Ambon (ANTARA News) - "Saya menangis saat menyaksikan film Jembatan Merah," kata Ustad Khouw tentang kenangannya pada sosok maestro musik keroncong, Gesang.

Ia mengungkapkan perasaannya ketika ditemui ANTARA News di rumahnya, Jalan Tanah Rata, Galunggung, Desa Batu Merah, Ambon, Jumat.

"Lagu Jembatan Merah yang diciptakan Gesang cocok sekali dengan filmnya, itu yang membuat saya terharu menontonnya," kata Khouw yang pernah menjadi musisi keroncong era "Zadul" (zaman dulu), dasawarsa 50-an .

Pria bernama lengkap Abdurrahman Khouw ini mengaku tidak mengenal Gesang secara pribadi, namun sebagai salah satu musisi keroncong asal Maluku dirinya sangat mengagumi Gesang yang tetap berkarya hingga usia tua dan lagu-lagu karyanya yang mendunia, seperti Bengawan Solo, Jembatan Merah, dan lain-lain.

"Siapa yang tidak mengenal Gesang, dia adalah seorang maestro yang masih tetap melestarikan musik keroncong di Indonesia," katanya.

Khouw yang pernah bergelut dalam orkes keroncong Suka Ria pada 1950-an sebelum akhirnya beralih profesi menjadi ustad, sangat menyukai lagu-lagu ciptaan Gesang yang dinilainya sendu dan mengandung unsur perjuangan serta kepahlawan bangsa Indonesia di zaman kemerdekaan.

"Lagu-lagunya sangat enak didengar, bercerita tentang heroisme orang Indonesia. Liriknya juga sopan dan tidak mengandung unsur pornografi," ujarnya.

Khouw sangat mendukung usulan untuk menjadikan Gesang sebagai pahlawan budaya, mengingat jasa, ketekunan dan konsistensinya dalam dunia musik tanah air.

"Dia (Gesang) pantas mendapatkan penghargaan sebagai seorang pahlawan di bidang seni dan budaya. Bangsa Jepang saja bisa membangun taman Gesang di Bengawan Solo untuk menghargai karyanya," katanya.

Menurut Khouw, kematian sang Maestro bisa menjadi petaka bagi musik keroncong, yang diduga dibawa oleh bangsa Portugis ke Indonesia, karena hampir tidak ada lagi musisi maupun generasi muda yang menekuni jenis musik tersebut.

"Yang paling ditakutkan dari meninggalnya Gesang adalah matinya musik keoncong, karena saya lihat sangat sedikit musisi yang mau menggeluti jenis musik ini," katanya.

Khouw menyatakan, kendati dibawa oleh penjajah Portugis, aliran musik dengan tempo yang lambat itu merupakan salah satu dari kebudayaan Indonesia, sehingga harus tetap dilestarikan seperti pesan Gesang sebelum meninggal dunia.

Ia menambahkan, di Maluku sendiri, jenis musik keroncong hanya mampu bertahan hingga dekade 1990-an, sesudah itu sudah tidak ada lagi. Padahal lagu-lagu di daerah tersebut akan lebih enak didengar apabila dikolaborasikan dengan musik keroncong.

"Di Maluku sudah tidak ada lagi peminatnya, pemain-pemain musiknya juga tinggal yang tua-tua saja. Generasi muda sepertinya juga tidak tertarik dengan keroncong, padahal aliran musik ini bisa dikolaborasikan dengan jenis musik apa saja," ujar Khouw.

Gesang, yang diakui sebagai maestro keroncong Indonesia antara lain lewat lagu Bengawan Solo ciptaannya yang diterjemahkan ke dalam 13 bahasa, meninggal dunia pada Jumat (20/5), saat dirawat di RSUD Surakarta, Jawa Tengah. (KR-IVA/J007)