Epidemiolog: Mobilitas warga perlu dibatasi seperti awal pandemi
7 Desember 2020 18:58 WIB
Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Riris Andono Ahmad saat ditemui di Pusat Kedokteran Tropis, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM, Yogyakarta, Senin. (ANTARA FOTO/Luqman Hakim)
Yogyakarta (ANTARA) - Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) dr. Riris Andono Ahmad berharap Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta kembali membatasi mobilitas warga seperti pada saat awal pandemi COVID-19 untuk mencegah kasus penularan virus itu terus meningkat.
"Mobilitas di DIY sekarang relatif tinggi. Kalau kita lihat sekarang di jalan-jalan, di pusat-pusat keramaian sudah relatif padat, mungkin hampir sama dengan sebelum pandemi," kata Riris Andono saat ditemui di Pusat Kedokteran Tropis, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM, Yogyakarta, Senin.
Baca juga: Akademisi: Reuni 212 perlu dilarang karena COVID-19 belum turun
Baca juga: Ahli Epidemiologi: Pembatasan COVID-19 bisa dilonggarkan perlahan
Menurut Riris, penambahan kasus COVID-19 di DIY yang pada 6 Desember menyentuh lebih dari 200 kasus dalam sehari merupakan buah dari tingginya mobilitas warga tanpa diimbangi penerapan protokol kesehatan secara konsisten.
"Jadi kurvanya memang akan menanjak, karena kita tidak berhasil menghentikan penularannya, sehingga yang tertular semakin banyak. Kenapa bisa begitu? karena mobilitas di DIY itu relatif tinggi," kata dia.
Pemda DIY, menurut dia, sudah waktunya kembali "menginjak rem", yakni dengan kembali mendorong kegiatan masyarakat sementara waktu dari rumah.
Baginya, adaptasi kebiasaan baru juga perlu diwujudkan dengan memberlakukan pelonggaran dan pengetatan mobilitas masyarakat secara bergantian sesuai situasi yang ada.
Menurut dia, jika penularan telah meluas dan sulit dikendalikan, cara paling efektif adalah mengintervensi dengan menghentikan sesaat mobilitas masyarakat. "Itu menjadi intervensi efektif, karena begitu dihentikan (mobilitas masyarakat) virus akan kesulitan mencari orang untuk ditulari," kata dia.
Selama manusia masih berinteraksi dan protokol 3 M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak) tidak dipatuhi, menurut dia, risiko penularan akan tetap tinggi. "Itu sebuah keniscayaan. Virus itu tidak jalan-jalan. Yang membuatnya bisa berkeliaran ya manusianya," paparnya.
Baca juga: Epidemiolog UGM: Karantina mandiri cegah klaster COVID-19 di pesantren
Baca juga: Ahli epidemiologi: Waspadai potensi penularan COVID-19 di pengungsian
Baca juga: Cegah penularan, pasien positif COVID-19 harus diawasi secara ketat
Ia memperkirakan apabila masyarakat bisa kembali bertahan di rumah minimal selama dua pekan yang merupakan periode infeksi, maka akan signifikan mengurangi laju penularan virus di daerah ini.
"Kalau memang bisa membuat orang tinggal di rumah dua pekan saja, itu ada reduksi penularan," kata Riris Andono.
Sampai 6 Desember 2020 Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mencatat total suspek COVID-19 di provinsi itu mencapai 17.053 orang. Pasien terkonfirmasi positif COVID-19 dalam waktu 24 jam bertambah 224 orang, sehingga total kasus positif menjadi 6.956 kasus.
"Mobilitas di DIY sekarang relatif tinggi. Kalau kita lihat sekarang di jalan-jalan, di pusat-pusat keramaian sudah relatif padat, mungkin hampir sama dengan sebelum pandemi," kata Riris Andono saat ditemui di Pusat Kedokteran Tropis, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM, Yogyakarta, Senin.
Baca juga: Akademisi: Reuni 212 perlu dilarang karena COVID-19 belum turun
Baca juga: Ahli Epidemiologi: Pembatasan COVID-19 bisa dilonggarkan perlahan
Menurut Riris, penambahan kasus COVID-19 di DIY yang pada 6 Desember menyentuh lebih dari 200 kasus dalam sehari merupakan buah dari tingginya mobilitas warga tanpa diimbangi penerapan protokol kesehatan secara konsisten.
"Jadi kurvanya memang akan menanjak, karena kita tidak berhasil menghentikan penularannya, sehingga yang tertular semakin banyak. Kenapa bisa begitu? karena mobilitas di DIY itu relatif tinggi," kata dia.
Pemda DIY, menurut dia, sudah waktunya kembali "menginjak rem", yakni dengan kembali mendorong kegiatan masyarakat sementara waktu dari rumah.
Baginya, adaptasi kebiasaan baru juga perlu diwujudkan dengan memberlakukan pelonggaran dan pengetatan mobilitas masyarakat secara bergantian sesuai situasi yang ada.
Menurut dia, jika penularan telah meluas dan sulit dikendalikan, cara paling efektif adalah mengintervensi dengan menghentikan sesaat mobilitas masyarakat. "Itu menjadi intervensi efektif, karena begitu dihentikan (mobilitas masyarakat) virus akan kesulitan mencari orang untuk ditulari," kata dia.
Selama manusia masih berinteraksi dan protokol 3 M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak) tidak dipatuhi, menurut dia, risiko penularan akan tetap tinggi. "Itu sebuah keniscayaan. Virus itu tidak jalan-jalan. Yang membuatnya bisa berkeliaran ya manusianya," paparnya.
Baca juga: Epidemiolog UGM: Karantina mandiri cegah klaster COVID-19 di pesantren
Baca juga: Ahli epidemiologi: Waspadai potensi penularan COVID-19 di pengungsian
Baca juga: Cegah penularan, pasien positif COVID-19 harus diawasi secara ketat
Ia memperkirakan apabila masyarakat bisa kembali bertahan di rumah minimal selama dua pekan yang merupakan periode infeksi, maka akan signifikan mengurangi laju penularan virus di daerah ini.
"Kalau memang bisa membuat orang tinggal di rumah dua pekan saja, itu ada reduksi penularan," kata Riris Andono.
Sampai 6 Desember 2020 Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mencatat total suspek COVID-19 di provinsi itu mencapai 17.053 orang. Pasien terkonfirmasi positif COVID-19 dalam waktu 24 jam bertambah 224 orang, sehingga total kasus positif menjadi 6.956 kasus.
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020
Tags: