Jakarta (ANTARA) - Sebagai benteng terakhir penanganan pandemi COVID-19, peran tenaga kesehatan sangatlah dibutuhkan untuk menangani pasien-pasien yang terpapar Corona Virus Disease atau yang lebih akrab didengar COVID-19.
Peran mereka sangat vital. Bisa dibayangkan bagaimana jika satu per satu dokter, perawat, bidan, apoteker dan petugas kesehatan lainnya berguguran tanpa tersisa sebelum pandemi ini berakhir? Tentu hal ini malapetaka bagi Indonesia yang telah dilanda pandemi sejak delapan bulan terakhir.
Tugas mereka begitu berat, mulia dan tulus. Demi keselamatan banyak orang, para tenaga kesehatan tak jarang harus menahan diri untuk tidak bertemu dengan sanak keluarga selama seminggu bahkan berbulan-bulan.
Tidak hanya itu, ancaman kematian pun jelas berada di depan mata. Bahkan, hingga 10 November lalu Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat sudah 159 teman sejawat mereka yang gugur dalam menjalankan tugas.
Jumlah itu tentunya di luar perawat, bidan, apoteker, petugas ambulans dan sebagainya yang meninggal. Jika ada anggapan memang sudah tanggung jawab dokter untuk merawat pasien karena diikat kode etik memang benar, namun sebagai manusia yang memiliki nurani sudah seharusnya setiap orang sadar untuk saling menjaga dan melindungi sesama agar rantai penularan virus corona dapat diputus.
Salah satu fasilitas kesehatan yang dijadikan pemerintah sebagai tempat isolasi dan perawatan pasien COVID-19 ialah Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat.
Terdapat 10 tower namun hanya beberapa saja di antaranya yang difungsikan oleh pemerintah untuk menampung pasien. Di sana, mulai dari Aceh hingga Papua pasien COVID-19 ditangani dengan sebaik mungkin tanpa membedakan suku, agama, ras maupun golongan. Begitupun petugas kesehatan maupun penyelenggara penanganan COVID-19.
Komandan Kesehatan Lapangan Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Kemayoran Letkol drg M Arifin mengatakan pada dasarnya penanganan pasien dilakukan secara bergotong-royong yang tergabung di Komando Tugas Gabungan Terpadu yakni terdiri dari berbagai unsur.
Ia mengatakan salah satu tantangan terberat para petugas kesehatan dan penyelenggara penanganan pasien di rumah sakit darurat tersebut ialah masalah kesehatan mental.
Bisa dibayangkan tenaga kesehatan di sana sudah berbulan-bulan bekerja melayani pasien COVID-19. Bahkan, ada di antara mereka yang sejak Maret 2020 belum pulang dan bertemu dengan sanak keluarga di rumah hingga kini.
Kondisi tersebut jika tidak diatasi dengan baik, maka bisa berdampak buruk pada kesehatan mental petugas kesehatan. Potensi depresi, stres dan semacamnya mengancam mereka.
Bagaimana tidak, "terikat" dalam waktu cukup lama di sebuah lokasi yang dipenuhi orang-orang yang terpapar virus serta menggunakan hazmat selama berjam-jam bukanlah hal mudah. Ditambah lagi dengan hiruk pikuk bunyi sirene ambulans keluar masuk Wisma Atlet yang telah menjadi nuansa akrab bagi mereka.
Bagi prajurit TNI yang bertugas di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet, keadaan tersebut mungkin tidak terlalu menjadi beban. Sebab, mereka telah dididik dan dilatih jauh lebih berat sebelum mengenakan seragam loreng kebanggaan Ibu Pertiwi itu.
Namun, bagi tenaga kesehatan dan orang-orang yang mengabdi di sana tentunya bukan perkara mudah dalam menjalani hari-hari yang tak berujung. Teknologi terkini memang memudahkan setiap orang untuk saling terhubung dengan orang lain, namun naluri kemanusiaan sejatinya tak bisa dihilangkan begitu saja melalui kecanggihan panggilan video.
Letkol drg M Arifin tidak menampik bahwa rasa jenuh tak jarang hinggap di pikiran dan mental petugas di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet. Sebab, bagaimanapun mereka adalah manusia yang memiliki rasa cinta, kasih, empati, sedih dan bahagia.
Akan tetapi, sebagai komandan lapangan, prajurit yang kerap disapa Arifin tersebut tak putus asa. Tak jarang ia pun sesekali mengajak petugas di Wisma Atlet untuk berekreasi dengan bernyanyi bersama, tentunya dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.
"Di sini juga ada hiburan, kita bukan robot," kata dia.
Baca juga: "Curhat" jadi langkah dukungan psikososial bagi warga terlantar
Baca juga: Ingin kembali mengajar, guru di Wamena butuh pemulihan trauma
Pantang pulang sebelum corona tumbang
Jika pemadam kebakaran memiliki kata-kata mutiara "pantang pulang sebelum padam", maka demikian pula dengan para petugas kesehatan dan penyelenggara penanganan COVID-19 di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet. Bagi mereka kini melekat pula "pantang pulang sebelum corona tumbang".
Kalimat motivasi tersebut dilontarkan Komandan Kesehatan Lapangan Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Kemayoran Letkol drg M Arifin dengan harapan memberikan kekuatan tersendiri bagi orang-orang yang berjibaku selama berbulan-bulan di fasilitas kesehatan itu.
Menurut dia, orang-orang yang bekerja di Wisma Atlet patut dihargai dan diapresiasi. Dengan sentuhan dan kasih sayang merekalah pasien-pasien ditangani sebaik mungkin agar sembuh dari virus tersebut.
Satu hal yang ditanamkannya kepada petugas ialah harus bekerja dalam keadaan hati senang dan gembira. Sebab, bagaimana mungkin seorang petugas kesehatan bekerja atau melayani pasien, bila hati mereka sendiri dalam keadaan bersedih. "Bagaimana kita memberikan pasien semangat kalau diri kita sendiri tidak gembira? Itulah yang saya tanamkan," katanya.
Agar petugas tetap semangat dalam bekerja meskipun sudah berbulan-bulan tidak pulang, Letkol Arifin memiliki trik sehingga mereka tidak hanya semangat namun juga selalu profesional dalam bekerja.
Bila pasien COVID-19 tersebut lansia, maka anggaplah sebagai kakek atau nenek sendiri. Bila pasien tersebut seumuran dengan orangtua, maka anggaplah sedang merawat orangtua sendiri.
Kemudian, bila pasien tersebut lebih kecil, maka anggaplah ia sebagai adik kandung sendiri. Dengan berpandangan seperti itu, maka perasaan yang lelah dan rindu ingin bertemu dengan orangtua, kakak, adik, istri dan sebagainya akan sedikit terobati.
"Sebab, ribuan pasien yang datang dan dirawat di sini adalah saudara kita semua," ujar dia.
Baca juga: Kemensos bentuk tim relawan psikososial dampingi terdampak COVID-19
Baca juga: Anak-anak dan pelajar hadapi tekanan psikososial semasa pandemi
Baca juga: IDAI: Perkembangan psikososial anak tergantung pola asuh stimulasi
Layanan psikososial
Direktur Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial Kementerian Sosial (Kemensos) Sunarti mengatakan pendampingan psikososial dibutuhkan sekali kepada pasien COVID-19 dan juga bagi tenaga kesehatan serta petugas di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet.
Kemensos, ujar dia, sejak awal telah mengantisipasi kemungkinan terburuk bagi penderita maupun petugas kesehatan di rumah sakit tersebut dengan mengirimkan tenaga psikososial yang bertugas memberikan pendampingan.
"Sebetulnya kita sudah melakukan penguatan psikososial di Wisma Atlet. Ada tim kami yakni Pelopor Perdamaian termasuk unit terkait lainnya dari Kemensos di sini," kata dia.
Ke depan, Kemensos akan melakukan kerja sama dalam bentuk dukungan psikososial yang lebih intens dengan Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Kemayoran agar penanganan COVID-19 bisa berjalan lebih cepat.
Dukungan psikososial merupakan sebuah layanan kebutuhan dasar bagi seseorang di luar kebutuhan dasar fisik. Hal itu tidak hanya diberikan kepada orang yang terpapar COVID-19 namun juga bagi penyelenggara penanganan misalnya tenaga medis, petugas lapangan dan sebagainya.
Pemberian dukungan psikososial tidak hanya diberikan kepada korban saja, namun juga bagi orang yang menangani. Hal itu diperlukan karena banyak tenaga medis yang selama pandemi kurang berinteraksi langsung dengan keluarganya sehingga dikhawatirkan berdampak pada emosional mereka.
"Kami akan fokus kepada orang-orang yang sudah delapan bulan belum pulang," ujar dia.
Ia mengkhawatirkan para dokter yang belum pulang selama berbulan-bulan tersebut mengalami tekanan mental yang bisa membuatnya stres, depresi dan lain sebagainya.
Beban pekerjaan yang tinggi ditambah tanggung jawab lainnya, bahkan pantang pulang sebelum corona tumbang bisa menjadi tekanan mental tersendiri. Tanpa disadari hal-hal demikianlah yang bisa membuat mereka cemas dan stres.
Oleh karena itu, lanjut dia, di sinilah peran Kemensos dalam memberikan dukungan psikososial agar orang-orang tangguh tersebut tetap semangat dalam bertugas. Sebab, mereka adalah benteng pertahanan terakhir dalam melawan pandemi COVID-19.
"Oleh karena itu psikososial ini penting, dan kami tidak hanya menangani korban kebakaran atau kabut asap tapi juga bagi tenaga kesehatan yang menangani pandemi COVID-19," ujar Sunarti.
Bantuan bagi petugas
Tidak hanya peduli pada aspek kesehatan mental, Kemensos juga memerhatikan kebutuhan pangan tenaga kesehatan dan penyelenggara penanganan kesehatan di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet.
Pada kunjungannya ke Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Direktur Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial Kemensos Sunarti menyerahkan bantuan sebanyak 412 paket sembako dan 2.000 batang sabun kepada para petugas dan penyelenggara penanganan COVID-19.
Penyerahan bantuan tersebut merupakan bentuk kepedulian Kemensos terhadap petugas yang selama pandemi COVID-19 terus berjuang keras di Rumah Sakit Wisma Atlet. Nantinya, bantuan itu diserahkan kepada petugas yang betul-betul membutuhkan misalnya supir ambulans, petugas kebersihan dan lainnya.
Pada dasarnya Kemensos tidak hanya membantu atau menyerahkan bantuan sosial bagi masyarakat yang terdampak pandemi COVID-19, namun juga petugas yang bekerja di rumah sakit, perhotelan dan sebagainya perlu dibantu.
Meskipun tidak banyak, ia berharap setidaknya bantuan tersebut berguna dan dapat membantu dalam mencukupi kebutuhan petugas dan penyelenggara penanganan COVID-19 di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet.
Sunarti mengatakan Kemensos tidak hanya peduli kepada masyarakat yang terdampak pandemi saja, namun petugas kesehatan di fasilitas kesehatan juga perlu mendapatkan perhatian.
Sebab, tidak semua dari mereka selalu berkecukupan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mungkin para dokter, perawat dan lainnya masih bisa bertahan secara finansial lebih mapan, namun petugas lain di antaranya supir ambulans, tenaga kebersihan belum tentu.
Oleh karena itu, bantuan tersebut setidaknya diharapkan dapat sedikit membantu menutupi kekurangan kebutuhan mereka di tengah badai pandemi COVID-19.
Dengan beratnya perjuangan para tenaga kesehatan dan penyelenggara penanganan COVID-19 di Tanah Air, sudah seharusnya setiap individu memahami dan sadar akan mahalnya sebuah kesehatan yang tidak dapat diukur dengan materi.
Hal itu setidaknya dapat dilakukan dengan menerapkan perilaku 3M yakni memakai masker, mencuci tangan pakai sabun dan menjaga jarak. Kebiasaan tersebut harus diterapkan sekaligus dan berkesinambungan agar persiapan adaptasi kebiasaan baru lebih baik lagi sehingga pandemi cepat berlalu.
Baca juga: Dinsos Yogyakarta beri layanan psikososial atasi dampak pandemi
Baca juga: Kemensos perkuat layanan psikososial atasi dampak pandemi COVID-19
Artikel
Menjaga asa kewarasan di tengah lautan pasien COVID-19
Oleh Muhammad Zulfikar
25 November 2020 12:51 WIB
Salah seorang melintas di kawasan Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat. ANTARA/Muhammad Zulfikar.
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020
Tags: