Jakarta (ANTARA News) - Bertahun-tahun lamanya Frank Vincent Serpico bersaksi melawan polisi-polisi hitam yang juga rekannya di Kepolisian Kota New York (NYPD).
Bersama rekannya, detektif David Durk, dia tak henti mengumpulkan bukti korupsi di NYPD, namun selalu gagal menyeret atasannya ke meja hijau.
Merasa tak mendapat dukungan dari dalam institusinya, Frank mengirimkan hasil investigasinya ke New York Times di mana reporter kriminal David Burnham memublikasikannya pada satu artikel di koran itu pada 25 April 1970.
Artikel itu membongkar fakta busuk di NYPD bahwa polisi telah menerima jutaan dolar AS uang suap dari para pedagang obat bius, mafia dan uang pungli dari para pengusaha kecil.
Laporan itu mengguncang kota New York. Walikota John V. Lindsay pun terusik, lalu bergerak cepat mengoreksi keadaan buruk di tubuh NYPD.
Dia membentuk komisi independen beranggotakan lima orang untuk menyelidiki
korupsi dalam tubuh kepolisian kota New York. Jaksa Whitman Knapp mengetuai komisi yang kemudian dinamai Komisi Knapp itu.
Sejak itu Serpico dibenci banyak rekannya di NYPD, sampai terjadi insiden 3 Februari 1971 yang hampir menewaskannya. Frank dijebak dalam penggerebakan narkoba akal-akalan yang tujuannya mengakhiri hidup Frank.
Setahun kemudian pada 1972, setelah dua tahun penyelidikan, Komisi Knapp menyimpulkan bahwa korupsi sudah mewabah di NYPD dan merasuki para perwira
polisi.
Menanggapi rekomendasi itu, Lindsay mengambil langkah tegas dengan membentuk unit-unit khusus baru untuk mengambilalih penanganan kasus-kasus narkoba dan perjudian yang sebelum ini ditangani sistem yang korup. Lindsay juga membentuk dewan pengawas kode etik guna membongkar penyelewengan.
Kisah hidup Serpico kemudian diangkat ke layar lebar pada 1973 oleh sutradara Sidney Lumet dalam film "Serpico" yang dibintangi aktor watak Al Pacino.
Tiga dekade kemudian, kasus Serpico terjadi pada diri Mayor polisi Aleksey Dymovksy yang menjadi buah bibir di Rusia.
Aleksey mengumbar dua video di laman video YouTube. Di situ dia melontarkan tuduhan bahwa polisi Rusia, khususnya di kota Novorossiisk tempat dia bertugas, telah begitu korup dan bobrok.
Dia menyatakan, para petinggi polisi telah memaksa bawahannya menyelesaikan kasus-kasus fiktif dan menangkap orang-orang tidak bersalah hanya demi statistik kinerja kepolisian.
Aleksey juga mengeluhkan perlakuan terhadap para polisi level bawah yang disebutnya bagai sapi perah karena tidak diberi istirahat yang cukup dan diabaikan manakala sakit.
Dia menuduh bintara-bintara muda sengaja digaji rendah agar mereka mendapat pembenaran untuk menerima suap dari para pelaku kriminal.
Aleksey lalu mendesak Perdana Menteri Vladimir Putin mengambil tindakan
menghentikan kebobrokan itu. Putin memang cepat menindaklanjutinya desakan
ini dengan memerintahkan Kementerian Dalam Negeri menggelar penyelidikan.
Namun, polisi malah mendakwa Aleksey telah menerima suap. Aleksey pun
dipecat dengan tuduhan memfitnah dan mencemarkan nama baik institusinya.
Sejak 22 Januari 2010, dia ditahan oleh polisi Rusia, namun awal Maret lalu, seperti dilaporkan kantor berita RIA Novosti, Aleksey dibebaskan dengan syarat tidak boleh meninggalkan kota Novorossiisk.
Jadi takut
Perjalanan hidup para "peniup peluit" AS dan Rusia itu mirip pengalaman mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal, Polri, Komjen Susno Duadji.
"Menyanyikan" lagu yang sama dengan Serpico dan Dymovsky, yaitu kayakinan ada anasir korup di lembaganya, Susno akhirnya juga ditetapkan tersangkut hukum.
"Setelah dievaluasi baik keterangan Pak Susno maupun saksi yang diperiksa sebelumnya, penyidik memutuskan menjadikan Susno sebagai tersangka," kata Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Edward Aritonang, Senin.
Yang membuat miris adalah pangkat Susno jauh lebih tinggi dibandingkan Serpico dan Dymovsky. Artinya, penegak hukum setinggi Susno saja bisa berubah dari pemberi informasi mengenai adanya kejahatan, menjadi orang yang disangka tersangkut kejahatan yang dilaporkannya. Bayangkan, jika peniup peluit itu orang biasa-biasa!
"Saya prihatin sekali. Ini efeknya orang jadi takut melaporkan. Bagaimana negara ini akan bisa baik kalau orang takut melaporkan adanya ketidakberesan?" kata Ketua DPR Marzuki Alie seperti dikutip ANTARA, Senin.
Susno membeberkan mafia kasus di tubuh sistem penegakan hukum Indonesia yang bahkan dia sampaikan kepada wakil rakyat yang secara etis dan moral lebih tinggi ketimbang membuka masalah di media seperti ditempuh Serpico dan Dymovsky.
Lain hal, sejumlah pihak, seperti Wakil Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin, menyebut laporan Susno adalah mata rantai reformasi sistem penegakan hukum Indonesia yang lagi dilanda krisis kepercayaan.
"Ini salah satu momentum emas untuk memperbaiki institusi Kepolisian," kata Azis kepada pers, Senin (10/5).
Kini, apakah bangsa ini berani berinisiatif menyelamatkan sistem seperti dilakukan John Lindsay di New York atau membunuh sistem dengan membelokkan setiap pelatuk tuduhan kepada si peniup peluit itu sendiri seperti terjadi di Rusia?
Susno jelas bukan malaikat, dan belumlah pahlawan, tapi "nyanyiannya" mengenai prilaku korup di institusi penegakan hukum, semestinya dianggap itikad baik untuk memperbaiki keadaan yang seharusnya ditanggapi antusias bangsa ini.
Cara bangsa ini menyikapi kasus Susno adalah juga bagaimana bangsa ini menempatkan institusi penegakan hukum dalam konteks pembangunan bangsa yang berkeadilan sosial seperti diamanatkan UUD 1945. Jadi, jangkauannya lebih luas, yaitu perbaikan sistem nasional.
Itu tidak hanya demi mereformasi Polri, karena perbaikan sistem dan penegakan etika birokrasi seperti disinggung Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam wawancaranya dengan majalah Tempo edisi terbaru, adalah kerja sistemik yang bukan urusan satu institusi saja.
"Kami membutuhkan kepolisian yang baik, kejaksaan yang baik, pengadilan yang baik," kata Sri Mulyani.
Lalu, bab terpenting dari kronik kasus Susno adalah bagaimana masyarakat meninggikan kejujuran di atas ketidakjujuran, apalagi ketidakjujuran adalah penyebab utama busuknya sistem.
"Kita menciptakan atmosfer di mana polisi jujur takut kepada polisi tidak jujur," kata Serpico mengingatkan bangsanya saat memberi kesaksian kepada Komisi Knapp pada Desember 1971.
Kalimat Serpico itu bisa menjadi bahan renungan masyarakat bangsa ini bahwa ketidakjujuran tak boleh mengalahkan kejujuran. Dan ini adalah juga tugas utama negara, seperti mendiang John V. Lindsay melakukannya kepada Serpico. (*)
Susno Duadji, Serpico dan Aleksey Dymovsky
11 Mei 2010 17:21 WIB
Mantan Kabaresrim Komisaris Jenderal Susno Duadji (tengah) tiba di Mabes Polri untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi terkait kasus mafia Arwana, Jakarta, Senin (10/5). Sebelumnya Susno tidak datang karena alasan surat panggilan tidak jelas pada Kamis (6/5) lalu. (FOTO ANTARA/Yudhi Mahatma)
Oleh Jafar M. Sidik
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010
Tags: