Jakarta (ANTARA) - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mendorong pemerintah untuk memberikan insentif berupa potongan pajak khususnya bagi industri dalam negeri yang produknya dikonsumsi secara berulang untuk menggenjot permintaan kredit pada 2021.

“Kalau bicara barang berulang kali itu saja diberikan insentif, orang ramai beli, otomatis pelaku usaha akan melakukan pinjaman,” kata Aviliani dalam webinar terkait ekonomi RI 2021 di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, kebijakan pada 2020 yang sebagian dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dikontribusikan kepada perbankan untuk bisa menyalurkan kredit namun kenyataannya kredit hanya mampu tumbuh satu persen.

Baca juga: BRI mampu catat pertumbuhan kredit 4,86 persen di tengah pandemi

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat realisasi kredit per Agustus 2020 mencapai Rp5.522 triliun atau tumbuh 1,04 persen jika dibandingkan periode sama tahun 2019.

Sementara itu, tingkat dana pihak ketiga (DPK) di perbankan hingga September 2020 tumbuh lebih tinggi yakni 12,88 persen, seiring penempatan dana pemerintah di perbankan.

Selain penempatan dana pemerintah, lanjut dia, tingginya DPK juga disebabkan masyarakat khususnya ekonomi menengah ke atas memilih menempatkan dananya di bank dan mengurangi konsumsi.

Baca juga: Kredit DP Rp0 sudah disalurkan Rp143 miliar hingga Oktober 2020

Tak hanya itu, perusahaan juga cenderung menempatkan dananya untuk persiapan jika pandemi ini lebih panjang dengan menambah modal kerja yang disimpan di bank.

Ia menampik apabila bank disebut tidak mau memberikan kredit karena justru bank hidupnya dari penyaluran kredit yang memberikan keuntungan kepada perbankan.

“Sering kali pemerintah melihat sektor perbankan sebagai sektor yang menjadi motor penggerak tapi perlu diingat perbankan itu follow the trade, follow the business. Kalau sektor riil tidak jalan, tentu perbankan tidak bisa jalan,” katanya.

Baca juga: Sri Mulyani: Serapan anggaran PEN terus membaik capai Rp386,01 triliun

Insentif, kata dia, juga bisa diberikan kepada perusahaan yang menggandeng petani sehingga mendongkrak pendapatan petani yang akhirnya mendorong permintaan terhadap kredit.

Ia juga mengusulkan agar dana PEN untuk perlindungan sosial tidak dikurangi pada 2021 karena masyarakat tidak bisa langsung bekerja, kemudian penghasilan mereka langsung membaik.

Sebelumnya alokasi PEN 2020 mencapai Rp695,2 triliun dan pada 2021 menurun menjadi Rp356 triliun, sebanyak Rp110,2 triliun di antaranya dialokasikan untuk perlindungan sosial atau menurun dibandingkan 2020 mencapai Rp204 triliun karena dinilai terjadi perbaikan ekonomi.

“Regulator itu perlu melakukan out of the box yang tidak seperti sekarang karena kalau seperti sekarang, saya yakin tahun depan kredit tidak akan tumbuh lebih baik bahkan orang masih akan tetap menabung,” katanya.