Artikel
Kelola keuangan yang berkurang akibat COVID-19
Oleh Afut Syafril Nursyirwan
7 November 2020 23:06 WIB
Pengunjung melakukan transaksi pembayaran di salah satu toko Qini Mart yang dikelola pondok pesantren Idrisiyyah di Pegeundingan, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Kamis (30-7-2020). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/agr/nz.
Jakarta (ANTARA) - COVID-19 merupakan ancaman bagi kehidupan, kesehatan menjadi pertaruhan utama. Pertarungan antara virus dan manusia masih berlanjut hingga saat ini, tentu saja menyerah bukanlah pilihan.
Kesehatan menjadi sorotan utama, sektor ini paling terpukul pertama kali.
Efek domino dari pandemi mulai memberikan abrasi pada berbagai sisi, di antaranya adalah sektor ekonomi. Dalam sektor ekonomi menilik subsektor, secara individu pengaturan keuangan merupakan hal paling bijak untuk meredam erosi yang terus mengikis perekonomian.
Apabila tidak bisa mendapatkan tambahan pendapatan penghasilan, efisiensi dan menajemen pengaturan kuangan pribadi dalam konsumsi sehari-hari adalah hal logis untuk dilakukan. Pemotongan penghasilan terjadi di mana-mana layaknya lumut pada musim hujan, dan cukup membuat tersudut bagi individu yang terbiasa dengan sistem upah.
Hal tersebut didukung dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat bahwa rata-rata upah buruh pada bulan Agustus 2020 telah turun 5,18 persen dibanding tahun sebelumnya. Selain itu, tingkat pengangguran di Indonesia juga menyentuh 9,77 juta atau naik 2,67 juta dari Agustus 2019.
Disebutkan pula dalam Berita Resmi Statistik BPS terbaru bahwa, dari total penduduk usia kerja yang berjumlah 203,97 juta orang, 14,28 persen di antaranya atau 29,12 juta orang terdampak COVID-19.
COVID-19 menjadi aktor utama dalam menyebabkan tekanan pada perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi pada Kuartal III 2020 dinyatakan -3,49 persen dari Kuartal III 2019. Meski demikian, jika dilihat secara per kuartal, ekonomi Indonesia tumbuh 5,05 persen dari Kuartal II 2020 ke Kuartal III 2020.
Bukan rahasia lagi bahwa ketika berbagai sektor industri mengalami tekanan. Maka, para pekerja rentan mengalami risiko berkurangnya penghasilan bulanan hingga pemutusan hubungan kerja.
Untuk itu, Financial Educator Aulia Akbar CFP® memberikan beberapa arahan di mana pemotongan upah bukan akhir yang buruk dari skenario pandemi jika pandai mengelola.
Akbar yang juga menjadi periset dari Lifepal.co.id membagikan serangkaian ide dalam mengelola keungan agar dapat bertahan pada masa pendemi.
Pertama adalah jangan sembarangan mengurangi pengeluaran, khawatir mengeluarkan uang dalam jumlah besar itu wajar karena pemasukan bulanan juga sedang berkurang. Di samping itu, muncul pula kekhawatiran lain yaitu hilangnya pekerjaan karena perusahaan tempat bekerja ingin melakukan penekanan biaya operasional.
Secara garis besar pengeluaran pun dibagi menjadi tiga, yaitu pengeluaran yang bersifat wajib dibayar, pengeluaran yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan pengeluaran yang bersifat keinginan. Berhemat tentu menjadi solusi, namun tidak bisa asal dalam mengurangi pengeluaran.
"Jika Anda harus mengurangi pengeluaran, kurangilah pengeluaran yang bersifat keinginan seperti belanja barang branded, belanja barang-barang hobi, dan kegiatan konsumtif lain yang berhubungan dengan gaya hidup," kata Akbar kepada ANTARA.
Mengurangi bukan berarti menghilangkan. Alokasikan saja 10 hingga 15 persen dari pemasukan bulanan untuk kegiatan yang bersifat hiburan atau keinginan, dan prioritaskan pengeluaran untuk memenuhi hal-hal wajib, seperti bayar pajak dan utang, serta kebutuhan sehari-hari.
Anjuran kedua adalah mengurangi pengeluaran yang bersifat "wajib dan butuh" walaupun cukup berisiko.
Pengeluaran yang bersifat wajib bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu pembayaran pajak dan utang. Tidaklah mungkin mengurangi pengeluaran yang satu ini dengan alasan "berhemat" karena dengan menunda pembayaran utang atau pajak bisa terkena sanksi atau denda dari Pemerintah maupun dari pemberi kredit.
Bila memang pembayaran utang menjadi sangat berat akibat berkurangnya pendapatan, lakukanlah restrukturisasi dengan meminta perpanjangan tenor agar cicilan menjadi lebih rendah.
Sementara itu, pengeluaran yang bersifat kebutuhan adalah pengeluaran untuk kebutuhan pokok, baik itu sandang, pangan, maupun papan. Mengurangi pengeluaran ini tentu akan berdampak serius pada tingkat standar dan kualitas hidup saat ini.
Tips ketiga, bila ada uang tunai yang besar, lunasi utang-utang konsumtif
Seperti yang dijelaskan di atas, cicilan utang tentu akan menjadi bagian dari pengeluaran wajib. Bila memiliki tabungan atau kas dan setara kas yang besarannya di atas 20 persen dari kekayaan bersih (total aset - total utang), lunasi saja utang tertunggak yang bersifat konsumtif, seperti utang kartu kredit, payday loan di pinjaman online, dan, utang konsumtif jangka pendek lainnya.
Beberapa jenis utang konsumtif adalah utang kartu kredit, kredit tanpa agunan (KTA), kredit kendaraan bermotor, dan lainnya. Kerugian memiliki utang konsumtif adalah utang tersebut hanya akan menggerus kekayaan bersih pada masa yang akan datang, lain halnya jika berutang untuk membeli aset atau bisnis (produktif).
Keempat adalah waspadai pembengkakan di beberapa pengeluaran. Apabila saat ini lebih sering bekerja di rumah, memang bisa menghemat pengeluaran transportasi dan makan di luar. Namun, potensi pembengkakan di operasional sehari-hari tentunya ada, yakni di tagihan listrik, kuota internet maupun pulsa.
Baik pulsa, kuota internet, maupun tagihan listrik sifatnya adalah pengeluaran yang besifat tidak tetap. Waspadailah pembengkakan pengeluaran tersebut, ada baiknya pula untuk langsung menentukan besaran untuk dua pengeluaran tersebut di awal bulan.
Kelima, bagi pencari nafkah, jangan surrender polis asuransi jiwa demi berhemat. Proteksi keuangan justru menjadi hal yang harus dimiliki pada masa pandemi ini. Demi mendapatkan manfaat perlindungan dari asuransi, pemegang polis harus membayar premi atau iuran ke perusahaan asuransi.
Iuran tersebut akan menjadi beban keuangan yang harus ditanggung setiap bulannya. Dengan berkurangnya pendapatan per bulan, besar kemungkinan iuran premi asuransi akan menjadi terasa berat.
"Jika memang dirasa, premi asuransi jiwa yang Anda bayar per bulan terlalu, menurunkan uang pertanggungan (UP) untuk sementara waktu bisa menjadi solusi dengan catatan, perusahaan asuransi memiliki kebijakan ini. Atau bisa juga dengan melakukan cuti pembayaran premi hingga waktu yang ditetapkan,” ujarnya.
Besaran pembayaran premi yang ideal adalah maksimal 10 persen dari penghasilan bulanan.
Patut diingat bahwa tanpa asuransi jiwa pencari nafkah tidak akan bisa memitigasi risiko hilangnya pendapatan karena meninggal dunia atau cacat tetap total. Oleh karena itulah, satu-satunya proteksi keuangan dari musibah ini adalah asuransi jiwa.
Anjuran nomor enam, arus kas bersih bulanan tetap setara dengan 10 persen pemasukan. Sangat penting diketahui untuk menjaga arus kas bulanan tetap sehat. Nilai arus kas bersih didapat dari hasil pengurangan total pemasukan dan pengeluaran bulanan.
Usahakan agar hasil pengurangan antara pemasukan dan pengeluaran setara dengan 10 persen pemasukan. Dana sebesar 10 persen pengeluaran bisa dimanfaatkan untuk menabung dana darurat.
Saran yang terakhir mengenai kelola keuangan adalah, kembali berinvestasi jika dana darurat dan proteksi sudah terpenuhi. Investasi untuk jangka pendek, menengah, dan panjang tentu saja perlu dilakukan.
Namun, alangkah baiknya untuk memprioritaskan kesehatan cash flow terlebih dahulu, menyediakan dana darurat, dan proteksi sudah terpenuhi. Pahamilah profil risiko investasi terlebih dahulu, dan tujuan finansial sebelum memilih instrumen investasinya.
Tidak hanya secara individual, negara pun mengalami goncangan telak di sektor kelola keuangan. Namun, Pemerintah juga berupaya melakukan pengelolaan yang tepat dengan berbagai perhitungan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfriman menyatakan belanja pemerintah, yang meningkat tinggi, menjadi motor penggerak ekonomi di tengah krisis pandemi COVID-19.
"Motor penggerak perekonomian saat ini adalah dari belanja pemerintah," katanya.
Luky mengatakan hal itu terjadi karena sektor penggerak ekonomi lainnya mengalami pukulan sangat berat dari dampak pandemi seperti konsumsi rumah tangga, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi, ekspor, dan impor.
Ia menjelaskan konsumsi pemerintah melambung tinggi karena direalisasikan melalui berbagai bantuan dan insentif yang diberikan kepada masyarakat terdampak pandemi. Dengan adanya kemampuan pengelolaan negara dalam hal keungan juga bantuan kepada masyarakat, sinergi dengan kemampuan pengelolaan mandiri yang baik diharapkan mampu menjadi pendongkrak perekonomian dikala pandemi masih melanda.
Satu demi satu individu, akan menjadi rentetan pengerek rantai perekonomian apabila efisiensi keuangan dapat dicapai. Berlalunya pandemi hanya soal waktu namun kesejahteraan bukan lagi menjadi ancaman.
Baca juga: LPS harapkan nasabah di Bali percaya bank selama pandemi COVID-19
Baca juga: Presdir MNC Bank sebut perbankan digital kunci capai inklusi keuangan
Kesehatan menjadi sorotan utama, sektor ini paling terpukul pertama kali.
Efek domino dari pandemi mulai memberikan abrasi pada berbagai sisi, di antaranya adalah sektor ekonomi. Dalam sektor ekonomi menilik subsektor, secara individu pengaturan keuangan merupakan hal paling bijak untuk meredam erosi yang terus mengikis perekonomian.
Apabila tidak bisa mendapatkan tambahan pendapatan penghasilan, efisiensi dan menajemen pengaturan kuangan pribadi dalam konsumsi sehari-hari adalah hal logis untuk dilakukan. Pemotongan penghasilan terjadi di mana-mana layaknya lumut pada musim hujan, dan cukup membuat tersudut bagi individu yang terbiasa dengan sistem upah.
Hal tersebut didukung dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat bahwa rata-rata upah buruh pada bulan Agustus 2020 telah turun 5,18 persen dibanding tahun sebelumnya. Selain itu, tingkat pengangguran di Indonesia juga menyentuh 9,77 juta atau naik 2,67 juta dari Agustus 2019.
Disebutkan pula dalam Berita Resmi Statistik BPS terbaru bahwa, dari total penduduk usia kerja yang berjumlah 203,97 juta orang, 14,28 persen di antaranya atau 29,12 juta orang terdampak COVID-19.
COVID-19 menjadi aktor utama dalam menyebabkan tekanan pada perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi pada Kuartal III 2020 dinyatakan -3,49 persen dari Kuartal III 2019. Meski demikian, jika dilihat secara per kuartal, ekonomi Indonesia tumbuh 5,05 persen dari Kuartal II 2020 ke Kuartal III 2020.
Bukan rahasia lagi bahwa ketika berbagai sektor industri mengalami tekanan. Maka, para pekerja rentan mengalami risiko berkurangnya penghasilan bulanan hingga pemutusan hubungan kerja.
Untuk itu, Financial Educator Aulia Akbar CFP® memberikan beberapa arahan di mana pemotongan upah bukan akhir yang buruk dari skenario pandemi jika pandai mengelola.
Akbar yang juga menjadi periset dari Lifepal.co.id membagikan serangkaian ide dalam mengelola keungan agar dapat bertahan pada masa pendemi.
Pertama adalah jangan sembarangan mengurangi pengeluaran, khawatir mengeluarkan uang dalam jumlah besar itu wajar karena pemasukan bulanan juga sedang berkurang. Di samping itu, muncul pula kekhawatiran lain yaitu hilangnya pekerjaan karena perusahaan tempat bekerja ingin melakukan penekanan biaya operasional.
Secara garis besar pengeluaran pun dibagi menjadi tiga, yaitu pengeluaran yang bersifat wajib dibayar, pengeluaran yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan pengeluaran yang bersifat keinginan. Berhemat tentu menjadi solusi, namun tidak bisa asal dalam mengurangi pengeluaran.
"Jika Anda harus mengurangi pengeluaran, kurangilah pengeluaran yang bersifat keinginan seperti belanja barang branded, belanja barang-barang hobi, dan kegiatan konsumtif lain yang berhubungan dengan gaya hidup," kata Akbar kepada ANTARA.
Mengurangi bukan berarti menghilangkan. Alokasikan saja 10 hingga 15 persen dari pemasukan bulanan untuk kegiatan yang bersifat hiburan atau keinginan, dan prioritaskan pengeluaran untuk memenuhi hal-hal wajib, seperti bayar pajak dan utang, serta kebutuhan sehari-hari.
Anjuran kedua adalah mengurangi pengeluaran yang bersifat "wajib dan butuh" walaupun cukup berisiko.
Pengeluaran yang bersifat wajib bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu pembayaran pajak dan utang. Tidaklah mungkin mengurangi pengeluaran yang satu ini dengan alasan "berhemat" karena dengan menunda pembayaran utang atau pajak bisa terkena sanksi atau denda dari Pemerintah maupun dari pemberi kredit.
Bila memang pembayaran utang menjadi sangat berat akibat berkurangnya pendapatan, lakukanlah restrukturisasi dengan meminta perpanjangan tenor agar cicilan menjadi lebih rendah.
Sementara itu, pengeluaran yang bersifat kebutuhan adalah pengeluaran untuk kebutuhan pokok, baik itu sandang, pangan, maupun papan. Mengurangi pengeluaran ini tentu akan berdampak serius pada tingkat standar dan kualitas hidup saat ini.
Tips ketiga, bila ada uang tunai yang besar, lunasi utang-utang konsumtif
Seperti yang dijelaskan di atas, cicilan utang tentu akan menjadi bagian dari pengeluaran wajib. Bila memiliki tabungan atau kas dan setara kas yang besarannya di atas 20 persen dari kekayaan bersih (total aset - total utang), lunasi saja utang tertunggak yang bersifat konsumtif, seperti utang kartu kredit, payday loan di pinjaman online, dan, utang konsumtif jangka pendek lainnya.
Beberapa jenis utang konsumtif adalah utang kartu kredit, kredit tanpa agunan (KTA), kredit kendaraan bermotor, dan lainnya. Kerugian memiliki utang konsumtif adalah utang tersebut hanya akan menggerus kekayaan bersih pada masa yang akan datang, lain halnya jika berutang untuk membeli aset atau bisnis (produktif).
Keempat adalah waspadai pembengkakan di beberapa pengeluaran. Apabila saat ini lebih sering bekerja di rumah, memang bisa menghemat pengeluaran transportasi dan makan di luar. Namun, potensi pembengkakan di operasional sehari-hari tentunya ada, yakni di tagihan listrik, kuota internet maupun pulsa.
Baik pulsa, kuota internet, maupun tagihan listrik sifatnya adalah pengeluaran yang besifat tidak tetap. Waspadailah pembengkakan pengeluaran tersebut, ada baiknya pula untuk langsung menentukan besaran untuk dua pengeluaran tersebut di awal bulan.
Kelima, bagi pencari nafkah, jangan surrender polis asuransi jiwa demi berhemat. Proteksi keuangan justru menjadi hal yang harus dimiliki pada masa pandemi ini. Demi mendapatkan manfaat perlindungan dari asuransi, pemegang polis harus membayar premi atau iuran ke perusahaan asuransi.
Iuran tersebut akan menjadi beban keuangan yang harus ditanggung setiap bulannya. Dengan berkurangnya pendapatan per bulan, besar kemungkinan iuran premi asuransi akan menjadi terasa berat.
"Jika memang dirasa, premi asuransi jiwa yang Anda bayar per bulan terlalu, menurunkan uang pertanggungan (UP) untuk sementara waktu bisa menjadi solusi dengan catatan, perusahaan asuransi memiliki kebijakan ini. Atau bisa juga dengan melakukan cuti pembayaran premi hingga waktu yang ditetapkan,” ujarnya.
Besaran pembayaran premi yang ideal adalah maksimal 10 persen dari penghasilan bulanan.
Patut diingat bahwa tanpa asuransi jiwa pencari nafkah tidak akan bisa memitigasi risiko hilangnya pendapatan karena meninggal dunia atau cacat tetap total. Oleh karena itulah, satu-satunya proteksi keuangan dari musibah ini adalah asuransi jiwa.
Anjuran nomor enam, arus kas bersih bulanan tetap setara dengan 10 persen pemasukan. Sangat penting diketahui untuk menjaga arus kas bulanan tetap sehat. Nilai arus kas bersih didapat dari hasil pengurangan total pemasukan dan pengeluaran bulanan.
Usahakan agar hasil pengurangan antara pemasukan dan pengeluaran setara dengan 10 persen pemasukan. Dana sebesar 10 persen pengeluaran bisa dimanfaatkan untuk menabung dana darurat.
Saran yang terakhir mengenai kelola keuangan adalah, kembali berinvestasi jika dana darurat dan proteksi sudah terpenuhi. Investasi untuk jangka pendek, menengah, dan panjang tentu saja perlu dilakukan.
Namun, alangkah baiknya untuk memprioritaskan kesehatan cash flow terlebih dahulu, menyediakan dana darurat, dan proteksi sudah terpenuhi. Pahamilah profil risiko investasi terlebih dahulu, dan tujuan finansial sebelum memilih instrumen investasinya.
Tidak hanya secara individual, negara pun mengalami goncangan telak di sektor kelola keuangan. Namun, Pemerintah juga berupaya melakukan pengelolaan yang tepat dengan berbagai perhitungan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfriman menyatakan belanja pemerintah, yang meningkat tinggi, menjadi motor penggerak ekonomi di tengah krisis pandemi COVID-19.
"Motor penggerak perekonomian saat ini adalah dari belanja pemerintah," katanya.
Luky mengatakan hal itu terjadi karena sektor penggerak ekonomi lainnya mengalami pukulan sangat berat dari dampak pandemi seperti konsumsi rumah tangga, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi, ekspor, dan impor.
Ia menjelaskan konsumsi pemerintah melambung tinggi karena direalisasikan melalui berbagai bantuan dan insentif yang diberikan kepada masyarakat terdampak pandemi. Dengan adanya kemampuan pengelolaan negara dalam hal keungan juga bantuan kepada masyarakat, sinergi dengan kemampuan pengelolaan mandiri yang baik diharapkan mampu menjadi pendongkrak perekonomian dikala pandemi masih melanda.
Satu demi satu individu, akan menjadi rentetan pengerek rantai perekonomian apabila efisiensi keuangan dapat dicapai. Berlalunya pandemi hanya soal waktu namun kesejahteraan bukan lagi menjadi ancaman.
Baca juga: LPS harapkan nasabah di Bali percaya bank selama pandemi COVID-19
Baca juga: Presdir MNC Bank sebut perbankan digital kunci capai inklusi keuangan
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020
Tags: