KPAI: Pandemi COVID-19 tingkatkan praktik pekerja anak
25 November 2020 17:24 WIB
Pekerja menyablon logo dan nama sekolah dasar pada masker pesanan sekolah yang baru dibuat di bengkel sablon dan konveksi Wayoik, Lubuk Alung, Padangpariaman, Sumatera Barat, Kamis (18/6/2020). ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/nz
Jakarta (ANTARA) - Komisioner Bidang Trafficking dan Eksploitasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah mengatakan pandemi COVID-19 berdampak pada perekonomian keluarga sehingga meningkatkan praktik-praktik pekerja anak.
"Memasuki 2020, persoalan pekerja anak semakin kompleks manakala pandemi COVID-19 berdampak signifikan terhadap ekonomi dan sosial, terutama bagi mereka yang rentan secara ekonomi," kata Ai dalam jumpa pers secara virtual yang diliput dari Jakarta, Rabu.
Survei yang dilakukan KPAI bekerja sama dengan IOM, Sekretariat Jarak, dan para pegiat pencegahan tindak pidana perdagangan orang di 20 kota di sembilan provinsi pada September hingga Oktober 2020 menemukan praktik-praktik pekerja anak sebagai dampak penurunan pendapatan keluarga akibat pandemi COVID-19.
Selama pandemi COVID-19 terjadi peningkatan jumlah dan perluasan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak, terutama anak yang dilacurkan dan anak pemulung. Sebagian besar lingkungan kerja pekerja anak dapat merusak atau menghambat tumbuh kembang anak.
Baca juga: Kemnaker targetkan tarik 9.000 pekerja anak pada 2020
Baca juga: Corona paksa pekerja anak-anak di Afghanistan untuk jauhi jalanan
"Sejatinya anak tidak boleh bekerja, tidak boleh bertanggung jawab atas kebutuhan dan ekonomi keluarga. Situasi dan latar belakang mereka bekerja dan menjadi pekerja anak tidak lepas dari peran orang tua, keluarga, dan orang dewasa atau lingkungan yang melekat di sekitarnya," tuturnya.
Dalam survei tersebut terdapat lima sektor pekerja anak yang terobservasi, yaitu anak yang dilacurkan (31,6 persen), anak dipekerjakan di pertanian (21,1 persen), anak pemulung (15,8 persen), anak jalanan (15,8 persen), dan pekerja rumah tangga anak (15,8 persen).
Beberapa temuan alasan anak bekerja dalam survei tersebut antara lain karena orang tua berhenti bekerja sehingga ingin membantu penghasilan keluarga atau mencari tambahan penghasilan, tetapi ada juga orang tua yang memaksa anaknya bekerja untuk mempertahankan kehidupan keluarga.
Ai mengatakan situasi buruk lain yang mengancam pekerja anak adalah kerentanan pada tindak pidana perdagangan orang sebagai dampak pandemi COVID-19 secara ekonomi dan sosial.
Baca juga: Anak-anak terancam jadi buruh selama pandemi
Baca juga: Anak-anak berisiko jadi buruh atas permintaan "hand sanitizer" tinggi
"Memasuki 2020, persoalan pekerja anak semakin kompleks manakala pandemi COVID-19 berdampak signifikan terhadap ekonomi dan sosial, terutama bagi mereka yang rentan secara ekonomi," kata Ai dalam jumpa pers secara virtual yang diliput dari Jakarta, Rabu.
Survei yang dilakukan KPAI bekerja sama dengan IOM, Sekretariat Jarak, dan para pegiat pencegahan tindak pidana perdagangan orang di 20 kota di sembilan provinsi pada September hingga Oktober 2020 menemukan praktik-praktik pekerja anak sebagai dampak penurunan pendapatan keluarga akibat pandemi COVID-19.
Selama pandemi COVID-19 terjadi peningkatan jumlah dan perluasan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak, terutama anak yang dilacurkan dan anak pemulung. Sebagian besar lingkungan kerja pekerja anak dapat merusak atau menghambat tumbuh kembang anak.
Baca juga: Kemnaker targetkan tarik 9.000 pekerja anak pada 2020
Baca juga: Corona paksa pekerja anak-anak di Afghanistan untuk jauhi jalanan
"Sejatinya anak tidak boleh bekerja, tidak boleh bertanggung jawab atas kebutuhan dan ekonomi keluarga. Situasi dan latar belakang mereka bekerja dan menjadi pekerja anak tidak lepas dari peran orang tua, keluarga, dan orang dewasa atau lingkungan yang melekat di sekitarnya," tuturnya.
Dalam survei tersebut terdapat lima sektor pekerja anak yang terobservasi, yaitu anak yang dilacurkan (31,6 persen), anak dipekerjakan di pertanian (21,1 persen), anak pemulung (15,8 persen), anak jalanan (15,8 persen), dan pekerja rumah tangga anak (15,8 persen).
Beberapa temuan alasan anak bekerja dalam survei tersebut antara lain karena orang tua berhenti bekerja sehingga ingin membantu penghasilan keluarga atau mencari tambahan penghasilan, tetapi ada juga orang tua yang memaksa anaknya bekerja untuk mempertahankan kehidupan keluarga.
Ai mengatakan situasi buruk lain yang mengancam pekerja anak adalah kerentanan pada tindak pidana perdagangan orang sebagai dampak pandemi COVID-19 secara ekonomi dan sosial.
Baca juga: Anak-anak terancam jadi buruh selama pandemi
Baca juga: Anak-anak berisiko jadi buruh atas permintaan "hand sanitizer" tinggi
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020
Tags: