Bengkalis (ANTARA News) - Hewan tambun itu terlihat begitu tak berdaya. Sambil terbaring lemas dengan posisi menyamping beralaskan tanah yang ditumbuhi rerumputan kecil, terlihat napasnya tersengal-sengal.

Di kedua matanya terlihat air bening yang menetes hingga menyentuh tanah setelah melintasi belalainya yang panjang.

Pada salah satu bagian telinga lebarnya terlihat jarum suntik infus disertai dengan selang melekat erat menusuk hingga masuk ke dalam daging melewati kulitnya yang tebal.

Entah apa yang dirasakan anak gajah itu, mungkin dia menahan rasa sakit yang diderita akibat luka infeksi di pangkal paha sebelah kiri, sebab pada luka di pangkal pahanya itu telihat menganga.

Atau mungkin juga sedih karena ditinggalkan ayah dan ibunya serta kawanan gajah lain karena merasa keberadaannya semakin terancam manusia.

Sekelompok manusia mengelilingi gajah yang terbaring tak berdaya itu. Ada rasa haru di raut wajah mereka yang menyaksikan bayi gajah di Pusat Konservasi Gajah (PKG) Minas, Kabupaten Siak, Riau itu.

Namun penderitaan yang dirasakan anak gajah berumur setahun itu hanya bertahan beberapa jam saja, sebab ia akhirnya mati di pusat konservasi.

Anak gajah betina itu ditemukan warga di tengah perkebunan kelapa sawit di Kelurahan Pematang Pudu, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau, pada Selasa, (30/3) dini hari setelah ia terpisah dari kelompoknya.

Muslino, pegawai Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau mengatakan anak gajah dibawa dengan mobil bak terbuka dari Mandau ke pusat konservasi dengan menempuh perjalanan sekitar tiga jam.

Bayi gajah tersebut berasal dari kawasan Suaka Marga Satwa Balai Raja, yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Bengkalis, Riau, dan merupakan habitat gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus).

Potret bayi gajah yang mati di pusat konservasi itu merupakan salah satu potret kecil dari sekian banyak kasus gajah yang ditemukan mati di daerah perlintasan gajah yang merupakan bagian dari kawasan Suaka Marga Satwa Balai Raja.

Sebab kawasan Suaka Margasatwa Balai Raja yang pada awal tahun 1990-an ditetapkan sebagai areal dengan luas 16.000 hektar sebagai kawasan konservasi gajah itu kini telah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit dan pemukiman penduduk.

Padahal kawanan gajah-gajah itu di Bengkalis itu memiliki rute lintasan yang tetap yang dilewati setiap tahun untuk mencari makanan sesuai dengan pergantian musim sepanjang tahun dan terus berulang pada setiap tahunnya.

Ketika musim penghujan tiba pada, maka kawanan gajah itu akan berpindah mencari daerah yang lebih kering seperti perkebunan kelapa sawit dan karet karena mereka tidak menyukai habitat yang berair seperti kawasan gambut.

Walhasil hampir setiap bulan terjadi konflik antara gajah dan manusia di Bengkalis dan terjadi hampir pada setiap desa yang mereka lintasi seperti di Desa Petani dan Kelurahan Pematang Pudu di Kecamatan Mandau.

Konflik pun terjadi dan sedikitnya pada periode Januari hingga menjelang April 2010, sedikitnya tiga warga telah menjadi korban amukan hewan itu dengan mengalami luka ringan hingga serius seperti patah tulang.

Di pihak gajah pun jatuh korban dan tercatat selain bayi gajah yang mati di pusat konservasi itu, sebelumnya warga Desa Petani juga menemukan bangkai gajah dalam kondisi membusuk di lahan perkebunan karet milik warga setelah sebelumnya.

World Wildlife Fund (WWF) menyatakan lemahnya upaya penegakan hukum terhadap kasus-kasus kematian gajah baik karena konflik atau perburuan diyakini telah menjadi salah satu faktor penyebab terus terjadinya kematian gajah di Riau.

Dalam 10 tahun terakhir praktis kasus "pembunuhan" gajah di Riau baik karena konflik maupun perburuan belum mampu disentuh pengadilan, meski instansi terkait menyatakan terus melakukan proses penegakkan hukum terhadap mereka yang menjadi tersangka.

"Catatan kami menyebutkan dalam sepuluh tahun terakhir belum ada kasus kematian gajah yang tersentuh pengadilan, kecuali pada Agustus 2005 di Kabupaten Rokan Hulu," ujar Humas WWF Riau, Syamsidar.

Menurutnya, satu dari empat pemburu gajah yang masih hidup dan divonis 13,5 tahun penjara itu lebih disebabkan karena bukan saja melakukan perburuan satwa dilindung tetapi turut serta melakukan upaya melawan petugas kepolisian dan kepemilikan senjata api.

Padahal dalam empat tahun terakhir mulai dari tahun 2006 hingga Maret 2010 tercatat sebanyak 48 ekor gajah Sumatera ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa, baik berwujud bangkai atau tulang belulang hingga mati dalam kondisi yang utuh dan 15 orang warga yang meninggal.

Tahun 2006 ditemukan 24 ekor gajah mati dan 6 orang meninggal, kemudian pada 2007 terdapat 4 ekor dengan 3 orang meninggal, pada 2008 ada 7 ekor dengan 4 orang tewas, pada 2009 sebanyak 9 ekor dan 2 orang meninggal serta hingga Maret 2010 ditemukan 4 ekor gajah yang mati.

"Konflik gajah dan manusia di Riau khususnya di Bengkalis akan terus terjadi, dan dipastikan korban akan terus bertambah selagi tidak ada lokasi khusus yang disiapkan untuk menampungan kawanan gajah-gajah itu," jelas Syamsidar.

Kepala BKSDA Riau, Trisnu Danisworo, mengaku pihaknya cukup kesulitan untuk menghalau kawanan gajah di Bengkalis dan hanya mengandalkan tim gajah jinak guna mengusir gajah dari perkampungan warga dan menghindari jatuhnya korban kedua belah pihak.

"Satu-satunya cara adalah mengembalikan kawasan Suaka Margasatwa Balai Raja, karena jika merelokasi gajah liar itu akan menimbulkan masalah baru sebab mereka butuh waktu beradaptasi di habitat yang baru dan membutuhkan biaya yang besar," ujarnya.

Namun yang pasti populasi kawanan gajah liar di Bengkalis itu kian terus berkurang akibat konflik dan kini jumlahnya diperkirakan hanya tinggal sekitar 45 ekor.

Jika mengembalikan kawasan Suaka Margasatwa Balai Raja tidak mungkin dilakukan karena kepentingan manusia, maka kita hanya menunggu waktu kepunahannya karena hingga kini konflik pun terus terjadi.
(T.M046/T010/P003)