New York (ANTARA) - Harga minyak bervariasi pada akhir perdagangan Selasa (Rabu pagi WIB) saat para investor menunggu data persediaan minyak mentah mingguan Amerika Serikat, ditambah kekhawatiran bahwa penguncian baru virus corona di beberapa wilayah Eropa dan AS dapat menekan permintaan.

Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Januari sedikit melemah, turun tipis tujuh sen atau 0,2 persen menjadi menetap pada 43,75 dolar AS per barel. Sementara itu, minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Desember naik sembilan sen atau 0,2 persen, menjadi ditutup di 41,43 dolar AS per barel.

Setelah penyelesaian, minyak mentah AS turun tipis menjadi 41,19 dolar AS per barel ketika kelompok industri American Petroleum Institute (API) mengatakan persediaan minyak mentah naik lebih 4,174 juta barel minggu lalu. Para analis memperkirakan persediaan minyak mentah kemungkinan naik 1,7 juta barel selama pekan yang berakhir 13 November setelah naik 4,3 juta barel pada pekan sebelumnya, menurut jajak pendapat Reuters.

Baca juga: Harga minyak melonjak didorong kemajuan vaksin COVID-19 terbaru

Badan Informasi Energi AS (EIA) dijadwalkan akan merilis data stok minyak mentah mingguan negara itu pada Rabu waktu setempat.

Harga minyak mentah telah mengurangi kerugian menjelang penyelesaian, setelah Pentagon mengatakan Presiden Donald Trump akan secara tajam mengurangi pasukan AS di Afghanistan dari 4.500 menjadi 2.500.

"Harga minyak mentah naik (dari negatif menjadi sedikit berubah) setelah pemerintahan Trump mengumumkan penarikan pasukan lebih lanjut di Afghanistan dan Irak," kata Edward Moya, analis pasar senior di OANDA di New York, mencatat ketidakstabilan di wilayah tersebut menjadi kekhawatiran yang berkembang bagi beberapa penasihat militer dan pasar minyak.

Baca juga: Kebutuhan vaksin COVID-19 global diperkirakan sulit terpenuhi

Pada Senin (16/11/2020), Brent ditutup pada level tertinggi 10 minggu setelah pengumuman Moderna Inc. bahwa vaksin virus coronanya efektif 94,5 persen. Pengumuman itu mengikuti berita serupa dari Pfizer Inc minggu lalu.

Prospek ekonomi jangka pendek tetap suram dengan beberapa negara Eropa memperketat pembatasan ketika kasus virus corona meningkat.

Untuk mengatasi permintaan energi yang lebih lemah dalam pandemi yang muncul kembali, Arab Saudi meminta sesama anggota OPEC+ untuk bersikap fleksibel saat membangun alasan untuk kebijakan produksi yang lebih ketat pada 2021.

OPEC+, yang mengelompokkan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), Rusia dan lainnya, menurunkan prospek pertumbuhan permintaan minyak untuk 2021, menurut dokumen rahasia yang dilihat oleh Reuters.

Baca juga: Yunani peringati hari perjuangan mahasiswa 1973 di tengah "lockdown"

Opsi yang mendapatkan dukungan di antara negara-negara OPEC+ adalah mempertahankan pemotongan yang ada sebesar 7,7 juta barel per hari (bph) selama tiga hingga enam bulan ke depan, kata sumber, daripada mengurangi pengurangan menjadi 5,7 juta barel per hari pada Januari.

OPEC+ mengadakan pertemuan komite menteri pada Selasa (17/11/2020) yang tidak membuat rekomendasi resmi. Kelompok tersebut akan mengadakan pertemuan penuh pada 30 November-1Desember.

“Kurangnya rekomendasi memaksa pasar untuk menunggu episode berikutnya dari saga ini sebelum merasa nyaman kembali,” kata Bjornar Tonhaugen, kepala pasar minyak di Rystad Energy, mencatat “kami berada dalam kelebihan pasokan selama beberapa bulan” jika OPEC+ meningkatkan produksi mulai Januari.