Kendari (ANTARA News) - Petani kelapa di sejumlah daerah sentra Kabupaten se-Sulawesi Tenggara menginginkan adanya sebuah lembaga asosiasi yang dapat menghimpun para petani kelapa untuk membicarakan berbagai keluh kesah baik terkait produksi maupun pemasaran.

"Kalau petani sudah mempunyai wadah dan organisasi, maka cepat atau lambat keinginan para petani untuk meningkatkan taraf kesejahteraan akan cepat berubah," kata H Mansyur, salah seorang petani kelapa di Kabupaten Konawe Selatan (Kopnsel), Minggu.

Ia mengatakan, tidak adanya wadah asosiasi tersebut, nasib ribuan petani kelapa yang berada di sejumlah kabupaten (Konsel, Bombana, Buton dan Konawe Utara) dilihat sebelah mata oleh pihak penentu kebijakan khususnya terkait bantuan modal usaha bagi mereka.

Di sisi lain, pihak ke tiga tidak akan berani untuk memberikan bantuan pinjaman bila mana, wadah usaha belum ada, sehingga mereka menginginkan adanya lembaga organisasi yang produktif yang dapat mengangkat harkat dan taraf ekonomi petani kelapa di daerah ini.

Data dari dinas Perkebunan dan Hortikultura Sultra menyebutkan, jumlah petani kelapa dalam dan kelapa hibrida di Sultra sedikitnya mencapai antara 75 ribu yang menjadi petani.

"Saya yakin dengan adanya sebuah organisasi yang menghimpun seluruh petani kelapa, akan memberi nilai positif baik terhadap petani itu sendiri juga kepada pemerintah setempat," kata Yusuf, salah seorang petani dan pengusaha kopra di Kabupaten Bombana.

Ia mengatakan, meski keberadaan jumlah petani kelapa yang cukup besar itu belum diberdayakan secara optimal, namun bila sudah memiliki wadah dan berbadan hukum, tentu akan membawa manfaat bagi peningkatan kesejahteraan petani secara umum.

Salah seorang anggota DPD-RI asal Sultra, yang membidangi masalah sumber daya alam dan sumber daya ekonomi strategis lainnya, H Abdul Djabar Toba sebelumnya mengatakan, keberadaan petani kelapa di Sultra perlu mendapat perhatian dari pemerintah.

Ia mengatakan, peluang pengembangan komoditas kelapa masih cukup besar di Sultra karena selain merupakan komoditas perkebunan terbesar ke tiga setelah kakao dan jambu mete, yang mempengaruhi peningkatan produksi dari tahun ke tahun terus bertambah.

Pada 2000-an misalnya, produksinya hanya sekitar 30 ribu ton lebih, tetapi pada 2008 mengalami peningkatan sekitar 37 ribu ton, demikian juga dengan luas areal tanaman yang terus bertambah yakni mencapai 55 ribu hektare hingga 2008.

"Ini menunjukkan bahwa tanaman kelapa memiliki peluang dan potensi untuk terus dikembangkan di Sultra. Oleh karena itu pemerintah harus terus mendorong dan memberdayakan dengan mencarikan peluang usaha dalam meningkatkan pendapatan bagi keluarga mereka," katanya.

Selama ini, kata mantan Kasubdin Produksi Tanaman Pangan Sultra di era 1996-2000 itu, kelapa milik petani selama ini hanya diolah dengan produk utama kopra dengan harga hanya berkisar Rp3.000-Rp3.500/kg menyebabkan petani masih terpuruk.

Belum lagi, adanya oknum-oknum tertentu sebagai pedagang spekulan (ijon-red), yang mencari keuntungan sepihak dari penderitaan petani.

"Kalau sudah ada wadah yang menghimpun mereka (petani kelapa-red), dalam satu organisasi maka tentu menjadi harapan petani dan bagi penentu kebijakan di bidang perbankan," kata Djabar Toba saat reses baru-baru ini.
(T.A056/S004/P003)