Yogyakarta (ANTARA) - Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Hanik Humaida mengatakan bahwa Gunung Merapi diperkirakan akan mengalami erupsi yang bersifat efusif atau lelehan, setelah statusnya dinaikkan menjadi Level III atau 'Siaga' pada Kamis 5 November 2020.
"Letusan efusif yang dapat terjadi sewaktu-waktu itu akan memiliki kesamaan dengan erupsi 2006," kata Hanik dalam siaran pers BNPB seusai diskusi bertajuk "Erupsi Merapi, Apa Yang Bisa Kita Lakukan" melalui media daring, Minggu.
Menurut dia, pada kondisi tersebut lantas tidak menutup kemungkinan akan terjadi erupsi yang bersifat eksplosif. Hanya saja, pihaknya memperkirakan bahwa apabila memang terjadi letusan eksplosif, maka tidak akan sebesar erupsi pada 2010.
"Kalau terjadi letusan eksplosif itu tidak sebesar tahun 2010," katanya.
Baca juga: BPBD Sleman: Tidak ada ternak pengungsi Merapi yang dijual murah
Ia mengatakan, prediksi letusan bersifat efusif itu didapatkan berdasarkan sejumlah fakta temuan secara periodik, yang mana hingga sejauh ini tidak terpantau adanya indeks kegempaan vulkanik dalam.
Selain itu, berdasarkan data yang dihimpun dari pengamatan, gas yang dapat mempengaruhi pola erupsi telah terlepas secara berangsur-angsur dan pola kegempaan memiliki kesaman dengan pra erupsi pada 2006.
"Karena terjadinya kegempaan vulkanik dalam itu tidak ada (tidak terpantau alat). Tidak ada tekanan berlebih dari dapur magma. Pola kegempaan juga mirip 2006. Gas-gas terilis lebih dulu," katanya.
Baca juga: Gunung Merapi mengalami 44 kali gempa guguran
Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang juga menjadi "Keynote Speaker" pada diskusi tersebut menilai bahwa meskipun perkiraan sementara bahwa erupsi Gunung Merapi akan bersifat efusif, namun dia tetap meminta seluruh komponen agar tetap siaga dan waspada, serta tidak kemudian menganggap remeh.
Sebab, erupsi Gunung Merapi pada periode sebelumnya telah memberikan pelajaran dan gambaran yang nyata tentang potensi dan ancaman bahayanya.
"Dulu ada 'bunker' bawah tanah, tapi nyatanya nggak kuat," kata Ganjar.
Sejauh ini, Ganjar yakin bahwa masyarakat di lereng Gunung Merapi sudah lebih mengerti dan memahami apa yang harus dilakukan ketika terjadi erupsi.
Baca juga: Di puncak Gunung Merapi ditemukan banyak longsoran baru
Di samping itu, dia juga percaya bahwa masyarakat lereng Gunung Merapi memiliki kearifan lokal tentang "Early Warning System" yang baik dan masih dipertahankan hingga saat ini.
"Saya melihat ternyata kearifan lokalnya luar biasa, kentongannya hidup lagi. 'Early Warning System' yang baik sekali. Masyarakat sudah sangat mengerti tentang kondisi Gunung Merapi dan apa yang harus segera mereka dilakukan," katanya.
Ganjar juga meminta kepada segenap komponen dan pemerintah di daerah agar dapat menggunakan hasil monitoring BPPTKG terkait perkembangan aktivitas Gunung Merapi tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan berbasis pengurangan risiko bencana.
Baca juga: Masyarakat umum dilarang masuk barak pengungsian Merapi
"Kita perlu memberikan pikiran dan gambaran yang bersifat teknis, sehingga risiko bencana bisa kita kurangi," katanya.
Sejalan dengan Ganjar, Hanik juga mengajak kepada seluruh masyarakat di wilayah Kawasan Rawan Bencana (KRB) III agar selalu waspada dan dapat memahami tentang fenomena alam yang kemudian akan memberikan pelajaran dan manfaat untuk ke depannya.
"Biarkanlah merapi berekspresi. Kita sudah mengambil manfaat dari Merapi. Insha Allah nanti manfaatnya kita dapatkan kembali," katanya.
BPPTKG : Letusan Gunung Merapi diperkirakan bersifat efusif
29 November 2020 22:03 WIB
Kondisi Gunung Merapi dipantau dari Pos Pengamatan Merapi (PGM) Kaliurang, Sleman. ANTARA/HO-BNPB/pri.
Pewarta: Victorianus Sat Pranyoto
Editor: Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2020
Tags: