membuat kesetaraan antara fiskal dan moneter.

"Perlu kombinasi antara kebijakan fiskal dan moneter yang mengacu pada kondisi pasar, yang disesuaikan dengan target-target ekonomi pemerintah," katanya.

Kebijakan fiskal dan moneter yang longgar akan mengakibatkan inflasi tinggi. Sebaliknya, kebijakan yang terlalu ketat mengakibatkan sektor riil tidak bisa berjalan.

BI bertugas menjaga likuiditas terkait dengan suku bunga kredit untuk dapat menggerakkan sektor riil. "BI juga selalu siap melakukan intervensi pasar uang untuk menjaga nilai tukar agar stabil pada kisaran tertentu," katanya.
(T.R017/S004/P003)