Pekanbaru (ANTARA News) - Matahari baru sepenggalan ketika ANTARA menjejakkan kaki di sebuah rumah di Jalan Belimbing II, Pekanbaru. Rumah semi permanen yang bewarna hijau pudar tersebut sunyi-senyap.

Di sana, hanya ada kursi-kursi plastik warna senada yang sudah disusun bertingkat. Di sampingnya terdapat tenda yang masih berdiri tegak.

Tak berapa lama kemudian, dengan tergopoh-gopoh datang Nursiam (47). Dengan mata sembab, perempuan paruh baya tersebut mempersilahkan ANTARA untuk masuk ke rumahnya. Ia memaksakan dirinya untuk tersenyum, walau terasa getir. Dengan suara parau, ia menceritakan mengenai Astrid Julivia (7).

"Tembok, tembok itu meruntuhkan semua mimpi Astrid," ujarnya dengan mata yang berkaca-kaca.

Astrid, anaknya bungsunya, tewas akibat tertimpa tembok bekas gedung SDN 013 Marpoyan Damai, Sabtu (22/5) lalu, tepatnya pukul 11.00 WIB.

Gedung tersebut mengalami kebakaran pada 7 April 2009, dan bekasnya hingga saat ini dijadikan tempat bermain oleh anak-anak.

Diceritakannya, anak bungsu dari lima bersaudara tersebut tewas ketika sedang bermain dengan empat orang temannya. Bekas bangunan SD yang sudah terbakar sejak setahun yang lalu, pascakebakaran, anak-anak daerah tersebut menggunakannya sebagai tempat bermain. Terlebih lagi, tak jauh dari bangunan tersebut terdapat kantin yang menjual makanan.

Namun, naas menimpa Astrid pada Sabtu itu. Baru saja ia menyentuh tembok bangunan WC bagian dari sekolah, tak lama kemudian tembok tersebut runtuh dan menimpa dirinya. Akibatnya, nyawa Astrid tak tertolong lagi.

"Pada saat kejadian, Selvia, kakaknya melihat dan langsung berteriak minta pertolongan. Tapi tak satu pun warga yang mau menolong. Hingga, ia sambil menangis berlari-lari pulang mengadukannya pada saya," katanya.

Menurut dia, warga sekitar tak mau menolong Astrid dan membiarkan Astrid meregang nyawa. Mereka beralasan menunggu pihak kepolisian untuk melakukan evakuasi. Akhirnya, Nursiam pun berinisiatif untuk melakukan evakuasi terhadap anaknya yang sudah tak bernyawa tersebut.

"Saya tak bisa membiarkan anak saya seperti itu. Saya langsung menggendongnya, walaupun kepalanya sudah tak berbentuk lagi, bahkan isi kepalanya ada yang tercecer," ujar perempuan yang mengenakan jilbab hitam tersebut.

Nursiam, perempuan yang bekerja sebagai penjual rendang telur itu, tak hanya kecewa dengan warga yang enggan mengevakuasi anaknya pada saat kejadian.

Ia juga kecewa dengan pihak Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru yang membiarkan bangunan sekolah tetap berdiri, walaupun kebakaran tersebut sudah berlalu sejak setahun yang lalu.

"Kenapa bangunan tersebut tetap berdiri. Seharusnya pemko merobohkannya, dan tidak membiarkan gedung tersebut masih berdiri tegak," ujarnya.

Membayangkan Astrid, kata Nursiam, sama halnya dengan gadis kecil mungil dan manis. Walaupun belum mengenyam pendidikan, Astrid sudah bisa membaca dan menulis. Bahkan ia memberikan buku tulis khusus untuk Astrid agar anak tersebut latihan menulis. Tak jarang juga, ia bersama Selvia, kakaknya yang duduk di kelas dua, belajar bersama.

"Rencananya, saya akan memasukkannya di SDN 014 Marpoyan Damai, sama dengan sekolah kakaknya. Bahkan ketika pagi sebelum kejadian, ia masih bertanya apakah uang saya sudah cukup untuk membelikannya baju sekolah. Saya hanya menjawab uang tersebut sudah mulai dikumpulkan dari hasil penjualan rendang telur tersebut," kata Nursiam sambil menyeka airmata yang membasahi pipinya.

Ia berkata, sebelum ia pergi menjajakan rendang telur pada tetangga, Astrid selalu berdoa. Di depan pintu sembari melepaskan kepergian ibunya, Astrid berdoa agar rendang telur tersebut habis dan bisa membelikannya sepasang seragam sekolah.

"Saya pernah bertanya bagaimana doanya. Astrid berkata ia meminta pada Tuhan, agar rendang telurnya habis dan uangnya bisa dikumpulkan untuk membeli seragam dan biaya masuk sekolah," ujar Nursiam, mengenang.

Bagi Nursiam, sepeninggal suaminya, ia menjadi tulang punggung keluarga. Sejak beberapa tahun silam, ia berpisah dengan suaminya. Sejak itu pulalah, ia menghidupi kelima anaknya dengan berjualan rendang telur. Dalam sehari, penghasilan tersebut hanya mampu untuk makan dan sedikit sisanya untuk ditabung.

"Saya sudah mulai mengumpulkan uang untuk membeli seragam sekolah. Namun sayang, tembok tersebut meruntuhkan mimpi Astrid untuk dapat bersekolah," katanya.(KR-IND/H-KWR)