Solo (ANTARA) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bekerja sama dengan Yayasan Inspirasi Indonesia Membangun (YIIM) mengelar kegiatan "Warkshop Pemberdayaan Ekonomi Korban melalui Pembekalan Ketrampilan" di Solo, Jawa Tengah, Rabu.

Pada acara Warkshop Pemberdayaan Ekonomi Korban melalui Pembekalan Ketrampilan Barbershop dan Servis AC yang akan berlangsung selama tiga hari ke depan tersebut dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, dan dibuka langsung oleh Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo.

Menurut Hasto, LPSK merupakan lembaga negara yang diberikan mandat sesuai Undang Undang No.31 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No.13/ 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

LPSK diberikan kewenangan untuk memberikan pemenuhan hak-hak korban, salah satunya pemberian rehabilitasi psikososial. Rehabilitasi psikososial merupakan bentuk layanan yang bertujuan untuk mengembalikan fungsi sosial korban agar dapat berinteraksi secara wajar di lingkungan sosialnya.

Layanan tersebut dapat berupa bantuan baik modal usaha, pelatihan pengembangan usaha, pendidikan maupun pekerjaan.

Hasto menjelaskan untuk merealisasikan rehabilitasi psikososial, LPSK tidak dapat menindaklanjuti sendiri sehingga perlu bekerja sama dengan para pihak yang sesuai dengan kebutuhan psikososial para korban.

Baca juga: LPSK kirim tim untuk perlindungan korban di Sigi

Dalam hal ini, LPSK bersama dengan YIIM mengadakan Workshop Pemberdayaan Ekonomi Korban Melalui Pembekalan Keterampilan Barbershop dan Service AC kepada korban tindak pidana yang menjadi terlindung LPSK.

Hal tersebut, lanjut Harto, dimaksudkan sebagai langkah pemulihan agar korban kembali berdaya utamanya secara ekonomi agar dapat kembali menjalani aktivitas seperti sedia kala di lingkungan sosialnya.

"Kami untuk saksi biasanya diberikan perlindungan agar mereka berani memberikan kesaksian sehingga proses peradilan bisa berjalan dengan baik, dan rasa keadilan juga bisa tercapai untuk semuanya," kata Hasto.

Oleh karena itu, LPSK dimandatkan oleh UU untuk memberikan layanan rehabilitasi medis dan psikososial untuk para korban tersebut. Rehabilitasi Sosial ini, dimaksudkan untuk memulihkan kondisi sosial ekonomi keluarga korban maupun korban supaya bisa tetap berjalan seperti biasa dan pulih kembali untuk menjalankan fungsi-fungsinya sebagai keluarga.

Baca juga: LPSK koordinasi KPK lindungi saksi kasus korupsi ekspor benih lobster

"Saya ambil contoh ada satu keluarga yang mengalami kejahatan dan kepala keluarganya meninggal dunia. Hal ini, keluarga akan terganggu ekonominya," kata Hasto.

Oleh karena itu, LPSK wajib memberikan layanan psikososial kepada keluarga tersebut, tetapi tidak dilakukan oleh LPSK sendiri. Namun, untuk medis dan psikologis bisa dilakukan LPSK sendiri.

Pihaknya jika untuk psikososial bisa bekerja sama dengan institusi lain baik itu pemerintah pusat maupun daerah atau institusi swasta seperti sekarang bersama YIIM yang bekerja sama untuk memberikan pembekalan.

Selain itu, LPSK juga bisa bekerja sama dengan lembaga-lembaga seperti Lazismu, Dompet Duafa, dan kemudian ada juga dari BUMN diminta memberikan bantuan kepada para korban ini, dalam bentuk pemberian modal usaha dan sebagainya. Hal ini, difasilitasi oleh LPSK.

Baca juga: LPSK dorong pemerintah alokasikan dana untuk korban tindak pidana

LPSK juga memiliki kewenangan untuk memfasilitasi layanan tuntutan ganti rugi dari korban baik itu kepada pelaku maupun kompensasi yang dibayarkan oleh negara kepada para korban. Di Indonesia hanya ada dua tindak pidana yang korbannya berhak atas kompesasi untuk korban HAM pelanggaran berat dan korban terorisme.

Khusus korban HAM pelanggaran berat belum bisa difasilitasi karena proses hukum masih belum bisa berjalan. Namun, untuk korban tindak pidana terorisme, LPSK sudah banyak melakukan pembayaran atas nama negara kepada korban. Jumlahnya sudah sekitar 300 korban dari seluruh Indonesia.

Pada acara warkshop Pemberdayaan Ekonomi Korban melalui Pembekalan Ketrampilan dengan menerapkan disiplin protokol kesehatan dengan diikuti 25 para korban di Soloraya ini, yang sebelumnya dilakukan tes cepat. Peserta awalnya 30 orang tetapi karena hasil tes cepat ada lima yang reaktif akhirnya dipulangkan, dan hanya diikuti sebanyak 25 peserta.