Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari menyebut revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi merupakan tindak lanjut dari sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi.

"Perlu saya sampaikan RUU MK yang terakhir ini yang telah menjadi undang-undang dan sudah disahkan itu merupakan RUU kumulatif terbuka di dalam prolegnas, yaitu RUU yang ada karena akibat dari putusan MK," ujar Taufik Basari dalam diskusi kelompok terfokus daring di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, meski Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi hanya soal usia pensiun hakim konstitusi dan panitera, pergantian periodisasi hakim konstitusi, syarat usia hakim konstitusi, dan penghapusan pasal. Hal itu merupakan tindak lanjut dari putusan MK.

Putusan tersebut di antaranya Putusan MK Nomor 48/PUU-IX/2011, Nomor 49/PUU-IX/2011, Nomor 34/PUU-X/2012 dan Nomor 7/PUU-XI/2013.

Baca juga: Penghargaan untuk hakim MK disinggung dalam sidang UU Cipta Kerja

Taufik Basari menyebut naskah akademik dari revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi pun membahas tindak lanjut putusan yang terkait UU MK.

Dalam kesempatan itu, dia menegaskan bahwa revisi itu bukan sebuah upaya untuk melemahkan Mahkamah Konstitusi seperti yang disebutkan sejumlah pihak.

"Saya yakinkan bahwa tidak ada satu pun hal yang dianggap sebagai suatu upaya untuk melemahkan Mahkamah Konstitusi, justru ini adalah memperkuat karena ini adalah tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi," tutur Taufik Basari.

Adapun revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi itu hingga kini telah dimohonkan untuk diuji secara formal maupun materi oleh sejumlah pihak.

Untuk perkara formal, pembahasan RUU itu dinilai tergesa-gesa dan tidak disertai naskah akademik yang baik.

Sementara itu, untuk perkara materi, sebagian besar mempersoalkan pasal yang memuat perubahan syarat usia, usia pensiun, serta periodisasi hakim konstitusi.

Baca juga: Advokat gugat revisi UU MK karena ingin jadi hakim konstitusi