Produksi industri petrokimia diharapkan berbasis energi terbarukan
18 November 2020 19:05 WIB
Pekerja beraktivitas di kawasan kilang PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur, Sabtu (21/12/2019). PT Pertamina (Persero) berencana mengembangkan kawasan tersebut menjadi pusat industri petrokimia yang terintegrasi dengan kilang nasional. ANTARA FOTO/Moch Asim/pras.
Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Industri Kimia Farmasi dan Tekstil Muhamad Khayam mengharapkan proses produksi industri petrokimia sudah dapat dilakukan dengan berbasis energi terbarukan atau renewable energy pada 2030.
“Pada Indonesia’s Chemical 4.0 terdapat beberapa tantangan, mulai dari pabrik tidak efisien, adaptasi teknologi rendah, kurangnya kemampuan R&D, dan persoalan rantai pasok. Diharapkan, pada 2030, industri petrokimia ini nantinya berbasis renewable energy,” kata Khayam saat menghadiri seminar web bertajuk Indonesia Petrochemical and Plastic Industry Outlook 2021 dari Jakarta, Rabu.
Kendati demikian, produksi berbasis migas dan batubara tetap akan dilaksanakan secara beriringan. Hal tersebut berkaitan dengan skema Indonesia’s Chemical 4.0 yang ingin dicapai.
Pada 2030, Kemenperin memproyeksikan bahwa produksi kimia dasar akan meningkat, kemudian penggunaan bahan baku dan kawasan industri semakin optimal, produktivitas di semua rantai nilai semakin meningkat, dan terdapat produsen biochemical dan kimia berbasis migas batubara terkemuka.
Untuk menuju ke sana, Khayam menyampaikan bahwa dalam tiga hingga lima tahun pertama hingga 2021, Kemenperin akan berupaya mengurangi impor kimia dasar hingga 35 persen dengan beberapa cara. Di antaranya meningkatkan kapasitas pemurnian nafta dan kimia dasar (olefin dan aromatik) untuk menyalurkan ke industri hilir.
Selanjutnya, meningkatkan efisiensi dengan menggunakan teknologi 4IR, serta memperkuat produksi serat sintetis untuk mendukung industri tekstil.
Kemudian, lima sampai sepuluh tahun selanjutnya yakni pada 2025, Kemenperin berupaya meningkatkan kontribusi penjualan resin sintetis dan serat sintetis sebesar lebih dari 1,5 kali, dengan meneruskan peningkatan produksi serat sintetis, memperkuat produksi produk perantara, dan meningkatkan kemampuan untuk mengubah biomassa menjadi biokimia dasar.
“Terakhir, 10 sampai 15 tahun hingga 2030, Kemenperin membidik Indonesia menjadi Top 5 produsen biofuel dan bioplastic,” pungkas Khayam.
Baca juga: PGN gandeng Pertamina jajaki industri petrokimia
Baca juga: BKPM kawal investasi kompleks industri petrokimia Balongan
Baca juga: Menperin undang SK Group investasi industri petrokimia di Indonesia
“Pada Indonesia’s Chemical 4.0 terdapat beberapa tantangan, mulai dari pabrik tidak efisien, adaptasi teknologi rendah, kurangnya kemampuan R&D, dan persoalan rantai pasok. Diharapkan, pada 2030, industri petrokimia ini nantinya berbasis renewable energy,” kata Khayam saat menghadiri seminar web bertajuk Indonesia Petrochemical and Plastic Industry Outlook 2021 dari Jakarta, Rabu.
Kendati demikian, produksi berbasis migas dan batubara tetap akan dilaksanakan secara beriringan. Hal tersebut berkaitan dengan skema Indonesia’s Chemical 4.0 yang ingin dicapai.
Pada 2030, Kemenperin memproyeksikan bahwa produksi kimia dasar akan meningkat, kemudian penggunaan bahan baku dan kawasan industri semakin optimal, produktivitas di semua rantai nilai semakin meningkat, dan terdapat produsen biochemical dan kimia berbasis migas batubara terkemuka.
Untuk menuju ke sana, Khayam menyampaikan bahwa dalam tiga hingga lima tahun pertama hingga 2021, Kemenperin akan berupaya mengurangi impor kimia dasar hingga 35 persen dengan beberapa cara. Di antaranya meningkatkan kapasitas pemurnian nafta dan kimia dasar (olefin dan aromatik) untuk menyalurkan ke industri hilir.
Selanjutnya, meningkatkan efisiensi dengan menggunakan teknologi 4IR, serta memperkuat produksi serat sintetis untuk mendukung industri tekstil.
Kemudian, lima sampai sepuluh tahun selanjutnya yakni pada 2025, Kemenperin berupaya meningkatkan kontribusi penjualan resin sintetis dan serat sintetis sebesar lebih dari 1,5 kali, dengan meneruskan peningkatan produksi serat sintetis, memperkuat produksi produk perantara, dan meningkatkan kemampuan untuk mengubah biomassa menjadi biokimia dasar.
“Terakhir, 10 sampai 15 tahun hingga 2030, Kemenperin membidik Indonesia menjadi Top 5 produsen biofuel dan bioplastic,” pungkas Khayam.
Baca juga: PGN gandeng Pertamina jajaki industri petrokimia
Baca juga: BKPM kawal investasi kompleks industri petrokimia Balongan
Baca juga: Menperin undang SK Group investasi industri petrokimia di Indonesia
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2020
Tags: