Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 yang dihadapi semua negara di dunia merupakan kejadian serius akibat Coronavirus dalam dua dekade terakhir.

Sejarah mencatat, pandemi akibat SARS-CoV juga melanda tahun 2002-2003 dan Middle East respiratory syndrome (MERS-CoV) pada tahun 2012.

COVID-19 berdampak di segala sektor kehidupan, mulai dari kesehatan, ekonomi, sosial, budaya, politik, hingga pertahanan dan keamanan.

Dunia kini tengah bersatu melawan COVID-19 dalam upaya pemulihan dan normalisasi semua aspek kehidupan.

Emergensi Global

Krisis global akibat pandemi COVID-19 telah memunculkan kegawatdaruratan global. Oleh karena itu, para ahli multidisipliner bersinergi untuk menemukan solusi terbaik berbasis sains dan teknologi demi mengatasi perang nirmiliter ini.

Jutaan jiwa di dunia terjangkiti wabah COVID-19. Berdasarkan situs worldometers.info (data diakses tanggal 29 Oktober 2020), kasus Coronavirus telah menjangkiti 44.748.577 orang, dengan jumlah kematian mencapai 1.179.062 jiwa, dan sejumlah 32.724.301 orang telah pulih.

Di Indonesia, berdasarkan situs covid19.go.id dengan update terakhir 28 Oktober 2020, ditemukan kasus positif sebanyak 400.483 jiwa, dengan 325.793 orang berhasil sembuh, dan 13.612 orang dinyatakan meninggal dunia.

Dunia medis juga turut berduka. Dilansir dari kompas.com (15/10/2020), sejumlah 136 dokter di Indonesia wafat karena COVID-19. Di Provinsi Sulawesi Tenggara 241 tenaga kesehatan (dokter dan perawat) positif COVID-19. Demikian data yang dilansir dari antaranews.com (26/10/2020).

Tidaklah mengherankan bila pada 11 Maret 2020, WHO mendeklarasikan COVID-19 sebagai pandemi global.

Tatalaksana terkini berbasis simtomatis, pemeriksaan usap dan tes cepat, serta dukungan respirasi pada kasus kegawatdaruratan. Pelbagai upaya pengembangan obat dan vaksin yang aman, efektif, terjangkau, tertarget, terus dilakukan.

Para ilmuwan telah berupaya menemukan kesamaan transmisi antara SARSCoV dan SARS-CoV-2 untuk pengembangan obat-vaksin tertarget berbasis protein, termasuk memahami mekanismenya saat terjadi proliferasi dan replikasi virus. Misalnya pada spike, virus, dan selubung protein, termasuk RNA protease yang juga merupakan target potensial untuk pengembangan obat.

Protease dan reseptor host yang merupakan pintu masuknya virus dan terjadinya proses endositosis, juga merupakan target potensial untuk pengembangan obat (Zhang dkk, 2020).

Sebagian besar obat yang beredar saat ini berasal dari golongan antivirus, terapi imun atau imunoterapi, anti-inflamasi, dan tatalaksana lainnya termasuk obat tradisional dan pengobatan alternatif.

Nanoteknologi

Nanoteknologi adalah istilah yang diberikan untuk sains dan teknologi yang berkenaan dengan dimensi nanometer yang dipergunakan dalam hal desain, produksi, karakterisasi, aplikasi material, struktur, peralatan, dan sistem. Satu nanometer sama dengan sepermiliar meter, ekuivalen dengan 3,3356 X 10 (pangkat minus 18) detik cahaya.

Ide dan konsep nanoteknologi bermula dari kuliah fisikawan, Richard Feynman, bertajuk "There’s Plenty of Room at the Bottom" di California Institute of Technology pada 29 Desember 1959. Adapun istilah nanoteknologi dicetuskan oleh Profesor Norio Taniguchi.

Salah satu solusi mengatasi pandemi COVID-19 adalah nanoteknologi. Mengapa nanoteknologi? Perlu diketahui bahwa SARS-CoV-2 berdimensi nanometrik dan memiliki nanostruktur pada inti dan selubungnya.

Dengan demikian, diharapkan nanoteknologi dapat direkomendasikan sebagai nanomaterial fungsional untuk mengatasi pandemi COVID-19.

Vaze dkk (2019) berhasil mengembangkan nanodisinfektan berbasis EWNS (engineered water nanostructures) yang dihasilkan melalui electrospray dan ionisasi suspensi air dari beragam materi aktif yang berbeda. Hasilnya menunjukkan reduksi konsentrasi patogen secara signifikan, termasuk partikel influenza H1N1.

Sebagai tambahan, dosis bahan aktif (hidrogen peroksida) yang diperlukan untuk inaktivasi virus secara signifikan menurun (kadar nanogram), membuktikan viabilitas platform ini.

Menurut Campos dkk (2020), nanoteknologi dapat menjadi solusi mengatasi pandemi COVID-19 melalui beberapa pendekatan, seperti upaya pencegahan percikan dan kontaminasi virus melalui beberapa strategi.

Pertama, desain sensor berbasis nano dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas tinggi untuk identifikasi infeksi atau respons imun dengan cepat.

Kedua, desain perlengkapan protektif personal yang aman-bebas infeksi untuk meningkatkan keamanan petugas medis di layanan kesehatan, serta pengembangan disinfektan antivirus dan selubung permukaan yang efektif, yang mampu menginaktivasi virus sekaligus mencegah penyebarannya.

Ketiga, perkembangan vaksinasi berbasis nanoteknologi untuk memperkuat respons imun seluler dan humoral. Keempat, perkembangan obat-obat baru dengan peningkatan aktivitas, penurunan toksisitas, dan pelepasan berkesinambungan menuju target jaringan, seperti paru-paru.

Nanodiagnosis

Peralatan diagnostik saat ini untuk deteksi COVID-19 adalah uji asam nukleat berbasis PCR (Polymerase Chain Reaction) serta asai serologis yang dapat mendeteksi keberadaan antibodi selama masa infeksi sistem respirasi. Diagnosis di stadium awal COVID-19 terutama berfokus pada deteksi genom virus melalui PCR real time.

Sedangkan penentuan kadar antibodi imunoglobulin G and M dimulai setelah 5-7 hari atau lebih dari 10 hari. Secara berturut-turut, melalui uji serologis, seperti ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay), asai kemiluminesens, asai imunofluoresens, atau uji ICT (imunokromatografik).

Nanomaterial merupakan komponen penting dari pelbagai teknologi ini, yang merupakan faktor kunci dalam proses deteksi atau transduksi interaksi biokimiawi.

Moitra P, dkk (2020) berhasil mengembangkan bioasai kolorimetrik yang reliabel dan cepat dengan cara memodifikasi AuNP (nanopartikel emas plasmonik) dengan antisens oligonukleotida yang didesain spesifik untuk dua regio gen-N dari SARS-CoV-2.

Nanopartikel menggumpalkan keberadaan virus target RNA, sehingga dapat terdeteksi dengan mata telanjang sekitar sepuluh menit.

Nanovaksin

Sebelum membahas nanovaksin, mari kita membahas komponen inti untuk desain vaksin. Menurut Shin MD, dkk (2020), komponen vaksin terdiri atas antigen, adjuvan, nanopartikel atau nanokarier, dan peralatan (device).

Antigen adalah material asing yang dapat menginduksi respons imun di dalam tubuh, seringkali berasal dari patogen. Berdasarkan antigen yang muncul, vaksin dapat dikategorisasikan menjadi vaksin live-attenuated (berasal dari patogen dilemahkan yang mampu bereplikasi namun tidak menyebabkan penyakit), vaksin inaktivasi (bermula dari patogen yang tidak mampu bereplikasi atau menginfeksi), vaksin subunit (memiliki elemen antigenik minimal dari patogen, misalnya protein, subunit protein, polisakarida, VLP self-assembled dari berbagai komponen ini.

Semua antigen ini dalam bentuk purifikasi yang pemberiannya dikombinasikan dengan adjuvan molekuler atau yang diekspresikan secara in vivo menggunakan berbagai vektor RNA, DNA, atau virus, vaksin berbasis peptida (peptida adalah elemen penting dari subunit protein yang dikenali oleh sistem imun. Semua antigen yang telah tersebut di atas mengandung epitop peptida).

Adjuvan adalah agen stimulus yang dirancang untuk memperkuat respons imun untuk selanjutnya berfungsi sebagai antigen co-delivered. Perlu diketahui, vaksin virus live-attenuated dan inaktivasi dapat dianggap sebagai nanopartikel.

Suatu nanopartikel (baik virus maupun non-virus) dapat difungsikan sebagai nanokarier untuk menyelubungi sekaligus menghadirkan payload antigen atau asam nukleat pengkode antigen. Nanokarier menyediakan stabilitas dan penargetan semua payload ini menuju APC (antigen presenting cells). Sinkronisasi nanokarier dapat mengirimkan baik antigen maupun adjuvan ke sel-sel imun target. Adapun peralatan (device) vaksin dapat berupa implan, syringe, jarum mini (microneedle patch).

Platform nanovaksin sebagai solusi mengatasi pandemi COVID-19 secara umum dibagi dua (Ruiz-Hitzky E dkk, 2020). Pertama, platform vaksin RNA. Kedua, vaksin subunit (peptida, protein rekombinan CoV-2).

Platform RNA menggunakan nanoteknologi berbasis mRNA yang dienkapsulasi oleh LNP (lipid nanopartikel) atau RNA self-amplifying pengkode glikoprotein SARS-CoV-2, domain pengikat reseptor atau pengkode VLP (partikel mirip virus).

Keuntungan platform vaksin RNA ini adalah proteksi RNA dari RNases, efek adjuvan, induksi respons T-helper kuat dan meningkatnya sel-sel B center germinal, produksi sejumlah antibodi penetral dengan kadar afinitas tinggi, induksi imunitas innate setempat.

Adapun vaksin subunit juga menggunakan nanoteknologi. Berikut ini penjelasan singkat beserta keuntungannya.

Pertama, VLP kapsid yang mendisplay SARS-CoV-2. Keuntungannya, menghasilkan displai antigen padat dan mendatangkan respons antibodi penetral yang kuat, tingkat keamanan, dan efektivitas yang tinggi.

Kedua, antigen peptida yang diformulasikan di LNP. Keuntungannya, memiliki tingkat keamanan tinggi, mengizinkan respons imun humoral yang berkesinambungan, spesifik, kuat untuk menetralkan epitop non-overlapping dari protein spike.

Ketiga, peptida mikrosfer yang ditambahkan. Keuntungannya, menginduksi respons imun yang kuat, menghasilkan antibodi penetral.

Keempat, protein rekombinan, nanopartikel (berbasis protein spike dan berbagai epitop lainnya). Keuntungannya, menginduksi antibodi penetral yang kuat.

Kelima, adjuvan berbasis saponin, kolesterol, dan partikel fosfolipid; vaksin nanopartikel glikoprotein SARS-CoV-2 rekombinan diberi ajuvan Matrix M. Keuntungannya, mengurangi dosis antigen, menstimulasi pelbagai respons imun penetral seluler dan humoral jangka panjang terhadap protein S di SARS-CoV-2.

*) Dr. Dito Anurogo M.Sc adalah kandidat doktor di International PhD Program for Cell Therapy and Regeneration Medicine (IPCTRM) College of Medicine Taipei Medical University (TMU) Taiwan, dosen FKIK Unismuh Makassar, pengurus ASPI.

Baca juga: Nanoteknologi farmasi Indonesia makin berkembang
Baca juga: Ito, pakar nanoteknologi yang berjaya di Jerman
Baca juga: Pengamat: nanoteknologi dapat mendukung pertahanan nasional