Jakarta (ANTARA) - Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta Khaerul Umam Noer mengatakan perlunya membangun komunitas kampus yang anti kekerasan berbasis gender untuk menciptakan kampus yang sehat dan aman bagi warganya.

"Penting bagi universitas atau kampus untuk mempromosikan budaya anti kekerasan dan rasa hormat pada orang lain," kata Khaerul dalam seminar virtual Kampus Merdeka dari Kekerasan Berbasis Gender yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Sabtu.

Khaerul menuturkan ada empat lapis (layer) penting untuk membangun perguruan tinggi atau kampus bebas dari kekerasan berbasis gender, yakni mencakup level individu, level peer/partner, level institusi, dan level komunitas.

Di level individu, upaya yang perlu dilakukan adalah membangun interaksi yang sehat di antara individu di dalam kampus, membangun norma positif tentang gender dan seksualitas, dan membangun pemahaman dasar mengenai kekerasan oleh semua sivitas.

Baca juga: KPPPA: Kekerasan terhadap perempuan pelanggaran HAM

Baca juga: WCC Palembang: Kekerasan perempuan berbasis daring meningkat


Di level peer/partner, hal-hal yang dilakukan adalah melaksanakan intervensi terhadap tindakan atau potensi yang mendukung atau memfasilitasi kekerasan, dan menciptakan peran sebagai peniup peluit ketika mengetahui kasus kekerasan.

Di level institusi, upaya-upaya yang dilakukan adalah promosi budaya anti kekerasan dan rasa hormat pada orang lain, kampanye sosial normal yang berkaitan dengan kekerasan, pemetaan titik panas dan area potensial terjadinya kekerasan berbasis gender di dalam kampus, serta penegakan aturan terkait kekerasan.

"Dalam penegakan aturan, tidak boleh ada previlege," tutur Khaerul.

Di level komunitas, hal-hal yang perlu dilaksanakan adalah pelibatan seluruh sivitas untuk mencegah tindak kekerasan, memperkuat mekanisme pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi di dalam dan luar kampus, serta pelibatan masyarakat, alumni, dan lembaga swadaya masyarakat.

Khaerul menuturkan tidak dipungkiri adanya ketakutan dalam melaporkan kasus kekerasan berbasis gender, misalnya mereka yang tidak memiliki jabatan di perguruan tinggi bisa dipecat jika melaporkan kekerasan berbasis gender yang dilakukan oleh oknum kampus yang punya jabatan di universitas tersebut.

Kemudian, kekhawatiran terkait urusan kepangkatan di kampus akan dihambat jika melaporkan kekerasan berbasis gender yang dialami atau disaksikan di lingkungan kampus. Kejadian lain adalah dosen melakukan kekerasan berbasis gender kepada mahasiswa, atau mahasiswa satu melakukannya kepada mahasiswa yang lain.

Untuk itu, Khaerul menuturkan perlu dibangun kampus yang bebas dari kekerasan berbasis gender secara menyeluruh dengan melibatkan level individu, peer/partner, institusi dan komunitas.*

Baca juga: Akankah kekerasan terhadap perempuan berakhir?

Baca juga: Masyarakat diajak cegah kekerasan berbasis gender di dunia maya