Yangon (ANTARA) - Panglima militer Myanmar mengatakan bahwa pemerintah sipil negara itu membuat "kesalahan yang tidak dapat diterima" menjelang pemilihan umum yang penting pada Minggu (8/11).

Pemilu tersebut akan menjadi pemungutan suara demokratis kedua sejak berakhirnya pemerintahan militer yang keras.

Menyampaikan peringatan kedua dalam beberapa hari tentang potensi bias dalam pemungutan suara, Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing mengatakan kepada media lokal Myanmar bahwa militer adalah "penjaga" negara dan mengawasi persiapan pemilu dengan cermat.

Wawancara langka di Popular News Journal itu menyusul komentar serupa dalam pernyataan militer pada Senin (2/11) yang menuduh komisi pemilihan melakukan "pelanggaran luas terhadap hukum dan prosedur proses prapemungutan suara".

Baca juga: Myanmar kembali terapkan 'lockdown', oposisi seru penundaan pemilu
Baca juga: Suu Kyi bersumpah menangi pemilu Myanmar pada November


Min Aung Hlaing mengatakan beberapa partai oposisi telah mengeluhkan ketidakberesan, mengutip daftar pemilih yang penuh dengan kesalahan dengan banyak orang dikecualikan.

"Tidak ada masalah untuk kesalahan normal. Tetapi beberapa kesalahan tidak dapat diterima. Mereka punya banyak waktu untuk melakukan koreksi," kata dia.

Panglima militer Myanmar itu mendesak komisi pemilihan untuk memastikan "pemilihan yang bebas dan adil".

Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi, yang partainya Liga Nasional untuk Demokrasi diperkirakan akan memenangi pemungutan suara pada Minggu, menyerukan ketenangan dan mendesak para pemilih untuk tidak diintimidasi.

"Orang-orang sadar akan upaya untuk mengganggu penyelenggaraan pemilu yang sukses [...] Mereka dengan sengaja memicu kemarahan," tulisnya dalam sebuah unggahan Facebook pada Selasa malam (3/11).

Seorang juru bicara komisi pemilihan Myanmar dan juru bicara pemerintah tidak menjawab panggilan telepon Reuters untuk meminta konfirmasi.

Komisi pemilu dikendalikan oleh pemerintah yang dipimpin oleh peraih Nobel Suu Kyi, yang berkuasa setelah menang telak pada pemilu 2015, dan mengakhiri setengah abad pemerintahan yang dijalankan militer.

Namun, tentara mempertahankan kekuasaan yang signifikan di bawah konstitusi Myanmar termasuk kendali kementerian utama seperti kementerian dalam negeri.

Pemerintah militer dan sipil telah berselisih tentang berbagai masalah selama berbulan-bulan, termasuk reformasi konstitusi.

Sumber: Reuters
Baca juga: OHCHR desak Myanmar berhenti batasi hak pilih etnis Rohingya
Baca juga: Setengah TPS di Rakhine untuk pemilu Myanmar tak berfungsi