Aturan Pelaksana UU CK terkait pajak disarankan tak diskriminatif
22 November 2020 11:38 WIB
Ilustrasi - Petugas Kantor Pelayanan Pajak Pratama melayan konsultasi wajib pajak di Padang, Sumatera Barat. ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi/aww/pri.
Jakarta (ANTARA) - Aturan pelaksana Undang-Undang Cipta Kerja Klaster Kemudahan Berusaha Bidang Perpajakan disarankan tidak bersifat diskriminatif bagi semua pihak termasuk para pelaku usaha di sektor UMKM hingga WNI yang tinggal di luar negeri.
Wakil Ketua Umum IKPI Ruston Tambunan, Minggu menyampaikan, perlunya dimasukkan dalam PMK mengenai penerapan “tie breaker rule” mengacu pada P3B (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda) dengan negara mitra dalam hal terjadi kependudukan ganda, dan penerapannya sebaiknya dapat dilakukan secara self-assessment, tidak menunggu ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
“Perlu diatur secara tegas bahwa apabila seorang WNI telah memenuhi persyaratan untuk dikategorikan statusnya sebagai SPLN, maka perlakuan pemajakan atas penghasilan di Indonesia dipersamakan dengan SPLN WNA sesuai dengan prinsip nondiskriminatif,” kata Ruston Tambunan.
Baca juga: DJP paparkan empat tujuan klaster perpajakan dalam UU Ciptaker
Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) juga menyampaikan sejumlah masukan terhadap Rancangan Peraturan Pelaksana (Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Keuangan) Undang-Undang Cipta Kerja Kaster Kemudahan Berusaha Bidang Perpajakan.
Terkait Pasal 111 Undang-Undang Cipta Kerja mengenai Perubahan Beberapa Ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), pasal 2 ayat (4) huruf c disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang WNI yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan untuk dikategorikan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Terkait pasal 4 ayat (1) huruf d tentang kriteria keahlian tertentu WNA – SPDN yang dikenai PPh hanya atas yang diterima atau diperoleh di Indonesia dan berlaku empat tahun sejak menjadi SPDN, IKPI memberi masukan sebaiknya tenaga ahli tertentu WNA tersebut dibatasi pada keahlian yang nyata-nyata masih dibutuhkan di Indonesia, misalnya di bidang engineering dan IT tertentu.
“Keahlian khusus tersebut hendaknya dibuktikan dengan sertifikasi keahlian dari lembaga yang berwenang di negara asalnya, dan perlu adanya mekanisme kewajiban pelaporan semacam pembuktian bahwa transfer of skill tersebut benar-benar dilakukan dalam kurun waktu empat tahun,” kata Ruston.
Baca juga: Sri Mulyani sebut target penerimaan perpajakan berpotensi tak tercapai
Sedangkan mengenal pasal 4 ayat (3) huruf f angka 10 yang mengatur ketentuan tentang dividen dan penghasilan, IKPI mengusulkan sebaiknya dibedakan antara kriteria dan jangka waktu investasi untuk dividen yang diperoleh oleh WP Orang Pribadi dari dalam negeri dengan investasi atas dividen yang berasal dari luar negeri dan penghasilan setelah kena pajak dari BUT (Bentuk Usaha Tetap) di LN.
Selanjutnya untuk pasal 26 ayat (1b) huruf f angka 10 mengenai tarif 20 persen dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan bunga, termasuk diskonto, premium dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, masukan IKPI penurunan tarif PPh Pasal 26 atas bunga sebaiknya dikaitkan dengan jangka waktu pinjaman, serta tidak lebih rendah dari 10 persen merujuk pada berbagai tarif withholding tax atas bunga pada P3B Indonesia dengan negara-negara mitra.
“Penurunan tarif tersebut dapat dibatasi hanya berlaku terhadap pembayaran imbalan bunga kepada pihak luar negeri yang tidak bersedia dilakukan pemotongan PPh Pasal 26, sehingga menjadi tanggungan penerima pinjaman,” kata Ruston.
Menanggapi hal itu, Direktur P2Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama jugga mengungkapkan, lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja Klaster Kemudahan Berusaha di Bidang Perpajakan merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memperkuat perekonomian Indonesia.
Apalagi dalam beberapa tahun terakhir ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya terpaku di kisaran 5 persen.
Selain itu, klaster Kemudahan Berusaha di Bidang Perpajakan juga merupakan upaya untuk mendorong investasi di tengah kondisi perlambatan ekonomi dunia agar dapat menyerap tenaga kerja seluas-luasnya.
“Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan perubahan berbagai ketentuan perundang-undangan, termasuk tiga undang-undang perpajakan yaitu UU Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh) dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam waktu yang tidak terlalu lama. Karena itu, tiga undang-undang ini langsung kita ramu di dalam satu klaster ini,” kata Hestu Yoga.
Selain mendorong investasi dan menyerap tenaga kerja seluas-luasnya, Yoga mengatakan klaster Kemudahan Berusaha di Bidang Perpajakan juga diharapkan dapat mendorong kinerja penerimaan pajak.
“Kita perlu menjaga dan meningkatkan penerimaan pajak melalui peningkatan investasi, kepatuhan sukarela, kepastian hukum dan keadilan iklim berusaha,” kata Yoga.
Wakil Ketua Umum IKPI Ruston Tambunan, Minggu menyampaikan, perlunya dimasukkan dalam PMK mengenai penerapan “tie breaker rule” mengacu pada P3B (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda) dengan negara mitra dalam hal terjadi kependudukan ganda, dan penerapannya sebaiknya dapat dilakukan secara self-assessment, tidak menunggu ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
“Perlu diatur secara tegas bahwa apabila seorang WNI telah memenuhi persyaratan untuk dikategorikan statusnya sebagai SPLN, maka perlakuan pemajakan atas penghasilan di Indonesia dipersamakan dengan SPLN WNA sesuai dengan prinsip nondiskriminatif,” kata Ruston Tambunan.
Baca juga: DJP paparkan empat tujuan klaster perpajakan dalam UU Ciptaker
Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) juga menyampaikan sejumlah masukan terhadap Rancangan Peraturan Pelaksana (Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Keuangan) Undang-Undang Cipta Kerja Kaster Kemudahan Berusaha Bidang Perpajakan.
Terkait Pasal 111 Undang-Undang Cipta Kerja mengenai Perubahan Beberapa Ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), pasal 2 ayat (4) huruf c disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang WNI yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan untuk dikategorikan sebagai Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Terkait pasal 4 ayat (1) huruf d tentang kriteria keahlian tertentu WNA – SPDN yang dikenai PPh hanya atas yang diterima atau diperoleh di Indonesia dan berlaku empat tahun sejak menjadi SPDN, IKPI memberi masukan sebaiknya tenaga ahli tertentu WNA tersebut dibatasi pada keahlian yang nyata-nyata masih dibutuhkan di Indonesia, misalnya di bidang engineering dan IT tertentu.
“Keahlian khusus tersebut hendaknya dibuktikan dengan sertifikasi keahlian dari lembaga yang berwenang di negara asalnya, dan perlu adanya mekanisme kewajiban pelaporan semacam pembuktian bahwa transfer of skill tersebut benar-benar dilakukan dalam kurun waktu empat tahun,” kata Ruston.
Baca juga: Sri Mulyani sebut target penerimaan perpajakan berpotensi tak tercapai
Sedangkan mengenal pasal 4 ayat (3) huruf f angka 10 yang mengatur ketentuan tentang dividen dan penghasilan, IKPI mengusulkan sebaiknya dibedakan antara kriteria dan jangka waktu investasi untuk dividen yang diperoleh oleh WP Orang Pribadi dari dalam negeri dengan investasi atas dividen yang berasal dari luar negeri dan penghasilan setelah kena pajak dari BUT (Bentuk Usaha Tetap) di LN.
Selanjutnya untuk pasal 26 ayat (1b) huruf f angka 10 mengenai tarif 20 persen dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan bunga, termasuk diskonto, premium dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, masukan IKPI penurunan tarif PPh Pasal 26 atas bunga sebaiknya dikaitkan dengan jangka waktu pinjaman, serta tidak lebih rendah dari 10 persen merujuk pada berbagai tarif withholding tax atas bunga pada P3B Indonesia dengan negara-negara mitra.
“Penurunan tarif tersebut dapat dibatasi hanya berlaku terhadap pembayaran imbalan bunga kepada pihak luar negeri yang tidak bersedia dilakukan pemotongan PPh Pasal 26, sehingga menjadi tanggungan penerima pinjaman,” kata Ruston.
Menanggapi hal itu, Direktur P2Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama jugga mengungkapkan, lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja Klaster Kemudahan Berusaha di Bidang Perpajakan merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memperkuat perekonomian Indonesia.
Apalagi dalam beberapa tahun terakhir ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya terpaku di kisaran 5 persen.
Selain itu, klaster Kemudahan Berusaha di Bidang Perpajakan juga merupakan upaya untuk mendorong investasi di tengah kondisi perlambatan ekonomi dunia agar dapat menyerap tenaga kerja seluas-luasnya.
“Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan perubahan berbagai ketentuan perundang-undangan, termasuk tiga undang-undang perpajakan yaitu UU Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh) dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam waktu yang tidak terlalu lama. Karena itu, tiga undang-undang ini langsung kita ramu di dalam satu klaster ini,” kata Hestu Yoga.
Selain mendorong investasi dan menyerap tenaga kerja seluas-luasnya, Yoga mengatakan klaster Kemudahan Berusaha di Bidang Perpajakan juga diharapkan dapat mendorong kinerja penerimaan pajak.
“Kita perlu menjaga dan meningkatkan penerimaan pajak melalui peningkatan investasi, kepatuhan sukarela, kepastian hukum dan keadilan iklim berusaha,” kata Yoga.
Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020
Tags: