Eropa hentikan penyelidikan antisubsidi hot rolled stainless steel RI
17 November 2020 18:59 WIB
Petugas beraktivitas di pabrik pembuatan baja Kawasan Industri Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Jumat (4/10/2019). Kementerian Perindustrian mendorong percepatan pembangunan klaster industri baja Nasional di Cilegon dan Banten untuk memacu peningkatan target produksi sebanyak 10 ton baja pada tahun 2025. ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/foc.
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Uni Eropa resmi menghentikan penyelidikan antisubsidi terhadap hot rolled stainless steel (HRSS) Indonesia yang ditetapkan pada 6 November 2020 dan diumumkan secara resmi di situs web Pemerintah Uni Eropa pada 9 November 2020, sehingga produk HRSS Indonesia lolos dari ancaman tindakan antisubsidi Uni Eropa.
“Indonesia menyambut baik keputusan Uni Eropa untuk membatalkan penyelidikan karena dari awal kami meyakini bahwa produk Indonesia selalu bersaing secara adil di pasar Eropa,” kata Menteri Perdagangan Agus Suparmanto lewat keterangan resmi di Jakarta, Selasa.
Keputusan tersebut dibuat setelah Asosiasi Industri Baja Uni Eropa (EUROFER) mencabut permohonannya pada 18 September 2020. Pembatalan penyelidikan ini, lanjut Mendag Agus, membuka peluang untuk terus mendorong ekspor HRSS ke Uni Eropa.
“Kami akan mendorong industri Indonesia untuk memanfaatkan pembatalan ini dengan cara meningkatkan kinerja ekspor produk HRSS ke Uni Eropa serta secara proaktif menjaga akses ekspornya,” kata Mendag Agus.
Baca juga: Krakatau Steel ekspor pipa baja Ke Australia
HRSS merupakan produk baja yang dihasilkan dari penggilingan baja nirkarat dalam keadaan panas. Ekspor produk HRSS Indonesia ke Uni Eropa dimulai pada 2018 dengan nilai 99,3 juta dolar AS. Pada 2019, nilai ekspornya meningkat menjadi 100,5 juta dolar AS.
Pada Oktober 2019, Pemerintah Uni Eropa secara resmi memulai penyelidikan antisubsidi terhadap produk HRSS asal Indonesia berdasarkan permohonan EUROFER.
Uni Eropa menuduh Pemerintah Indonesia memberikan insentif atau bantuan finansial bagi produsen melalui serangkaian kebijakan larangan atau pembatasan ekspor bahan baku mineral, yaitu bijih nikel, batu bara, dan scrap logam, sehingga menekan harga bahan baku tersebut di Indonesia.
Baca juga: KS: Industri baja kembali bergeliat seiring pemulihan ekonomi
Uni Eropa juga menduga adanya dukungan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) terhadap pembangunan kawasan industri di Morowali serta industri mineral dan logam di lokasi tersebut melalui kerja sama ekonomi bilateral Indonesia-RRT. Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Didi Sumedi menegaskan, Kemendag pun telah membantah tuduhan Uni Eropa tersebut.
“Kami menilai semua tuduhan Uni Eropa tidak berdasar sejak awal penyelidikan. Kemendag didukung kementerian dan lembaga terkait melakukan pembelaan terhadap kebijakan yang diklaim Uni Eropa sebagai subsidi,” terang Didi.
Uni Eropa menganggap kebijakan RI melarang ekspor bijih nikel kadar 1,7 persen ke atas menguntungkan industri stainless steel Indonesia yang mempergunakannya sebagai bahan baku.
Baca juga: Dihantam pandemi, Kemenperin perkuat daya saing industri baja
Didi menyatakan ketentuan tersebut tidak secara khusus diarahkan untuk menguntungkan industri stainless steel.
“Ketentuan tersebut secara jelas dimaksudkan untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya mineral Indonesia yang berkelanjutan mengingat sifat bahan bakunya yang tidak dapat diperbaharui, dan untuk mendorong pertumbuhan investasi industri yang bernilai tambah di Indonesia,” ujar Didi.
“Indonesia menyambut baik keputusan Uni Eropa untuk membatalkan penyelidikan karena dari awal kami meyakini bahwa produk Indonesia selalu bersaing secara adil di pasar Eropa,” kata Menteri Perdagangan Agus Suparmanto lewat keterangan resmi di Jakarta, Selasa.
Keputusan tersebut dibuat setelah Asosiasi Industri Baja Uni Eropa (EUROFER) mencabut permohonannya pada 18 September 2020. Pembatalan penyelidikan ini, lanjut Mendag Agus, membuka peluang untuk terus mendorong ekspor HRSS ke Uni Eropa.
“Kami akan mendorong industri Indonesia untuk memanfaatkan pembatalan ini dengan cara meningkatkan kinerja ekspor produk HRSS ke Uni Eropa serta secara proaktif menjaga akses ekspornya,” kata Mendag Agus.
Baca juga: Krakatau Steel ekspor pipa baja Ke Australia
HRSS merupakan produk baja yang dihasilkan dari penggilingan baja nirkarat dalam keadaan panas. Ekspor produk HRSS Indonesia ke Uni Eropa dimulai pada 2018 dengan nilai 99,3 juta dolar AS. Pada 2019, nilai ekspornya meningkat menjadi 100,5 juta dolar AS.
Pada Oktober 2019, Pemerintah Uni Eropa secara resmi memulai penyelidikan antisubsidi terhadap produk HRSS asal Indonesia berdasarkan permohonan EUROFER.
Uni Eropa menuduh Pemerintah Indonesia memberikan insentif atau bantuan finansial bagi produsen melalui serangkaian kebijakan larangan atau pembatasan ekspor bahan baku mineral, yaitu bijih nikel, batu bara, dan scrap logam, sehingga menekan harga bahan baku tersebut di Indonesia.
Baca juga: KS: Industri baja kembali bergeliat seiring pemulihan ekonomi
Uni Eropa juga menduga adanya dukungan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) terhadap pembangunan kawasan industri di Morowali serta industri mineral dan logam di lokasi tersebut melalui kerja sama ekonomi bilateral Indonesia-RRT. Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Didi Sumedi menegaskan, Kemendag pun telah membantah tuduhan Uni Eropa tersebut.
“Kami menilai semua tuduhan Uni Eropa tidak berdasar sejak awal penyelidikan. Kemendag didukung kementerian dan lembaga terkait melakukan pembelaan terhadap kebijakan yang diklaim Uni Eropa sebagai subsidi,” terang Didi.
Uni Eropa menganggap kebijakan RI melarang ekspor bijih nikel kadar 1,7 persen ke atas menguntungkan industri stainless steel Indonesia yang mempergunakannya sebagai bahan baku.
Baca juga: Dihantam pandemi, Kemenperin perkuat daya saing industri baja
Didi menyatakan ketentuan tersebut tidak secara khusus diarahkan untuk menguntungkan industri stainless steel.
“Ketentuan tersebut secara jelas dimaksudkan untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya mineral Indonesia yang berkelanjutan mengingat sifat bahan bakunya yang tidak dapat diperbaharui, dan untuk mendorong pertumbuhan investasi industri yang bernilai tambah di Indonesia,” ujar Didi.
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020
Tags: