Jakarta (ANTARA) - Tim Pakar Satgas COVID-19 Bidang Perubahan Perilaku/Kepala Lembaga Demografi FEB Universitas
Indonesia Turro Wongkaren, Ph.D mengatakan menjaga jarak menjadi protokol kesehatan 3M yang paling sulit diterapkan.

"Sejauh ini kita bersyukur mayoritas masyarakat yang kita pantau dengan aplikasi baru PeduliLindungi sudah melakukan protokol kesehatan dengan baik, tetapi tergantung daerahnya. Dan jika melihat 3M itu yang paling susah diikuti adalah menjaga jarak," katanya dalam bicang wicara "Cegah COVID-19 Pada Orang Dengan Komorbid" di media center Satgas COVID-19 di Graha BNPB Jakarta, Kamis.

Hal itu, katanya, karena protokol kesehatan yang satu itu tidak berkaitan dengan diri sendiri. Kalau mencuci tangan dengan sabun secara personal menyadari pentingnya melakukan itu maka orang akan melaksanakannya, begitu juga dengan penggunaan masker untuk kenaikan sendiri.

Selain itu, kata dia, menjaga jarak memang bergantung pula dengan orang lain, seperti jika pekerjaannya harus menggunakan fasilitas transportasi publik, itu satu sama lain harus mengerti.

Oleh karena itu, ia mengatakan setiap orang harus memahami hal yang sama soal menjaga jarak dan menjauhi kerumunan.

"Tidak cuma penting tapi efektivitasnya paling tinggi," ujar dia.

Baca juga: UNICEF: Kuatkan pemahaman warga tentang penularan COVID-19

Susahnya, katanya, jika secara struktural ada orang di sekitarnya sehingga sulit menjaga jarak. Orang Indonesia suka menjaga perasaan sehingga jarang secara langsung meminta seseorang untuk menjaga jarak.

"Di luar negeri menjaga jarak tidak masalah," ujar dia.

Prinsip 3M, kata Dokter Spesialis Penyakit Dalam dr Candra Wiguna, Sp.PD, menjadi terpenting harus dijalankan. Orang-orang dengan komorbid karena lebih rentan tertular virus itu harus bisa lebih ketat menjalankan protokol kesehatan.

Selain itu, ia mengatakan mereka dengan komorbid juga harus bisa mengendalikan penyakitnya tersebut. Kalau dia memang menderita hipertensi harus berkonsultasi dengan dokternya dan minum obat penurun tensi sampai target yang diinginkan.

Misalnya seseorang terkena diabet maka harus bisa mengendalikannya, begitu juga jika memiliki komorbid penyakit lain harus konsultasi ke dokternya.

Ia mengatakan banyak orang takut ke rumah sakit menganggap banyak virusnya, padahal semua tempat ada virusnya.

Oleh karena itu, katanya, dibuat konsultasi telemedicine. Meski tidak bisa melakukan pemeriksaan tetapi terkadang memang hanya perlu untuk menaikkan atau menurunkan dosis obat.

Baca juga: Wali Kota Cirebon sebut restoran abai terapkan jaga jarak
Baca juga: COVID-19 bisa menular lewat udara, jaga jarak 2 meter masih efektif?