Jakarta (ANTARA News) - Pengamat masalah hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Wahyu Wagiman, menilai bahwa berbagai peraturan hukum yang terkait dengan penyadapan di Indonesia semrawut dan tumpang tindih satu sama lain karena banyaknya otoritas yang memberikan izin untuk penyadapan.

"Di Indonesia kesemrawutan hukum penyadapan terlihat dengan banyaknya otoritas yang memberikan izin untuk penyadapan," kata Wahyu Wagiman yang juga Koordinator HAM Lembaga Studi Advokasi dan Masyarakat (ELSAM) di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Kamis.

Ia memaparkan, Undang-Undang (UU) Psikotropika membolehkan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan dengan izin Kepala Polri.

Sementara itu, UU Narkotika membolehkan Badan Narkotika Nasional (BNN) melakukan penyadapan dengan izin ketua pengadilan negeri.

"Namun, dalam kondisi yang mendesak dapat pula dilakukan penyadapan tanpa izin," kata Wahyu.

Selain itu, lanjutnya, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga membolehkan penyidik menyadap telepon dan perekaman pembicaraan hanya atas izin ketua pengadilan negeri.

Sedangkan, UU KPK memperbolehkan melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan dalam mengungkap dugaan suatu kasus korupsi berdasarkan keputusan oleh KPK.

"UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mengizinkan penyadapan atas permintaan penyelidikan aparat hukum yang didasarkan UU, demikian pula UU Telekomunikasi," katanya.

Menurut dia, hal di atas menunjukkan bahwa otoritas yang mengizinkan dilakukannya penyadapan di Indonesia sangat beragam dan berbeda-beda tergantung sasarannya.

Padahal umumnya, di negara lain izin hanya penyadapan hanya dimiliki satu otoritas, entah itu hanya diberikan pemerintah (executive authorisation), pengadilan (judicial authorisation), atau model perizinan dari hakim komisaris (investigating magistrate).

"Indonesia justru menganutnya secara campur sari, tanpa adanya mekanisme kontrol yang pasti," katanya.

Saat ini, MK sedang mengujimaterikan UU ITE No 11 Tahun 2008 yang juga terkait dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Intersepsi (Penyadapan).

Salah satu pemohon uji materi, Koordinator Institute for Criminal Justice Reform Anggara, menyatakan peraturan mengenai penyadapan yang sifatnya sensitif dan berpotensi merugikan hak asasi manusia seharusnya diatur dalam bentuk UU dan bukan PP.
(T.M040/A04/P003)