Jakarta (ANTARA News) - Berbagai Latihan Gabungan (Latgab) Penanggulangan Teror TNI-Polri di Indonesia dan Latgabma “Darsasa 7AB” Indonesia-Malaysia di Selat Malaka serta eksisnya Desk Anti-teror Kantor Menko Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) plus berbagai keberhasilan Polri menumpas para teroris merupakan suatu prestasi nasional Indonesia.

Prestasi itu harus diapresiasi dan ditindaklanjuti dalam kerangka besar menangkal dan mengantisipasi datangnya semua ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan terhadap bangsa dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Latihan gabungan bersama (Latgabma) darat, samudera dan angkasa (Darsasa) ketujuh itu melibatkan mata angkatan darat (AD), laut (AL) maupun udara (AU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan Angkatan Tentara Malaysia (ATM) yang secara umum bertujuan mencegah aksi terorisme di kedua negara, terutama di wilayah Selat Malaka. Darsasa dimulai secara berkesinambungan melibatkan TNI dan ATM sejak 1984.

Darsasa AB7/2010 secara khusus membentuk satuan tugas bersama anti-terorisme (Combined Joint Task Force – Counter Terrorist). Oleh karena itu, selain melibatkan tentara darat, laut dan udara kedua negara, latgabma kali ini juga mengikuterstakan pasukan khusus masing-masing negara.

Ekspose media massa tentang berbagai prestasi dan eksistensi tersebut merupakan sisi positif dari upaya bangsa Indonesia menangkal ancaman bahaya dan serangan teroris. Namun dapat pula dimaklumi masih munculnya sisi negatif ekspose media massa yang dari sudut TNI dan Polri sebenarnya merupakan hal yang amat mendasar dan bisa dihindarkan untuk tidak terjadi.

Sebuah media cetak nasional di Jakarta menyebutkan adanya kejanggalan dalam sebuah Latgab Penaggulangan teror di sebuah tempat umum karena “aktor” si pelaku aksi teror atau teroris (dalam skenario latgab) lupa dibangunkan dan berada pada posisi tertidur meskipun episode skenario latgab telah berganti.

Liputan sebuah stasiun TV di Jakarta juga menayangkan wajah-wajah ceria dan tersenyum orang atau rakyat yang dilibatkan sebagai unsur “publik” dalam skenario latgab yang tidak menggambarkan wajah dan suasana panik atau ketakutan.

Dua catatan tadi memberikan gambaran kepada kita unsur aparat TNI dan Polri serta implementasi program latgab itu begitu menonjol dan nyaris sempurna di lapangan, tetapi meninggalkan kesan bahwa rakyat atau publik yang masuk dalam skenario latgab belum diprogram secara intensif sebagaimana halnya anggota TNI-Polri telah disiapkan untuk dilibatkan dalam latgab tersebut. Rakyat atau publik hanya menjadi figuran dan unsur pelengkap skenario yang dalam skenario hanya berperan pasif. Rakyat belum dilibatkan secara aktif dan terprogram dalam latgab penanggulangan teror.

Padahal, rakyat atau publik sebenarnya punya andil dalam keberhasilan Polri menumpas para teroris dari Malang (Jawa Timur), Temanggung (Jawa Tengah), Bekasi dan Pamulang (Jakarta) sampai Aceh. Semua fakta media massa menunjukkan rakyat punya peran dan kontribusi dengan memberi informasi awal yang kemudian dikembangkan sebagai pengamatan dan pengintaian serta berujung pada aksi penangkapan.

Karena itu, rakyat pantas diberi hadiah yang telah memberikan informasi awal, bahkan telah melakukan pengamatan awal tentang gerak gerik teroris di skeitar lingkungan tempat tinggal rakyat dan secara jujur bukan hanya polisi yang pantas dan berhak diberi hadiah uang dan menikmati kenaikan pangkat luar biasa. Rakyat juga pantas dan berhak atas hadiah dan penghargaan karena kontribusi informasi awal dan pengamatan yang dilakukan rakyat dan disampaikan pada Polri/TNI.

Dalam pemahaman di mana TNI memiliki jatidiri sebagai tentara profesional, tentara pejuang dan tentara rakyat, sebenarnya soal pelibatan atau aktivasi rakyat dalam program atau gerakan penanggulangan teror yang melibatkan TNI merupakan hal yang sudah melekat dengan sendirinya atau mengekspresikan manunggalnya TNI dengan rakyat.

Konsepsinya, rakyat harus dan perlu dilibatkan atau diaktivasi dalam latgab atau operasi anti-teror, paling tidak latgab tidak boleh tanpa melibatkan rakyat.

Mengapa? Karena, pertama dalam sejarah Perang Kemerdekaan, TNI dan rakyat selalu bahu membahu menghadapi pasukan kolonial. Kedua, TNI berasal dari rakyat di mana Tentara Rakyat Indonesia (TRI) muncul sebagai cikal bakal TNI. Ketiga, adanya Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Hankamrata) merupakan bukti bahwa rakyat adalah dasar kekuatan TNI. Dasar kekuatan sistem hankamrata bertumpu pada jumlah rakyat Indonesia yang besar dan bukan bertumpu pada kekuatan alat utama sistem senjata(alutsista) kita yang terbatas.

Keempat, rakyat sebagai pembayar pajak adalah sumber pembiayaan pengadaan Alutsista yang harusnya ditempatkan sebagai subyek/pokok, bukan Obyek atau pelengkap dalam latgab atau gerakan anti-teror.

Banyak bukti di mana rakyat hanya menjadi embel-embel saja. Misalnya, sebutan Lembaga Rakyat, Kepentingan Rakyat, Demi Rakyat dan Suara Rakyat semuanya memang menggunakan nama dan sebutan rakyat, tetapi faktanya rakyat juga yang jadi pelengkap penderita atau pihak yang paling menderita sebagai korban, sasaran, bahkan dijadikan bagian untuk menutupi karakter teroris.

Dalam latgab atau gerakan anti-teror mendatang, TNI dan Polri serta Desk Antiteror sudah saatnya mengubah pola latgab karena beberapa pertimbangan khusus. Pertama, pemilihan/penentuan lokasi latgab perlu dilakukan bukan hanya di kawasan perkotaan dan tempat publik strategis saja, tetapi juga memprioritaskan kawasan pedesaan, daerah terpencil dan kota kecil yang sudah terbukti menjadi “sarang” atau safe-house para pelaku teror atau teroris.

Kedua, mengaktivasi rakyat dalam penanggulangan teror dilakukan melalui program di mana rakyat harus dilatih dan dibiasakan untuk bagaimana melaporkan berbagai hal-hal yang memiliki karakter teroris/teror untuk mencegah situasi di mana semua hal yang dicurigai langsung dilaporkan.

Ketiga, aktivasi atau pelibatan rakyat dalam Latgab atau Gerakan Anti-Teror perlu didukung program sosialisasi anti-teror secara sistematis sehingga rakyat mampu mengidentifikasi tanda-tanda bernuansa teror, fenomena teroris, indikasi karakter pelaku teror dan mengenali bagaimana awal gerakan yang biasanya dilakukan oleh para teroris.

Partisipasi dan keterlibatan rakyat dalam Latgab dan Gerakkan Penangulangan Teror serta Perang Rakyat Melawan Terorisme memiliki beberapa makna antara lain, pertama sebagai bukti dan implementasi pelibatan atau aktivasi rakyat sebagai kekuatan rakyat atau Civilian Defence (Adam Roberts, 1972, dan Gene Sharp, 1973), anti-teror. Kedua, dengan aktivasi dan terlibatnya rakyat melawan terorisme secara langsung menunjukkan kepada jaringan pelaku terorisme bahwa rakyat menolak aksi-aksi teror dan menyatakan perang terhadap teror melalui Gerakan Perlawanan Rakyat/Civil Resistance (Michael Randle, 1994) Melawan Terorisme.

Perangkat atau “tools” untuk melibatkan rakyat dalam Latgab atau Gerakan Antiteror adalah dengan menggunakan Anti-Teror Checklist (ATC). Pimpinan TNI AD pada tahun 2000 telah memulai sosialisasi perlunya ATC dalam operasi anti-teror namun prioritas saat itu sedang diarahkan pada sosialisasi pemisahan TNI dan Polri. Tetapi, saat ini, ATC inilah yang harus disosialisasikan kepada rakyat.

Sosialisasi ATC dan Pemahaman serta kemampuan perlawanan rakyat terhadap teroris inilah yang merupakan implementasi dari TNI sebagai Tentara Rakyat, di samping juga sebagai program pelibatan/aktivasi rakyat secara nyata dan langsung dalam latgab dan gerakan anti-teror. (*)

*) Tyasno Sudarto adalah Jenderal TNI (Purnawirawan); Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) periode 1999-2000, dan Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI pada 1999.