Legislator nilai Peraturan MA soal dispensasi kawin sudah cukup baik
2 Desember 2020 23:42 WIB
Kepala Kelompok Fraksi (Kapoksi) PDI Perjuangan (PDIP) di Komisi VIII DPR, Diah Pitaloka dalam diskusi publik bertajuk "Urgensi Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual" yang dilakukan secara virtual, di Jakarta, Kamis (10/9/2020). ANTARA/HO-PDIP.
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VIII DPR Diah Pitaloka menilai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin sudah cukup baik dalam mencegah perkawinan anak.
"Ada sejumlah hal yang harus dipenuhi hakim agama sebelum memutuskan akan memberikan dispensasi atau tidak. Artinya tidak otomatis permohonan dispensasi akan diberikan," kata Diah dalam Rapat Koordinasi Sosialisasi Hasil Pengawasan Implementasi Dispensasi Kawin Usia Anak yang diliput secara daring di Jakarta, Rabu.
Politikus PDI Perjuangan itu mengatakan terdapat beberapa hal positif pada peraturan tersebut yang membuat hakim agama tidak bisa serta merta memberikan dispensasi terhadap perkawinan anak.
Baca juga: KPAI: Dispensasi masih jadi tantangan pencegahan perkawinan anak
Diah mencontohkan misalnya hakim harus memberikan nasihat tentang risiko perkawinan anak kepada mempelai. Bila nasihat tersebut tidak diberikan, maka penetapan dispensasi dinyatakan batal demi hukum.
"Nasihat hakim menjadi keharusan. Selain nasihat, juga ada keharusan bagi hakim untuk mendengarkan pendapat anak untuk menggali kemungkinan ada paksaan atau tidak. Bila itu tidak dilakukan, konsekuensinya adalah batal demi hukum," tuturnya.
Diah mengatakan peraturan tersebut juga mengatur prosedur persidangan, yaitu dipimpin hakim tunggal yang telah memiliki sertifikasi hakim anak atau telah mengikuti bimbingan teknis tentang sistem peradilan pidana anak serta tidak menggunakan atribut persidangan agar hakim dapat menggali pandangan anak.
Baca juga: KPPPA: Pengadilan harus mencegah perkawinan anak
"Seringkali, anak tidak dalam kapasitas memiliki kuasa untuk memberikan pendapat. Ketika ditanya, secara psikologis mungkin akan memenuhi perintah orang tua, mungkin dikawinkan karena hamil lebih dahulu," katanya.
Diah mengatakan kemungkinan dispensasi memang menjadi salah satu persoalan dari upaya pencegahan perkawinan anak, yang secara peraturan perundang-undangan sudah diupayakan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengubah batas usia paling rendah bagi laki-laki dan perempuan menjadi 19 tahun.
Baca juga: Pengetatan dispensasi perkawinan anak didorong Koalisi Perempuan
"Ternyata setelah Undang-Undang itu disahkan, ada peningkatan permohonan dispensasi dua kali lipat pada Januari hingga Juni 2020, dibandingkan November hingga Desember," tuturnya.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengadakan Rapat Koordinasi Sosialisasi Hasil Pengawasan Implementasi Dispensasi Kawin Usia Anak dengan mengundang sejumlah pihak antara lain Mahkamah Agung, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Agama, dan Komisi VIII DPR.
Baca juga: KPPPA berharap MA perketat dispensasi perkawinan anak
Baca juga: KPAI: dispensasi usia perkawinan masih disalahgunakan
"Ada sejumlah hal yang harus dipenuhi hakim agama sebelum memutuskan akan memberikan dispensasi atau tidak. Artinya tidak otomatis permohonan dispensasi akan diberikan," kata Diah dalam Rapat Koordinasi Sosialisasi Hasil Pengawasan Implementasi Dispensasi Kawin Usia Anak yang diliput secara daring di Jakarta, Rabu.
Politikus PDI Perjuangan itu mengatakan terdapat beberapa hal positif pada peraturan tersebut yang membuat hakim agama tidak bisa serta merta memberikan dispensasi terhadap perkawinan anak.
Baca juga: KPAI: Dispensasi masih jadi tantangan pencegahan perkawinan anak
Diah mencontohkan misalnya hakim harus memberikan nasihat tentang risiko perkawinan anak kepada mempelai. Bila nasihat tersebut tidak diberikan, maka penetapan dispensasi dinyatakan batal demi hukum.
"Nasihat hakim menjadi keharusan. Selain nasihat, juga ada keharusan bagi hakim untuk mendengarkan pendapat anak untuk menggali kemungkinan ada paksaan atau tidak. Bila itu tidak dilakukan, konsekuensinya adalah batal demi hukum," tuturnya.
Diah mengatakan peraturan tersebut juga mengatur prosedur persidangan, yaitu dipimpin hakim tunggal yang telah memiliki sertifikasi hakim anak atau telah mengikuti bimbingan teknis tentang sistem peradilan pidana anak serta tidak menggunakan atribut persidangan agar hakim dapat menggali pandangan anak.
Baca juga: KPPPA: Pengadilan harus mencegah perkawinan anak
"Seringkali, anak tidak dalam kapasitas memiliki kuasa untuk memberikan pendapat. Ketika ditanya, secara psikologis mungkin akan memenuhi perintah orang tua, mungkin dikawinkan karena hamil lebih dahulu," katanya.
Diah mengatakan kemungkinan dispensasi memang menjadi salah satu persoalan dari upaya pencegahan perkawinan anak, yang secara peraturan perundang-undangan sudah diupayakan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengubah batas usia paling rendah bagi laki-laki dan perempuan menjadi 19 tahun.
Baca juga: Pengetatan dispensasi perkawinan anak didorong Koalisi Perempuan
"Ternyata setelah Undang-Undang itu disahkan, ada peningkatan permohonan dispensasi dua kali lipat pada Januari hingga Juni 2020, dibandingkan November hingga Desember," tuturnya.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengadakan Rapat Koordinasi Sosialisasi Hasil Pengawasan Implementasi Dispensasi Kawin Usia Anak dengan mengundang sejumlah pihak antara lain Mahkamah Agung, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Agama, dan Komisi VIII DPR.
Baca juga: KPPPA berharap MA perketat dispensasi perkawinan anak
Baca juga: KPAI: dispensasi usia perkawinan masih disalahgunakan
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2020
Tags: