KPK imbau cakada terbuka laporkan sumbangan kampanye
24 November 2020 18:25 WIB
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata saat acara "Pembekalan Cakada dan Penyelenggara Pilkada Serentak 2020" di Provinsi Jambi, Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku yang berlangsung di Auditorium Rumah Dinas Gubernur Jambi, Kota Jambi, Selasa (24/11/2020). (KPK)
Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengimbau calon kepala daerah (cakada) secara terbuka dan valid melaporkan sumbangan kampanye yang diterimanya.
Alex mengatakan kejujuran dalam pelaporan setiap sumbangan kampanye merupakan ukuran integritas cakada.
"Salah satu indikator integritas cakada adalah kejujuran melaporkan tiap sumbangan kampanye. Hasil survei KPK tahun 2018 menemukan 82,3 persen cakada menyatakan adanya donatur atau penyumbang dalam pendanaan pilkada," kata Alex dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Selasa.
Imbauan itu disampaikan Alex dalam acara "Pembekalan Cakada dan Penyelenggara Pilkada Serentak 2020" di Provinsi Jambi, Jawa Tengah (Jateng), Sulawesi Tenggara (Sultra), dan Maluku yang berlangsung di Auditorium Rumah Dinas Gubernur Jambi, Kota Jambi, Selasa.
Sedangkan peserta dari Jateng, Sultra, dan Maluku mengikuti pembekalan secara daring.
Korupsi kepala daerah, lanjut Alex, berhubungan erat dengan kecenderungan kepala daerah terpilih untuk membalas jasa atas dukungan dana dari donatur sejak proses pencalonan, kampanye sampai pemungutan suara.
Harapan donatur kepada kepala daerah sesuai survei KPK di 2018 adalah kemudahan perizinan, kemudahan ikut tender proyek pemerintah, keamanan menjalankan bisnis, kemudahan akses donatur atau kolega menjabat di pemerintahan daerah atau BUMD, kemudahan akses menentukan peraturan daerah, prioritas bantuan langsung serta prioritas dana bantuan sosial atau hibah APBD.
Baca juga: Sumbangan dana kampanye perseorangan di Pilkada maksimal Rp75 juta
Alexander Marwata mengatakan berdasarkan evaluasi KPK, ada lima modus korupsi kepala daerah. Pertama, intervensi dalam kegiatan belanja daerah mulai Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ), pengelolaan kas daerah, pelaksanaan hibah, bantuan sosial, dan program, pengelolaan aset hingga penempatan anggaran pemerintah daerah di BUMD.
Kedua, intervensi dalam penerimaan daerah mulai pajak daerah atau retribusi, pendapatan daerah dari pusat sampai kerja sama dengan pihak lain. Ketiga, perizinan mulai dari pemberian rekomendasi, penerbitan perizinan sampai pemerasan.
"Keempat, benturan kepentingan dalam proses PBJ, mutasi Aparatur Sipil Negara (ASN), dan perangkapan jabatan. Kelima, penyalahgunaan wewenang mulai pengangkatan dan penempatan jabatan orang dekat hingga pemerasan saat pengurusan rotasi, mutasi atau promosi ASN," ungkap Alex.
Sementara, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan meyakini kualitas dan integritas pemilihan di tingkat daerah merupakan salah satu indikator kesuksesan demokrasi.
Ia mengatakan penyelenggaraan pilkada berintegritas merupakan syarat mutlak terwujudnya pilkada berkualitas.
Politik uang, kata dia, merupakan pelecehan terhadap kecerdasan pemilih yang merusak tatanan demokrasi dan meruntuhkan harkat dan martabat kemanusiaan.
"Dampak politik uang adalah mematikan kaderisasi politik, kepemimpinan tidak berkualitas, merusak proses demokrasi, pembodohan rakyat, biaya politik mahal yang memunculkan politik transaksional, dan korupsi di mana anggaran pembangunan dirampok untuk mengembalikan hutang ke para cukong," kata Abhan.
Baca juga: KPU Makassar batasi sumbangan kampanye maksimal Rp95,6 miliar
Baca juga: KPU Jember coret peserta pilkada tidak laporkan sumbangan kampanye
Alex mengatakan kejujuran dalam pelaporan setiap sumbangan kampanye merupakan ukuran integritas cakada.
"Salah satu indikator integritas cakada adalah kejujuran melaporkan tiap sumbangan kampanye. Hasil survei KPK tahun 2018 menemukan 82,3 persen cakada menyatakan adanya donatur atau penyumbang dalam pendanaan pilkada," kata Alex dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Selasa.
Imbauan itu disampaikan Alex dalam acara "Pembekalan Cakada dan Penyelenggara Pilkada Serentak 2020" di Provinsi Jambi, Jawa Tengah (Jateng), Sulawesi Tenggara (Sultra), dan Maluku yang berlangsung di Auditorium Rumah Dinas Gubernur Jambi, Kota Jambi, Selasa.
Sedangkan peserta dari Jateng, Sultra, dan Maluku mengikuti pembekalan secara daring.
Korupsi kepala daerah, lanjut Alex, berhubungan erat dengan kecenderungan kepala daerah terpilih untuk membalas jasa atas dukungan dana dari donatur sejak proses pencalonan, kampanye sampai pemungutan suara.
Harapan donatur kepada kepala daerah sesuai survei KPK di 2018 adalah kemudahan perizinan, kemudahan ikut tender proyek pemerintah, keamanan menjalankan bisnis, kemudahan akses donatur atau kolega menjabat di pemerintahan daerah atau BUMD, kemudahan akses menentukan peraturan daerah, prioritas bantuan langsung serta prioritas dana bantuan sosial atau hibah APBD.
Baca juga: Sumbangan dana kampanye perseorangan di Pilkada maksimal Rp75 juta
Alexander Marwata mengatakan berdasarkan evaluasi KPK, ada lima modus korupsi kepala daerah. Pertama, intervensi dalam kegiatan belanja daerah mulai Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ), pengelolaan kas daerah, pelaksanaan hibah, bantuan sosial, dan program, pengelolaan aset hingga penempatan anggaran pemerintah daerah di BUMD.
Kedua, intervensi dalam penerimaan daerah mulai pajak daerah atau retribusi, pendapatan daerah dari pusat sampai kerja sama dengan pihak lain. Ketiga, perizinan mulai dari pemberian rekomendasi, penerbitan perizinan sampai pemerasan.
"Keempat, benturan kepentingan dalam proses PBJ, mutasi Aparatur Sipil Negara (ASN), dan perangkapan jabatan. Kelima, penyalahgunaan wewenang mulai pengangkatan dan penempatan jabatan orang dekat hingga pemerasan saat pengurusan rotasi, mutasi atau promosi ASN," ungkap Alex.
Sementara, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan meyakini kualitas dan integritas pemilihan di tingkat daerah merupakan salah satu indikator kesuksesan demokrasi.
Ia mengatakan penyelenggaraan pilkada berintegritas merupakan syarat mutlak terwujudnya pilkada berkualitas.
Politik uang, kata dia, merupakan pelecehan terhadap kecerdasan pemilih yang merusak tatanan demokrasi dan meruntuhkan harkat dan martabat kemanusiaan.
"Dampak politik uang adalah mematikan kaderisasi politik, kepemimpinan tidak berkualitas, merusak proses demokrasi, pembodohan rakyat, biaya politik mahal yang memunculkan politik transaksional, dan korupsi di mana anggaran pembangunan dirampok untuk mengembalikan hutang ke para cukong," kata Abhan.
Baca juga: KPU Makassar batasi sumbangan kampanye maksimal Rp95,6 miliar
Baca juga: KPU Jember coret peserta pilkada tidak laporkan sumbangan kampanye
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020
Tags: