Jakarta (ANTARA) - Penerapan model bisnis inklusif yakni melibatkan masyarakat, pemerintah dan pihak swasta bisa memberi harapan baru pada sektor pariwisata Indonesia bahkan di tengah pandemi COVID-19 yang melanda dunia.
Proyek Inovasi dan Investasi untuk Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan yang inklusif (ISED) pada pelaku usaha kecil dan menengah di dua desa sejak Juli 2017 hingga Juni 2021 yakni Bilebante dan Sembalun, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) bisa menjadi salah satu contohnya.
"Rekan-rekan penerima manfaat dari desa wisata di Bilebante dan Sembalun dibantu untuk dapat ditingkatkan kapasitasnya dalam menjalankan usaha secara inklusif yang ditunjukan dari berbagai keterlibatan anggota masyarakat desa yang berujung peningkatan pendapatan dan peluang kerja bagi masyarakat desa," kata Plt. Deputi Bidang Ekonomi KemenPPN/Bappenas, Amalia Widyasanti dalam ISED Dialogue Forum 2020 secara virtual, Senin.
Baca juga: Ini tips agar tetap aman saat wisata di tengah pandemi COVID-19
Baca juga: Minat staycation meningkat jelang cuti bersama
Wujud nyata proyek ini antara lain pengembangan wisata kebugaran di Desa Bilebante, Lombok Tengah bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Martha Tilaar Group, lalu peningkatan potensi kuliner lokal oleh Kementerian Desa PDTT.
Sementara di Desa Sembalun, Lombok Timur, dilakukan pengembangan potensi kopi lokal dan praktik pertanian kopi yang baik oleh Kementerian Desa PDTT bersama Anomali Coffee Group.
Dalam kesempatan itu, Deputi Bidang Produksi dan Pemasaran, Kementerian Koperasi dan UKM, Victoria br. Simanungkalit berpendapat, pemilihan model bisnis inklusif pada dua desa di Lombok ini bersifat berkelanjutan untuk menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dan memberikan keuntungan pada masyarakat yang sifatnya bukan sementara.
Dari sisi program, ada paket-paket pemberdayakan yang dimasukkan misalnya seperti yang dilakukan pihak Panorama Group dalam bentuk pemberian edukasi pada masyarakat lokal menciptakan paket wisata yang menarik dan berbasis alam atau pelatihan terapis untuk mendukung pariwisata oleh Martha Tilaar Group.
Peneliti sekaligus Guru Besar Ilmu Hukum dari Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, Prof. Ida Bagus Rahmadi Supancana menilai positif proyek ISED bahkan di masa pandemi COVID-19 saat ini.
“Saya melihat ini momentum tepat untuk mempersiapkan SDM yang kompeten agar match dengan kebutuhan industri dan membantu mempersiapkan diri menghadapi situasi normal baru yang kemudian menjadi fenomena ke depan,” kata dia.
Sebagai bentuk dukungan, pemerintah, menurut Ida Bagus, perlu menciptakan kebijakan yang secara eksplisit mengadopsi model bisnis inklusif dengan segala keunggulannya dan pemberian insentif bagi pelaku usaha yang menunjukkan kepedulian pada masyarakat. Insentif ini bisa dalam bentuk pajak, kemudahan perizinan dan akses pendanaan.
Baca juga: Lokasi idaman "staycation": Bandung, Bali dan Yogyakarta
Baca juga: Sekjen pastikan "travel corridor" ASEAN segera terwujud
Pengalaman kolaborasi di Lombok
Martha Tilaar Group menjadi salah satu pelaku usaha yang ikut andil dalam proyek ISED kali ini. Mereka memberdayakan para perempuan di Desa Bilebante melalui keterampilan memijat atau massage, karena ini bisa menjadi bagian dari atraksi wisata di sana.
Corporate Communication Martha Tilaar Group, Palupi Candra menuturkan, keterampilan memijat yang diajarkan antara lain mencakup teknik massage yang benar, pengenalan fisiologi dan anatomi tubuh serta pemahaman tentang hospitality.
"Belum banyak yang paham, tetapi teknik massage itu ada ilmunya, harus ada pengetahuan dasar mengenai anatomi dan fisiologi tubuh. Massage tidak sembarang pijit, ada alur otot yang harus mereka sentuh," tutur dia.
"Teman-teman (di desa) sangat antusias. massage tidak sembarang pijit, ada alur otot yag harus mereka sentuh, antuasiame semakin kuat mengingat ini jadi potensi desa wisata," imbuh Palupi.
Tak hanya soal massage, warga desa juga menerima edukasi cara memanfaatkan lahan-lahan kosong menjadi kebun herbal yang nantinya bisa menambah penghasilan keluarga sekaligus meningkatkan kreativitas mereka menciptakan produk dari tanaman herbal yang ditanam.
Di masa pandemi COVID-19, kebun herbal ini bisa juga menjadi daya tarik dengan produk berupa minuman kesehatan yang bisa menambah sistem imun tubuh.
Sementara itu, di Desa Sembalun pemberdayaan dilakukan menyasar potensi hasil alam di sana yakni kopi. Anomali Group berkesempatan memberikan pemahaman pada warga setempat membudidayakan kopi dan siap menjadi pembeli jika produksi sesuai standar perusahaan.
Perwakilan dari Anomali Coffee Shop, Ryo Limijaya mengatakan perusahaan tempatnya bekerja siap terus memberikan umpan balik jika nantinya belum memenuhi standar.
Selain budidaya, mereka juga memberikan pelatihan khusus termasuk mengundang warga desa terpilih ke Jakarta untuk belajar menjalankan bisnis coffee shop atau menjadi trainer yang bisa menularkan ilmunya pada rekan mereka di desa berbeda.
“Hasilnya, ada yang buka coffee shop dan berjalan, ada juga yang malah enggak mau membuka coffee shop tetapi menjadi trainner dan terinspirasi memiliki sekolah (pelatihan) ke sekitaran Lombok. Ini story yang luar biasa,” kata Ryo.
Dia mengatakan, di masa pandemi COVID-19, bisnis warung kopi seharusnya bisa tetap berjalan di desa, asalkan pelaku usaha di sana mampu memahami siapa pembeli lokal, bagaimana agar orang-orang yang wilayah tinggalnya dekat dengan lokasi usaha bisa membeli produk dan tentu saja di masa dunia menjadi tanpa batas seperti saat ini, digitalisasi usaha tak bisa dikesampingkan. Berjualan memanfaatkan platform digital juga perlu dilakukan.
Baca juga: Kunci pemulihan pariwisata Tanah Air
Baca juga: Prediksi tujuan wisata domestik yang diminati pada akhir tahun
Artikel
Harapan baru pariwisata Indonesia dari model bisnis inklusif
Oleh Lia Wanadriani Santosa
9 November 2020 16:20 WIB
Puluhan kapal tradisional bersandar di Pantai Kuta Mandalika, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Selasa (3/12/2019). ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/aww.
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2020
Tags: