WHO setujui vaksin polio buatan Bio Farma untuk penggunaan darurat
14 November 2020 16:20 WIB
Petugas kesehatan memberikan vaksin polio dan campak kepada anak balita saat imunisasi di Pos Yandu Harapan Ibu, Kampong Laksana, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh, Aceh, Rabu (4/11/2020). ANTARA FOTO/Ampelsa.
Jakarta (ANTARA) - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Jumat (13/11) mengeluarkan izin penggunaan darurat untuk vaksin polio nOPV2 yang salah satunya diproduksi oleh PT Bio Farma (Persero), badan usaha milik negara di Indonesia.
"WHO pada hari ini memasukkan vaksin nOPV2 (Bio Farma, Indonesia) dalam daftar penggunaan darurat demi menghadapi tingginya kasus positif polio di sejumlah negara-negara Afrika dan Mediterania Timur. Wilayah Pasifik bagian barat dan Asia Tenggara juga terdampak oleh wabah ini," kata WHO lewat siaran tertulisnya, Jumat, sebagaimana diterima di Jakarta, Sabtu.
Untuk pertama kalinya, WHO menerbitkan izin penggunaan darurat (EUL) untuk vaksin. Oleh karena itu, WHO berharap langkah tersebut juga dapat diterapkan pada calon vaksin COVID-19.
Vaksin nOPV2 merupakan anti virus polio jenis baru (cVDPVs) yang dikembangkan oleh jaringan kerja sama global lintas lembaga dan ahli dari berbagai negara, Inisiatif Global untuk Menghapus Polio (GPEI).
Jaringan kerja sama itu diikuti oleh Bio Farma, BUMN yang memproduksi vaksin di Indonesia; University of Antwerp di Belgia; organisasi non pemerintah Lawan Penyakit Menular di Negara Berkembang (FIDEC); Institut Nasional untuk Standar Biologi dan Kontrol (NIBSC) di Inggris; University of California San Francisco (UCSF), Amerika Serikat; Pusat Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit (CDC), AS; dan berbagai lembaga swadaya lainnya seperti PATH dan Bill & Melinda Gates Foundation. Dalam waktu 30 tahun terakhir, upaya penghapusan kasus polio telah mencapai 99,9 persen. Namun, usaha itu belum dapat mencapai akhir karena virus polio cVDPVs masih kerap tersebar di populasi yang jarang mendapatkan akses imunisasi.
"Jika banyak anak-anak yang tidak mendapatkan imunisasi polio, virus dapat diturunkan antarindividu dan antargenerasi sehingga virus itu membentuk jenis baru yang dapat menyebabkan kelumpuhan. Virus cVDPVs tipe dua merupakan jenis yang cukup banyak ditemui saat ini," terang WHO.
WHO memperkenalkan prosedur pengajuan izin penggunaan darurat (EUL) saat Ebola mewabah di Afrika Barat pada 2014-2016. Setidaknya ada tiga tahapan utama yang harus dilalui kandidat vaksin untuk mendapatkan izin penggunaan darurat.
Tahapan itu mencakup fase persiapan, fase darurat, dan fase setelah masuk daftar izin penggunaan darurat. WHO akan mengundang tim ahli independen untuk memeriksa kandidat vaksin dan berbagai data uji klinis tahap II dan III yang tersedia, serta menyusun sistem pengawasan dan merancang penelitian lebih lanjut.
Baca juga: Trump prediksi vaksin COVID-19 akan tersedia secara luas pada April
Baca juga: COVAX kumpulkan Rp28 triliun untuk vaksin COVID-19 di negara miskin
"WHO pada hari ini memasukkan vaksin nOPV2 (Bio Farma, Indonesia) dalam daftar penggunaan darurat demi menghadapi tingginya kasus positif polio di sejumlah negara-negara Afrika dan Mediterania Timur. Wilayah Pasifik bagian barat dan Asia Tenggara juga terdampak oleh wabah ini," kata WHO lewat siaran tertulisnya, Jumat, sebagaimana diterima di Jakarta, Sabtu.
Untuk pertama kalinya, WHO menerbitkan izin penggunaan darurat (EUL) untuk vaksin. Oleh karena itu, WHO berharap langkah tersebut juga dapat diterapkan pada calon vaksin COVID-19.
Vaksin nOPV2 merupakan anti virus polio jenis baru (cVDPVs) yang dikembangkan oleh jaringan kerja sama global lintas lembaga dan ahli dari berbagai negara, Inisiatif Global untuk Menghapus Polio (GPEI).
Jaringan kerja sama itu diikuti oleh Bio Farma, BUMN yang memproduksi vaksin di Indonesia; University of Antwerp di Belgia; organisasi non pemerintah Lawan Penyakit Menular di Negara Berkembang (FIDEC); Institut Nasional untuk Standar Biologi dan Kontrol (NIBSC) di Inggris; University of California San Francisco (UCSF), Amerika Serikat; Pusat Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit (CDC), AS; dan berbagai lembaga swadaya lainnya seperti PATH dan Bill & Melinda Gates Foundation. Dalam waktu 30 tahun terakhir, upaya penghapusan kasus polio telah mencapai 99,9 persen. Namun, usaha itu belum dapat mencapai akhir karena virus polio cVDPVs masih kerap tersebar di populasi yang jarang mendapatkan akses imunisasi.
"Jika banyak anak-anak yang tidak mendapatkan imunisasi polio, virus dapat diturunkan antarindividu dan antargenerasi sehingga virus itu membentuk jenis baru yang dapat menyebabkan kelumpuhan. Virus cVDPVs tipe dua merupakan jenis yang cukup banyak ditemui saat ini," terang WHO.
WHO memperkenalkan prosedur pengajuan izin penggunaan darurat (EUL) saat Ebola mewabah di Afrika Barat pada 2014-2016. Setidaknya ada tiga tahapan utama yang harus dilalui kandidat vaksin untuk mendapatkan izin penggunaan darurat.
Tahapan itu mencakup fase persiapan, fase darurat, dan fase setelah masuk daftar izin penggunaan darurat. WHO akan mengundang tim ahli independen untuk memeriksa kandidat vaksin dan berbagai data uji klinis tahap II dan III yang tersedia, serta menyusun sistem pengawasan dan merancang penelitian lebih lanjut.
Baca juga: Trump prediksi vaksin COVID-19 akan tersedia secara luas pada April
Baca juga: COVAX kumpulkan Rp28 triliun untuk vaksin COVID-19 di negara miskin
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2020
Tags: