Komnas Perempuan: Kekerasan basis gender daring meningkat saat pandemi
28 November 2020 22:11 WIB
Tolak Kekerasan Perempuan Sejumlah mahasiswi yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Wati melakukan aksi unjuk rasa di Tol Reformasi, Makassar, Sulsel, Rabu (7/8). Dalam aksi tersebut mereka mengecam segala bentuk eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap perempuan. (FOTO ANTARA/Sahrul Manda Tikupadang)
Jakarta (ANTARA) - Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Alimatul Qibtiyah mengatakan kekerasan berbasis gender dalam jaringan (daring) meningkat saat pandemi COVID-19.
"Data kekerasan 2020 selama masa pandemi saja 1.617 kasus, dan 1.458 kasus di antaranya adalah kasus kekerasan berbasis gender," kata Alimatul dalam seminar virtual Kampus Merdeka dari Kekerasan Berbasis Gender yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, Sabtu.
Alimatul menuturkan kekerasan gender berbasis daring atau siber yang diadukan secara langsung ke Komnas Perempuan hingga awal Oktober 2020, sudah ada 659 kasus. Padahal pada 2017, hanya ada 17 kasus.
Baca juga: Komnas Perempuan ajak dukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
"Jenis kekerasan berbasis 'online' meningkat sangat tajam di saat pandemi terutama ada kebijakan 'stay at home' (tinggal di rumah) dan kehidupan kita berubah kebanyakan di dunia digital," tuturnya.
Dia menuturkan walaupun pendidikan jarak jauh, namun kekerasan berbasis gender masih ada. Terdapat 15 kasus kekerasan berbasis gender di perguruan tinggi yang langsung dilaporkan ke Komnas Perempuan pada periode Januari-Oktober 2020.
Baca juga: Komnas Perempuan sebut penghentian kekerasan harus sistemik
"Perlu ditegakkan di perguruan tinggi daripada pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual," tutur Alimatul .
Alimatul mengatakan jenis aduan kekerasan seksual di lembaga pendidikan antara lain perkosaan yang mana pelakunya adalah mahasiswa, pencabulan oleh dosen atau kepala program studi, pencabulan yang dilakukan oleh kakak tingkat.
Dia menuturkan penanganan kekerasan seksual memerlukan perhatian serius.
Baca juga: Wapres: Perlu strategi baru atasi kekerasan terhadap perempuan
Menurut Alimatul, tidak mudah bagi perempuan korban kekerasan seksual untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya.
Hal itu karena korban trauma, kehilangan harga diri, perendahan martabat serta berbagai bentuk stigma akan diperolehnya dari lingkungan sosial yang tidak mendukung korban untuk mendapatkan keadilan.
Kekerasan seksual sering dihubungkan dengan aib dan nama baik.
Baca juga: MPR - Komnas Perempuan bahas RUU Otsus Papua
"Data kekerasan 2020 selama masa pandemi saja 1.617 kasus, dan 1.458 kasus di antaranya adalah kasus kekerasan berbasis gender," kata Alimatul dalam seminar virtual Kampus Merdeka dari Kekerasan Berbasis Gender yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, Sabtu.
Alimatul menuturkan kekerasan gender berbasis daring atau siber yang diadukan secara langsung ke Komnas Perempuan hingga awal Oktober 2020, sudah ada 659 kasus. Padahal pada 2017, hanya ada 17 kasus.
Baca juga: Komnas Perempuan ajak dukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
"Jenis kekerasan berbasis 'online' meningkat sangat tajam di saat pandemi terutama ada kebijakan 'stay at home' (tinggal di rumah) dan kehidupan kita berubah kebanyakan di dunia digital," tuturnya.
Dia menuturkan walaupun pendidikan jarak jauh, namun kekerasan berbasis gender masih ada. Terdapat 15 kasus kekerasan berbasis gender di perguruan tinggi yang langsung dilaporkan ke Komnas Perempuan pada periode Januari-Oktober 2020.
Baca juga: Komnas Perempuan sebut penghentian kekerasan harus sistemik
"Perlu ditegakkan di perguruan tinggi daripada pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual," tutur Alimatul .
Alimatul mengatakan jenis aduan kekerasan seksual di lembaga pendidikan antara lain perkosaan yang mana pelakunya adalah mahasiswa, pencabulan oleh dosen atau kepala program studi, pencabulan yang dilakukan oleh kakak tingkat.
Dia menuturkan penanganan kekerasan seksual memerlukan perhatian serius.
Baca juga: Wapres: Perlu strategi baru atasi kekerasan terhadap perempuan
Menurut Alimatul, tidak mudah bagi perempuan korban kekerasan seksual untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya.
Hal itu karena korban trauma, kehilangan harga diri, perendahan martabat serta berbagai bentuk stigma akan diperolehnya dari lingkungan sosial yang tidak mendukung korban untuk mendapatkan keadilan.
Kekerasan seksual sering dihubungkan dengan aib dan nama baik.
Baca juga: MPR - Komnas Perempuan bahas RUU Otsus Papua
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2020
Tags: