Kendari (ANTARA) - Sebanyak 50 ton produk rumput laut setengah jadi tertunda ekspornya ke China karena m izin dari Balai Karantina yang mengeluarkan sertifikat sehat belum ada hingga saat ini.

"Pengajuan sertifikat sehat dari Balai Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu (BKIPM) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah hampir setahun kami ajukan, namun herannya hingga kini belum juga turun. Akibatnya bahan baku setengah jadi rumput laut masih tersimpan di dalam gudang," kata CEO PT Inti Nusa Raya Indonesia (INRI), George Riswantyo kepada Antara di Kendari, Sulawesi Tengah, Senin.

Menurut Guntur, panggilan akrabnya CEO PT INRI, dampak tertundanya ekspor rumput laut yang nilai pasarannya mencapai Rp5 miliar itu mempengaruhi aktivitas perusahaan, apalagi di masa pandemi COVID-19 ini.

Baca juga: KKP tak ingin Indonesia hanya ekspor rumput laut mentah

"Kami berharap izin yang dikeluarkan pihak Karantina sebagai syarat ekspor segera terealisasi di awal tahun 2021 mendatang," ujarnya.

Ia mengatakan rumput laut tersebut berasal dari pabrik yang dibangun pemerintah pusat bersama Pemda Bombana sejak 2016 di Desa Laeya, Kecamatan Poleang Selatan, Kabupaten Bombana. Pabrik tersebut berkapasitas terpasang 300 ton bahan baku rumput laut kering kadar air 37 persen per bulan dan memiliki kapasitas lantai jemur 150 ton.

"Yang pasti bahwa produksi pabrik hingga saat ini sudah tidak ada masalah," ujar Guntur. Ia menambahkan bahwa pasar terbesar dari hasil produk rumput laut saat ini masih didominasi ke China dan tidak tertutup kemungkinan ke depan bisa merambah ke pasar Eropa.

Guntur juga menyampaikan rasa terima kasih atas dukungan moral Bupati Bombana terhadap keberadaan pabrik rumput laut satu-satunya di daerah itu yang memiliki laboratorium pengembangan dan pembuatan bibit.

Baca juga: Asosiasi harap normal baru bisa tingkatkan produksi rumput laut

Baca juga: KKP: Ekspansi pasar ekspor rumput laut bantu devisa di tengah pandemi