Jakarta (ANTARA) - Ekonom senior Indef Faisal Basri menilai data yang akurat merupakan hal yang krusial untuk mengurai masalah garam nasional yang masih berkutat soal tingginya impor di tengah rendahnya serapan garam produksi rakyat.

"Masalahnya data. Karena saat produksi naik, impornya juga naik. Kalau produksi turun, impornya juga turun. Ini repot menjelaskannya, makanya kita butuh data. Persoalannya menjadi relatif lebih mudah kalau datanya akurat sehingga perkiraan data akan akurat dan perkiraan impor juga akan lebih baik," kata Faisal Basri dalam webinar bertajuk "Mampukah Indonesia Swasembada Garam?", Kamis.

Menurut Faisal Basri, masalah yang kerap terjadi yaitu kuota impor yang tidak sesuai dengan kebutuhan sehingga terjadi rembesan ke konsumsi rumah tangga. Ketidaksinkronan data produksi dan kuota impor itu, menurut dia, juga terjadi karena politik kepentingan.

Baca juga: Kemenko: Hasil uji coba produksi garam tanpa lahan keluar akhir 2020

Ia mencontohkan kuota impor garam pada 2018 mencapai 3,8 juta ton. Impor yang melimpah itu bahkan melewati kebutuhan industri. Di sisi lain, kebijakan itu juga membuat garam produksi petambak lokal tak terserap.

"Garam ini komoditas buat bagi-bagi rente. Meski harganya murah tapi volumenya jutaan ton. Sama seperti kuota ekspor benih lobster, terjadi di gula dan lainnya. Banyak politisi masuk bisnis untuk biayai politik, korbannya petani atau petambak garam. Padahal kalau secara teknis, sederhana sekali," kata Faisal Basri.

Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI) Misri Gozan megakui data garam yang akurat memang krusial untuk kebijakan garam. Ia juga mencatat Indonesia baru satu kali menggelar sensus garam. Meski ikut terlibat, ia mengaku tidak bisa mengakses hasil sensus tersebut.

"Kami terlibat di sensus tapi datanya kami tidak bisa melihat hasil akhirnya yaitu data lahan, produksi, data petambak," katanya.

Baca juga: Kemenperin petakan strategi tingkatkan produksi garam lokal

Menurut Misri, masalah data penting selain untuk menentukan kebijakan impor juga terkait dengan pemberian bantuan yang tepat sasaran. Ia menyebut pemerintah banyak menggelontorkan dana untuk kelompok petambak, namun yang masuk daftar adalah ibu rumah tangga biasa.

"Yang di lapangan, yang betul-betul berjibaku di lahan garam, mereka tidak masuk dalam daftar tambak milik pemerintah," katanya.

Mengutip data neraca garam yang diolah Kemenko Maritim dan Investasi tercatat kebutuhan garam nasional 4,5 juta ton pada 2019, sementara produksi dalam negeri hanya 2,85 juta ton, sehingga Indonesia mengimpor 2,69 juta ton garam.

Sementara itu pada 2020 dengan kebutuhan 4,46 juta ton dan produksi hanya 1,5 juta ton, maka impor garam tahun ini dipatok 2,9 juta ton. Pasokan nasional itu berasal dari 545 ribu ton garam produksi (hingga September 2020) dan sisa stok garam sekitar 775 ribu ton.

Baca juga: Mencari titik temu produktivitas garam nasional dan kebutuhan industri