Jakarta (ANTARA News) - Kejar, tendang, seret, tangkap, gebuk, tebas....

Rentetan kejadian itu berujung, tiga petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) meregang nyawa, dan 134 orang luka-luka.

Satpol PP terlibat bentrok dengan warga Tanjung Priok saat berupaya mengambil alih lahan di sekitar kawasan Kompleks Makam Priok di Koja, Jakarta Utara, Rabu.

Eksekusi lahan sekitar makam tokoh Muslim Al Arif Billah Hasan bin Muhammad Al Haddad atau dikenal sebagai Mbah Priok, berubah menjadi kerusuhan berdarah, karena massa dan Satpol PP tersulut emosi, yang berlanjut saling lempar batu dan baku hantam.

Dengan embel-embel imbauan "jangan meniru adegan ini", sebuah stasiun televisi swasta menayangkan gambar seorang anggota Satpol PP terlentang di jalan raya "rame-rame" dipukul, ditendang, dilempar bahkan dirajam batu massa.

Dalam bagian tayangan berbeda, sejumlah petugas satpol PP menendang dan mengeroyok seorang warga. Di antara anggota satpol PP itu ada yang tertangkap kamera sedang memukul warga sambil mengisap sebatang rokok.

Dari gambar pewarta foto, tampak seorang bocah berusia belasan tahun yang terlibat aksi lempar ke petugas, akhirnya ditangkap, diseret dan dijadikan "bulan-bulanan" petugas. Sekujur tubuh bocah itu bersimbah darah.

Massa berusaha menggulingkan kendaraan water canon milik polisi saat pecah bentrokan dengan Satpol PP. Warga juga membakar sedikitnya 46 unit kendaraan milik Satpol PP dan Polri termasuk truk dan kendaraan berat.

Korban tewas insiden Priok mencapai tiga orang anggota Satpol PP yakni M. Soepono, bertempat tinggal di Kelurahan Tugu, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, Israel Jaya bertempat tinggal di Jatibening, Pondok Gede, Bekasi dan Ahmad Tadjudin yang beralamatkan Kelurahan Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Korban luka-luka, polisi sebanyak 10 orang, Satpol PP (69 orang) dan warga (55 orang).

Insiden ini membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa prihatin. Presiden meminta agar rencana penertiban kawasan makam itu dihentikan.

"Saya minta status quo," kata Yudhoyono, dalam jumpa pers menjelang tengah malam. "Pilih cara atau pendekatan yang baik dalam melakukan penertiban meskipun secara hukum benar," katanya menegaskan.

Insiden Priok yang mengakibatkan korban jiwa, luka-luka dan miliaran rupiah itu mengerucut kepada pertanyaan apakah bentrok itu cermin dari masyarakat yang memilih kredo kekerasan hanya bisa diselesaikan dengan kekerasan?

Jawabnya, kekerasan bagaikan penyakit menular, demikian ahli filsafat Gabriel Possenti Sindhunata SJ. "Setiap orang yang terlibat dalam kekerasan, ingin melampiaskan kekerasannya kepada orang lain," katanya.

Kekerasan adalah bumerang. Kekerasan balik mengejar, menendang, menyeret, menangkap, menggebuk dan menebas lawan yang melepaskannya atau melawannya.

Menurut Sindhunata, dilawan atau tidak dilawan bahkan dibiarkan, akhirnya kekerasan sendiri yang senantiasa keluar sebagai pemenang.

Kekerasan diibaratkan sebagai si jago merah, dipadamkan dengan guyuran air malah menyala besar bahkan melalap bagian bangunan lain, atau meminta korban jiwa.

Kekerasan bagaikan wabah, tidak diketahui dari mana datangnya, tapi tiba-tiba dan serta merta menyambangi dan menghantam manusia.

Kejadian Priok sungguh menyesakkan. "Bagaimana mungkin bangsa yang konon diagung-agungkan sebagai bangsa halus budi pekertinya dapat mengejar, menendang, menyeret, menangkap, menggebuk, merajam dan menebas sesama sambil menyunggingkan senyum, atau seraya menghisap sebatang rokok?"

"Saya sampaikan belasungkawa atas peristiwa ini," kata Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo. Sementara itu, Kepala Satpol PP Harianto Badjoeri mengatakan, "Pasti ada sanksi bagi yang melakukan penyerangan terlebih dahulu."

Meskipun demikian, ia menyebut dengan menggunakan kalimat kondisional, jika ada petugas Satpol PP yang terbakar emosi kemudian balik menyerang, tindakan itu merupakan hal wajar.

"Itu adalah dinamika di lapangan, toh kita diserang duluan. Itu manusiawi," katanya.

Dalam insiden Priok, petugas Satpol PP tidak membawa senjata dan membawa tameng ketika melakukan penertiban sementara warga yang mencoba mempertahankan bangunan liar di sekitar makam Mbah Priok telah menyiapkan batu, clurit, golok, dan pedang samurai.

Kepolisian Daerah Polda Metro Jaya merespons dengan mengerahkan sekitar 600 personil untuk mengamankan Koja, Tanjung Priok. Ratusan personil polisi itu berasal dari Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Utara dan Polres Metro Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan (KPPP) Tanjung Priok, kata Kepala Bidang (Kabid) Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Boy Rafli Amar saat dikonfirmasi melalui telepon selular di Jakarta, Kamis.

Semua sepakat kejadian Priok dapat dikategori sebagai tragedi kemanusiaan mengenaskan. Kejadian itu juga meneguhkan bahwa institusi kemasyarakatan sedang gonjang-ganjing karena ulah aparat dan warga yang brutal. Mereka lebih suka memakai bahasa kekerasan, yang berujung jatuhnya korban jiwa.

Insiden Priok sama dan sebangun dengan bahasa tragedi karena kental dengan kekerasan. Kekerasan selalu berbalas kekerasan, padu dalam istilah betawi, "Ente jual, ane beli".
(A024/B010)