Jakarta (ANTARA News) - Fraksi Partai Golkar menilai program remunerasi di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan gagal, karena tidak mampu meningkatkan pendapatan negara dari pajak, peningkatan kinerja pegawai, dan tidak mampu menekan kebocoran uang negara.

Sekretaris Fraksi Partai Golkar (FPG) Ade Komarudin melalui siaran pers yang diterima ANTARA, di Jakarta, Rabu, menjelaskan kebijakan remunerasi yang digulirkan Menkeu Sri Mulyani, khususnya di Ditjen Pajak, gagal memberikan dampak positif terhadap tiga hal.

Pertama, remunerasi tersebut tidak mampu meningkatkan rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) atau "tax ratio" sesuai standar negara berkembang. Kedua, gagal menciptakan tata kelola yang baik (GCG) di tubuh internal Ditjen Pajak. Ketiga, belum berhasil menciptakan suasana aman dan nyaman, serta iklim yang kondusif bagi dunia usaha dan wajib pajak.

FPG menyebutkan, berdasarkan data pajak tahun 2000 sampai 2009, lonjakan penerimaan negara dari sektor pajak justru terjadi pada tahun 2000 hingga 2001. Pada periode itu, jumlah pendapatan dari sektor pajak meningkat dari 8,8 persen menjadi 12,4 persen.

"Sejak sistem remunerasi dicanangkan tahun 2002, kemudian mulai dijalankan pada tahun 2006 hingga sekarang, pertumbuhan penerimaan pajak malah datar 12 persen," ujar Ade yang juga anggota komisi XI DPR-RI.

Pada keterangan resmi FPG tersebut, ia menekankan remunerasi tidak berhasil menciptakan GCG di tubuh internal pajak. "Buktinya, hingga kini masih ada karyawan seperti Gayus Tambunan dan mafia pajak lain yang lebih besar. Diduga, rendahnya `tax ratio` juga dikarenakan besarnya kebocoran dan adanya `Gayus-Gayus` lain di Ditjen Pajak," katanya.

FPG juga, kata dia, menilai kebijakan remunerasi yang dilakukan merugikan negara dua kali. Pertama, komponen anggaran untuk gaji yang dikeluarkan negara meningkat tajam. Kedua, pendapatan negara menurun akibat praktik makelar kasus (markus).

"FPG sebenarnya mendukung penerapan sistem remunerasi di berbagai lembaga pemerintah, asalkan pimpinannya mengawasi dengan ketat berjalannya sistem tersebut. Sistem remunerasi hendaknya juga dilaksanakan berdasarkan prestasi yang dicapai karyawan atau lembaga bersangktuan," katanya.

Ade menyatakan, kebijakan remunerasi semestinya dikaitkan dengan "stick and reward." Menurut FPG, jika berhasil meningkatkan "tax ratio" atau pendapatan negara, Ditjen Pajak layak menerima penghargaan. "Tapi sekarang kan penerimaan negara cenderung rata (pertumbuhannya), kendati remunerasi sudah dijalankan," ujarnya.

FPG, lanjut dia, juga khawatir pemberlakuan sistem remunerasi terhadap suatu lembaga secara sembrono, seperti di Ditjen Pajak, memicu kecemburuan kementerian atau instansi lain. Contohnya TNI yang menjaga Sabang sampai Merauke, tapi tunjangannya jauh dari apa yang sepatutnya.

"Karena itu, sebagai pejabat terkait, Menkeu harus bertanggung jawab secara moral atas kegagalan sistem remunerasi yang diterapkannya," tegasnya.

(T.R016//B012/R009)