Jakarta (ANTARA) - Beberapa negara perlahan mulai kembali membuka perbatasannya untuk kunjungan pariwisata, termasuk Islandia bahkan negara tersebut memperbolehkan orang yang pernah terjangkit COVID-19 untuk masuk tanpa perlu melakukan tes.

Islandia termasuk negara pertama yang kembali membuka perbatasannya untuk pengunjung pada bulan Juni. Mereka pun awalnya memberlakukan tes COVID-19 dan yang boleh masuk hanya pemilik hasil negatif.

Baca juga: Turki jadi pilihan menarik turis Indonesia selama pandemi

Baca juga: Kememparekraf fokus pada turis domestik

Setelah masuk pada fase 2 di bulan Agustus, Islandia kemudian membuat peraturan baru yakni wisatawan bisa memilih untuk karantina selama 14 hari untuk pemilik hasil tes positif atau mengikuti tes saat kedatangan, karantina selama lima hari lalu tes lagi.

Akan tetapi, mulai 10 Desember, setiap pelancong yang tiba dari Wilayah Ekonomi Eropa (EEA) dapat menunjukkan dokumen bahwa mereka pernah terinfeksi COVID-19 dan telah pulih dapat melewati tes pada saat kedatangan dan bebas dari karantina.

Hal ini tentu saja mendapat penolakan dari para ahli, apalagi banyak yang percaya jika pernah terkena virus corona maka tubuh akan langsung melawannya karena sudah memiliki antibodi sehingga tidak akan terpapar untuk kedua kalinya. Padahal menurut ahli, berapa lama kekebalan tubuh ini dapat bertahan belum bisa dibuktikan.

"Tanpa data konklusif tentang risiko infeksi ulang, Islandia seharusnya tidak mengandalkan infeksi sebelumnya yang memberikan kekebalan," kata Dr Danielle C Ompad, dekan di NYU School of Global Public Health, dikutip Insider, Rabu.

Hal serupa juga dinyatakan oleh Dr. William Schaffner, profesor penyakit menular di Fakultas Kedokteran Universitas Vanderbilt. Menurut Dr. Schaffner hingga saat ini belum bisa dipastikan seberapa lama sistem kekebalan tubuh dapat melawan infeksi COVID-19.

"Kami benar-benar tidak tahu pasti berapa lama antibodi dapat melakukan perlindungan ulang terhadap infeksi, berapa lama dia akan bertahan setelah Anda pulih dari virus. Bahkan pengujian yang dibuat untuk menentukan kekebalan itu masih baru dan mungkin tidak sepenuhnya akurat," kata Dr. Schaffner.

Baca juga: Pengalaman menjadi turis asing di negara berpandemi