Jakarta (ANTARA) - Guru besar virologi dan biologi molekuler Universitas Udayana Bali Prof Ngurah Mahardika mengatakan perkembangan teknologi saat ini telah memungkinkan pengembangan dan penemuan vaksin yang lebih cepat dibandingkan dengan di masa lalu.

"Dulu harus didapatkan agen murni terlebih dahulu untuk diperbanyak dan itu perlu waktu lama. Sekarang agen pertama lebih cepat ditemukan kemudian diperbanyak secara sintetik, cukup waktu satu bulan atau dua bulan saja," kata Ngurah alam jumpa pers secara virtual yang ditayangkan akun Youtube FMB9ID_IKP diikuti dari Jakarta, Senin.

Proses pengembangan vaksin sangat bergantung pada ragam vaksin yang dipilih. Terdapat beberapa ragam vaksin, yaitu vaksin dari virus murni yang dimatikan, vaksin berbasis gen, vektor adenovirus yang disuntikkan dalam tubuh manusia untuk membentuk vaksin secara mandiri, dan vaksin subunit berbasis protein.

Baca juga: China klaim hasil uji klinis vaksin COVID-19 aman bagi manusia

Ngurah mengatakan masing-masing ragam vaksin memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun, yang paling lazim digunakan adalah ragam vaksin dari virus yang dimatikan.

"Seperti vaksin Sinovac yang sedang diujicobakan di Indonesia. Regulasi untuk penerimaan akan lebih mudah. Sedangkan ragam vaksin lainnya belum ada contoh yang beredar di masyarakat sehingga dari sisi regulasi akan lebih lama," tuturnya.

Ngurah mengatakan beberapa penyakit dapat dicegah penularannya menggunakan vaksin. Contoh paling klasik adalah penyakit rabies dan flu.

Baca juga: Maarif Institute: Vaksin solusi utama terbebas dari COVID-19

Penyakit rabies yang berasal dari hewan bisa dicegah penularannya kepada manusia melalui vaksinasi kepada hewan sebelum terpapar, maupun kepada manusia yang berisiko terpapar atau digigit anjing yang membawa penyakit rabies.

Begitu pula dengan flu yang disebabkan oleh virus influenza. Pada kasus flu burung H5N1, Ngurah mengatakan cukup unggas atau hewan saja yang divaksinasi; sedangkan untuk jenis flu yang lain vaksinasi bisa dilakukan pada manusia maupun pada hewan.

"Dua itu adalah contoh klasik, bagaimana vaksin menjadi cara terbaik untuk mengatasi wabah penyakit zoonosis baik pada hewan maupun manusia. Vaksinasi pada hewan bertujuan agar tidak menulari manusia. Jadi dokter hewan mencegah penyakit pada hewan agar tidak menulari manusia sehingga manusia tidak perlu divaksin," katanya.

Baca juga: BPOM: Izin guna darurat vaksin COVID-19 tak kesampingkan keamanan-mutu
Baca juga: MPR: Pemerintah harus gencar sosialisasikan urgensi vaksin COVID-19